17. Pahlawan Kecil

1175 Kata
Pagi itu titik air turun dari langit. Tidak banyak, sehingga seorang anak perempuan berumur lima tahun berkucir dua berani menerobos keluar rumah. Ia sudah berjanji untuk bertemu anak laki-laki berkacamata yang seumuran dengannya. Ia berlari ke luar rumah tanpa menghiraukan teriakan ibunya. “Hana, ini gerimis. Mau ke mana?” Di balik topi kelincinya, ia berteriak sambil terus berlari. “Mau ketemu Tobias!” Bentuk tanah yang tidak merata membuat terciptanya genangan air. Karena sebelumnya ia sudah kecipratan pengendara motor yang lewat, sehingga sebagian bajunya memiliki bercak cokelat akhirnya ia memutuskan bermain di genangan itu. Meloncat, menciptakan corak baru di bajunya. Tujuannya saat ini adalah lapangan di dalam kompleksnya. Tidak jauh, masih satu blok dengan rumahnya. Letak lapangan itu di depan kantor RT, beda satu gang saja dengan rumahnya. Tempat di mana ia berjanji akan bermain dengan teman barunya di TK. Dari kejauhan Hana melihat Tobias sedang terduduk dengan tangan meraba tanah. Laki-laki itu dikerubungi tiga anak yang postur tubuhnya lebih besar dari si kerempeng, julukan yang Hana berikan kepada Tobias. Awalnya Hana kira Tobias sedang bermain dengan mereka. Namun, saat Tobias menangis karena kacamatanya pecah dan tiga anak itu tertawa terbahak-bahak. Hana sadar bahwa perkiraannya salah. “Kalian nakal banget, sih! Aku laporin Pak RT biar kalian dimasukin penjara,” kata Hana mengancam. Walau ancamannya sedikit tidak nyambung, untungnya ketiga anak itu juga tidak paham dengan jobdesk ketua RT. “Laporin aja, wlee!” tantang salah satu dari mereka. Hana langsung berlari ke arah kantor RT. Berteriak memanggil Pak RT dan melaporkan kejahatan yang dilakukan tiga anak itu. Membuat tiga anak itu langsung kabur saat Hana bertindak. Padahal kantor RT di hari minggu tutup. Melihat mereka kocar-kacir membuat Hana semringah. Ia meninju udara sambil meloncat singkat. “Yash!” Dihampirinya laki-laki bercelana joger itu yang masih terduduk dengan mata sembab. “Celana Tobi sobek!” seru Hana. Ia mengintip sobekan di celana Tobias. Terdapat noda darah di sana. “Ih! Berdarah!” Matanya membulat terkejut. Ekspresi yang justru membuat Tobias panik dan kembali menangis. Melihat Tobias menangis, Hana mondar-mandir bingung matanya berlarian mencari keberadaan orang dewasa yang bisa ia mintai bantuan. Karena keadaan saat itu sepi terpaksa Hana dengan segala kekuatannya berusaha menghibur Tobias. “Jangan nangis. Nanti kita makan kue cubit, ya, atau cilor?” Di tangan Tobias terdapat kacamatanya yang sudah pecah. “Yah, rusak. Nanti minta beliin papa kamu, ya. Sekarang jangan nangis,” katanya sambil mengusap pucuk kepala Tobias. “Ayok, pulang!” Tobias bergeleng, rasa ngilu di lututnya membuatnya tidak berani berdiri sedikit pun. Hana melepas topi kelincinya dan memakaikannya kepada Tobias. Lalu ia berjongkok memunggungi anak laki-laki itu. “Ayo, naik. Kita pulang. Nanti di rumah aku biar diobatin Ibu.” Lelaki itu mengerjap, rasa ragu menyelimutinya. Membuat Hana lantas menarik tangannya, memaksa Tobias memeluk punggungnya. Lalu, Hana dengan susah payah berdiri. “Emang kuat?” tanya Tobias disela tangisnya. “Kuatlah, Tobi, kan, kayak kurcaci. Udah jelek pendek lagi.” Perkataan Hana justru membuat tangis Tobias tambah pecah. “Kurcaci cengeng!” ledek Hana sambil tertawa. Sedangkan anak kecil di belakangnya tambah menjerit, tangis yang tadinya mulai reda kembali pecah. Pagi itu, di bawah rintik hujan dan bau pluviophile yang menemani, dua anak dengan kondisi mood yang berbeda memecah kesunyian. Suara tangisan, tawa, dan rintik air jatuh bercampur menjadi satu. Di mulai dari saat itu, Hana menganggap Tobias seperti adik kecil yang harus ia lindungi dari kejailan anak komplek, sedangkan menurut Tobias, Hana adalah pahlawan kecilnya. *** Setelah kejadian pembulian kemarin, Tobias jadi takut memasuki area perumahan Hana. Alhasil, cewek itulah yang mendatangi rumah Tobias. Pertama kalinya Hana masuk ke pekarangan rumah Tobias, matanya berbinar mulutnya sedikit terbuka takjub. Bak taman bermain, dari mulai ayunan, perosotan sampai tenda kecil ada di sana. Hana asyik mengayunkan kakinya saat duduk di ayunan. Membuat tempat duduk itu berayun membawa cewek itu seperti terbang. “Tobi!” seru kala melihat Tobias muncul dengan wajah tertunduk. Kebiasaan anak itu. Hana langsung loncat dari ayunan itu. Menepuk kedua tangannya yang kotor lalu menunduk untuk membersihkan noda di lututnya. Kemudian ia kembali menegakkan tubuhnya dan berlari menghampiri Tobias. “Ayok, main!” ajak Hana sambil menarik pergelangan tangan laki-laki itu. Tobias mendongak, lagi-lagi Hana melihat mata merah anak laki-laki di depannya. Diacuhkannya tampang sedih Tobias, ia tidak punya waktu untuk mengurusi hal yang membuat Tobias sedih karena hatinya sudah menggebu ingin bermain. Maka, ditarik paksanya Tobias untuk menaiki perosotan. Kemudian Hana kembali menarik Tobias duduk di ayunan dengan Hana yang mendorongnya. Bergantian menaiki sepeda roda tiga Tobias. Terakhir, tidur-tiduran di dalam tenda kecil cowok itu yang berisi mainan kecil dan beberapa buku cerita. Hana yang cerewet selalu berceloteh tentang berbagai hal. Walau respon Tobias hanya mengangguk dan bergeleng, Hana tidak berhenti bercerita. Sesekali Tobias tersenyum saat Hana sudah terjungkal geli karena suatu hal. Aktifitas mereka berhenti ketika Bu Rumi datang bersama Rika—ibunya Hana. Dengan paksa Rika menggendong Hana agar pulang karena sudah sore. Saat itu, bagi Hana waktu mainnya terlalu sedikit. Ia tidak bisa menikmati permainan di rumah Tobias dengan puas. Di sisi lain, Tobias merasa hiburannya hanya sebentar, rasa nyaman itu kembali hilang dan berganti dengan ketakutan yang selalu ia rasakan. Bayangan gelap itu selalu datang saat Tobias sendiri. Kesakitan yang pernah ia rasakan seperti muncul lagi ke permukaan, membuat anak lelaki itu meringis kesakitan. Tobias mulai merasa aman lagi ketika suara mesin mobil ayahnya datang. Selain ayahnya, Tobias mulai membutuhkan Hana sebagai pelindungnya. Pahlawan kecilnya. *** Rutinitas di hari minggu pagi yang tidak boleh terlewat, yaitu lari pagi. Tobias berjongkok di depan lemari sepatunya. Di dalam kamar Tobias terdapat satu ruangan lagi yang berisi lemari baju dan lemari sepatu. Ruangan itu bak kios baju di tanah abang. Luasnya sekitar 3 × 5 meter. Ia memilih sepatu yang akan dipakai untuk lari hari ini. Tangannya berhenti pada sepatu hitam yang memiliki corak hijau di sisinya. Saat ia hendak menutup pintu lemarinya, matanya menangkap satu kotak yang ia sadari bukan di situ tempatnya. Mungkin saja Bu Rumi yang merapikan. Tobias lantas berdiri dan menaruh kotak itu di laci meja belajar. Namun, sebelum ia memasukkannya, tangannya tergerak untuk membuka kembali kotak besi bergambar naruto itu. Kondisi kacamatanya masih sama. Hanya saja untuk ukuran telapak tangannya yang sekarang, kacamata itu terlihat kecil. Memori Tobias terlempar di masa itu. Saat itu ia tidak berniat membuang atau pun memperbaiki kacamatanya. Ia lebih memilih menyimpannya. Sebagai barang yang menyimpan kenangan. Satu sudut bibir Tobias tertarik sedikit. Tipis, sangat tipis. “Kurcaci. Pendek.” Bahkan, kini ia bisa membalikkan kata-kata itu kepada Hana. Karena ternyata saat mereka kelas enam SD pertumbuhan Hana semakin lambat, dan Tobias setiap harinya terus melampaui cewek itu. Ia menutup kembali kotaknya dan meletakkan di dalam laci meja belajar. Kemudian ia menyambar sepatu yang tadi dicari sambil berlari keluar kamar. Kala ia menapakkan kakinya di lantai satu, matanya bertumbukan dengan netra cokelat itu. Warna mata yang sama yang dimiliki bayangan gelap-nya. “Mau lari, ya, Yas?” Tobias tersenyum miring. Dengan suara rendah dan beratnya, kalimat Tobias menusuk tepat sasaran. “Lo nggak lari lagi? Itu, kan, kesukaan lo.” Lalu, senyum itu menghilang.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN