16. Rasa yang Kupahami

1251 Kata
“Apa gue bilang?! Nggak usah naik ini. Bilangnya ‘capek’. Capek-an mana sama ini?!” Hana terus mencak-mencak sepanjang jalan. Pasalnya, supra milik Pak Trisno tiba-tiba ngambek. Tobias memegang setang motor, Hana mendorong dari belakang. “Ah, salah lo. Lo yang dorong sendiri," protes Hana. Tobias tidak membalas. Ia terus mendorong tanpa menoleh ke belakang. Hana berdecak kesal kemudian ikut mendorong juga. Namun, kemudian. “Fix ini salah lo. Gue nggak mau ikut dorong!” katanya sambil melepas tangannya dari jok. Melihat Tobias tidak membalas apa-apa membuat Hana mengacak rambut bergelombangnya. Kemudian ia mendorong lagi. Begitu terus sampai lima kali. Setan dan malaikat di telinga Hana seperti berdebat, antara menolong Tobias atau tidak. “Mana gue belum makan gara-gara Viola dateng. Tadi topokinya lo taro mana? Ah, enak banget lo makan dua-duanya,” oceh Hana. “Mau beli ketoprak itu?” Tobias menunjuk dengan dagu gerobak ketoprak yang ada di depan portal perumahan Hana. “Iyalah. Gue laper. Gue juga harus motoin lo makan. Ck, lo, kan, punya maag pake segala nggak makan tadi.” Tobias memarkirkan motor itu di samping gerobak. Hana sudah mengambil duduk di bangku plastik. Setelah memberitahu pesanan mereka, Tobias ikut duduk di samping Hana. “Ulu hati gue sakit,” keluh Tobias. “Tuh kan!” Hana merogoh tas bagian depannya. Obat berwarna hijau itu ia keluarkan. “Nih.” Hana memang selalu membawa obat maag Tobias. Bukan dia yang mau, itu paksaan ibunya. Namun, di beberapa kejadian Hana bersyukur ada benda itu di tasnya. Pernah terjadi di mana Hana dan Tobias tidak membawa obat maag. Alhasil, Hana kerepotan membopong Tobias yang tidak bisa berdiri dengan benar. “Gue trauma bopong lo. Makanya gue bawa terus obat maag.” Tobias terkekeh kecil. “Waktu kecil gue digendong di belakang, lo bilang kuat. Masa ketimbang gue taro tangan di bahu aja bikin trauma.” “Waktu itu lo kerempeng, pendek kayak kurcaci. Nggak kayak sekarang berasa gendong pohon pisang.” Abang ketoprak menghampiri mereka dengan dua piring di tangannya. Mendengar ejekan Hana kepada Tobias membuat si abang mesem-mesem. Tobias menyikut lengan cewek di sampingnya. Wajahnya menunduk dalam-dalam, terlalu malu melihat ekspresi abang ketoprak. Sialan, pohon pisang katanya! “Tapi gue heran,” kata Hana sebelum menyuap ketopraknya. “kok lo dulu bisa sampe digangguin sama anak komplek gue, sih? Suapan Tobias berhenti di udara. Ia terdiam sebentar seperti memikirkan sesuatu. Lalu ia mengendikkan bahunya dan melanjutkan aktifitasnya yang tertunda. Hana mencebikkan mulutnya karena tidak direspons dengan baik. Tanpa mau memperpanjang pembahasan masa lalu, Hana pun ikut menikmati ketoprak itu dalam diam. “Kok kamu mau berteman sama Hana, sih? Dia, kan, kayak monster.” *** Tobias dan Hana sudah berada di depan pagar rumah cewek itu. “Gue nitip motor Pak Trisno di sini, ya, capek juga kalo dorong ke rumah. Besok orang bengkel ke sini.” Hana mengangguk seraya membuka lebar pagar rumahnya. Mendengar decitan pagar yang terbuka membuat Rika keluar dari rumahnya. “Loh, Tobi, kok dorong motor?” Tobias mengulas senyum tipis. “Tadinya mau anter Hana pake motor. Taunya mogok di jalan.” Rika tampak cemas. “Aduh, kasian.” Matanya mendelik tajam ke arah Hana. “Kok diem aja? Bantu itu dorong ke garasi. Makanya jadi anak jangan manja. Pake minta dianterin segala.” “Eh, enggak kok. Tobi yang mau. Soalnya udah malem.” Hana memutar matanya malas, seperti biasa jika ada Tobias dia akan berubah status menjadi anak tiri di rumah ini. Hana mengambil alih motor supra itu dan memarkirkannya di samping N-max milik ayahnya. “Ambil kunci motor Ayah,” suruh Rika. Hana masuk ke dalam rumah. Lalu keluar dengan kunci motor N-max. “Nih.” Kemudian Rika menyerahkan kunci itu kepada Tobias. “Pulangnya pake motor Pak Danu aja, nih. Besok Hana ngambil ke rumah Tobi.” Hana menunjuk dirinya sendiri, alisnya bertaut. “Hana?” “Besok pulang sekolah mampir ke rumah Tobi, ambil motor,” perintah Rika. Ia mengembuskan napasnya panjang. “Ya.” *** Ruang laboratorium biologi sudah ramai dengan kelas sebelas IPA dua. Para murid sudah menggunakan jas putih. Di balik meja yang di atasnya sudah tersusun tabung reaksi bermacam model dan ukuran, para siswa fokus mendengarkan penjelasan Bu Dwi. Di tengah pembahasan Bu Dwi, fokus Hana justru malah kepada Tobias. Lelaki itu menjadi objek modus geng sosialita di kelasnya. Setelah kemarin sore ia mengajak chattan Viola, hari ini cowok itu tebar pesona di balik jas putih yang ia kenakan. Ia menggunakan kacamata barunya yang berbentuk D frame. Tobias memiliki minus dua setengah. Jadi, meskipun kesehariannya ia memutuskan melepas kacamata, tetapi ketika sedang di kelas ia sangat memerlukan benda itu. Dira dan Intan sudah saling menyikut saat melihat Hana seperti ingin memakan cewek-cewek yang mengerubungi Tobias. Hana mendekatkan diri ke Gani. “Gan, emang si Tobias seganteng itu apa?” Gani yang sedang menyiapkan bahan praktik, menoleh sebentar ke arah Hana lalu Tobias. “Gantengan gue,” jawab singkat Gani. Hana lantas memasang wajah datarnya. “Najis.” Gani lantas memutar wajahnya kepada Hana. “Ya, lo nanya cowok ganteng apa kaga sama gue. Idih,” sulut Gani, dagunya menunjuk Intan yang berada di seberang mejanya. “Noh, tanya ke Intan, atau nggak Sonia. Jangan gue. Kalo lo mau nanya bohai mana lo sama Prili kelas IPS baru gue bisa jawab.” Hana berdecih, ia membuang mukanya. Lalu lari kecil menuju meja Intan. “Menurut lo Tobias ganteng?” Mata Intan mengerling jahil. Perasaan Hana tidak enak. “Tob! Hana nanya katanya lo ganteng apa kagak!” Sialan! Tangan Hana sibuk meraih mulut Intan untuk di sumpel. Namun, tak keraih. Alhasil, ruang laboratorium itu sudah dipenuhi dengan siulan dan ejekan. “Tob, peka dong lo,” ejek Jojo. “Apa, sih, Jo! Gue, kan, cuma nanya. Heran aja kenapa banyak cewek yang deketin.” “Alah, ngeles padahal mah jealous,” sahut Rio. “Enggak, anjir! Diem nggak lo, Yo.” “Cie salting!” tambah Sonia memanas-manasi. Hana terus mencak dalam hati. Sudah dapat dipastikan wajahnya saat ini sudah semerah tomat. Keriuhan itu berhenti saat Bu Dwi balik dari toilet. “Baru ditinggal bentar udah berisik. Lima belas menit lagi Ibu periksa pekerjaannya. Seperti biasa yang nilainya paling rendah hukumannya membereskan lab ini.” “Hana, sini lo kerjain!” seru Gani panik karena pekerjaan mereka belum ada setengahnya. *** Karena Gani dan Hana belum menyelesaikan pekerjaan mereka, alhasil mendapat nilai paling rendah. Gani sibuk mendorong meja dan kursi, sedangkan Hana yang menyapu. Mata Hana tidak sengaja melihat ke arah luar jendela. Ruang Lab yang berada di lantai dua dengan jendela mengarah ke parkiran sekolah membuat Hana dapat melihat cowok yang tengah berjalan menuju motornya dengan seorang cewek yang mengajak ngobrol di sebelahnya. Hana mengerjap cepat saat mata elang itu menemui matanya. Ia lantas membuang mukanya dan kembali menyapu. Di tempat yang berbeda, cowok itu sedikit terkejut karena bertemu dengan mata bulan sabit itu. Melihatnya cepat membuang muka, membuat ia tersenyum kecut. “Tob, peka dong lo.” Setiap kali Tobias berusaha memahami Hana berujung dengan ia yang sakit. Untuk itu, saat ini ia tidak akan mau lagi memahami cewek itu. Tidak akan lagi. Teman-temannya hanya terlalu berlebihan. Tobias cukup peka untuk tidak mengartikan secara berlebihan sikap Hana. “Tob, bisa pulang bareng, nggak? Jemputan gue kebetulan lagi halangan, jadi gue—“ Sebuah notifikasi dari ponsel Tobias membuat fokusnya dari cewek di depannya teralihkan. Kala ia melihat isinya, Tobias kembali mendongak. “Sorry, ya, gue udah bareng temen.” Tungguin-__- gue mau ambil motor Ayah di rumah lo From: Hana Lovira
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN