15. Sebagai Nyamuk

1208 Kata
Pertanyaannya tidak dijawab. Cowok itu malah mengacuhkannya dengan mengajak bicara Viola. “Oh, jadi orang tua kalian sahabatan.” Hana masih mencoba nimbrung di antara pembicaraan Viola dan Tobias. “Kayak gue sama Tobias, ya.” Tidak ada balasan. Tobias fokus saja menjelaskan materi pelajaran kepada Viola. Sepuluh menit mendengar penjelasan Tobias membuat Hana mengantuk. Beberapa kali Hana terantuk meja karena tertidur, dan beberapa kali juga Tobias menegurnya agar pulang saja. “Pulang aja,” tegur Tobias karena konsentrasinya terganggu. Ia refleks menempatkan tangannya di atas meja. Menghalangi wajah cewek itu agar tidak kebentur untuk ke sekian kalinya. Di atas telapak tangan Tobias yang lebar, Hana cengar-cengir. “Nggak, gue, mau jadi nyamuk.” Tobias memandang sebal. Melihat telapaknya mampu menangkup seluruh wajah cewek itu membuatnya tersadar betapa kecilnya Hana. Ia mendesah panjang, pipi Hana yang bertumpu di telapaknya ia tegakkan. “Asal nggak ngantuk. Sekali lagi lo tidur, gue seret ke kamar,” ancam Tobias yang mendapat kekehan kecil dari Hana. Mereka tidak menyadari bahwa adegan itu sangat mengganggu perempuan yang duduk di hadapan mereka. *** Ancaman Tobias nyatanya tidak berpengaruh. Hana justru tertidur dengan kepala berada di atas meja. Dengkuran kecil lolos dari bibirnya. Membuat Tobias dan Viola sedikit terganggu saat sedang berdiskusi. “Keganggu, ya?” tanya Tobias dengan wajah mengerut malu. Entah, kenapa malah dia yang malu, padahal Hana yang berbuat. Tobias sudah sering ditemani belajar dengan dengkuran cewek itu. Awalnya memang terganggu, tetapi makin lama makin terbiasa. Begitu juga untuk saat ini ia tidak merasa terganggu, justru malah malu. Tobias menggoyang bahu Hana. “Han, tidur di kamar, gih.” Lo-bikin-malu-gue-anjir! Rasanya Tobias ingin mencak-mencak seperti itu. Namun, seperti yang sudah-sudah ia selalu menahan. “Han,” panggil Tobias lagi dengan sabar. Hana menggeliat. Ia mengucek matanya yang terasa seperti lem. Saat wajahnya lepas dari meja. Tobias dapat melihat air terjun yang mengalir deras dari ujung mulut gadis itu. “Hmm?” Tangannya mengusap mulutnya yang terasa basah. Membuat Tobias bergidik. Tidak jijik, lebih ke malu. Membayangkan bagaimana penilaian Viola kepada sahabatnya itu. Tobias sudah biasa melihat itu. Namun, mengetahui ada orang lain di antara mereka membuat Tobias mengutuk Hana dalam hatinya. Dasar-nggak-tau-malu! Hana mengambil tisu di atas meja. Mengelap air liurnya. Matanya mengerjap melihat Tobias dan Viola. Lalu matanya bergulir ke arah jam besar di ujung ruangan. “Udah mau jam enam. Masih belajar?” Ia mengangkat tangannya untuk meregangkan tubuhnya. “Nggak bosen apa? Gue aja udah capek ini.” Tidur dalam keadaan duduk membuat badannya terasa ngilu. “Lo aja dari tadi tidur,” gerutu Tobias. “Lo aja dari tadi tidur,” balas Hana dengan nada meledek. “Gue tidur juga mimpinya belajar.” Tobias hanya melirik kesal. Lalu fokusnya kembali kepada Viola dan buku di depannya. Ia mulai kembali menjelaskan materi. Namun, Viola yang sudah merasa tidak nyaman akhirnya memutuskan menyelesaikan belajar hari itu. “Kalau ada yang belum paham. Chat aja.” Hana melongo. Tobias mengajak chattan cewek? Seriusan? “Hehe, iya, makasih Kak Bias. Aku pulang dulu.” Sepulangnya Viola, Hana melempar lasernya kepada Tobias. Bahkan Tobias sampai merinding karena merasa sudah ditatap horor oleh seseorang. Cowok itu melirik Hana, mendapati dirinya sedang ditatap dengan pandangan menusuk. Tobias mengangkat kedua alisnya sembari mengangkat dagu sekilas. Berisyarat ‘Apa?’ Hana masih menatapnya. Mata Tobias melirik ke kanan dan kiri. Lalu mengendus bau tubuhnya. Tidak ada masalah. “Apaan, sih?” Awalnya, Hana ingin menanyakan apa maksud perkataan chat-gue-ya. Namun, tiba-tiba lidahnya kelu. Ia tidak bisa memuntahkan pertanyaan itu. Hana merasa ragu karena akan bernada aneh pastinya. Untuk itu ia bergeleng dan melepaskan tatapan sinar lasernya. “Nggak apa-apa.” Hana berbalik menuju lantai dua untuk mengambil tasnya yang berada di kamar Tobias. “Gue mau pulang.” Hana merasakan perasaan aneh yang sebelumnya belum ia rasakan. Entah karena terkejut melihat Tobias berani mengajak chattan cewek atau karena alasan lain. Hana bingung. Dengan langkah gontai ia menuruni tangga, denyut di lututnya kembali terasa. Tangannya terangkat saat melewati Tobias yang sedang menyenderkan tubuhnya di sofa. “Gue balik dulu, bay!” Sapaan Hana dijawab deheman oleh Tobias. Saat Hana ingin meraih kenop pintu, benda itu bergerak. Pintu yang Hana lihat berubah bentuk menjadi sesosok lelaki dewasa. Wajah lelaki itu, seperti Tobias versi dewasa. Perbedaan mereka hanya pada tinggi badan. Tobias lebih tinggi dari lelaki itu. Mulut Hana sedikit terbuka, terkejut karena melihat duplikat Tobias di hadapannya. “Hai! Temennya Tobi, ya?” Hana mengangguk pelan. “Kakak—“ “Kenalin.” Ia mengulurkan tangannya. “Thomas, kakak Tobias. Salam kenal.” Senyum lebar tercetak di wajahnya. Membuat Hana mengerjap cepat. “Na-nama aku Hana, Kak. Salam kenal juga.” Hana merutuk dirinya yang kentara sekali gugupnya. Tobias yang tengah asyik dengan ponselnya lantas mendongak. Tubuhnya cepat bergerak mendekati Hana. “Gue anter aja.” Cowok itu melepas paksa tautan tangan Hana dan Thomas. Belum sempat Hana mencerna, Tobias sudah menarik pergelangan tangannya keluar rumah. Kalau Hana tidak salah liat, rahang Tobias tadi mengeras. Mata elangnya menukik seperti ingin memangsa. Setahu Hana, Tobias memang paling tidak suka kalau membahas kakaknya itu. Namun, melihat ekspresi permusuhan dari cowok itu membuat Hana yakin bahwa Tobias benar-benar tidak menyukai Thomas. Hana enggan membahas, teringat kejadian waktu mereka SMP. Hana baru pertama kali melihat foto Thomas, ia terus menyecar Tobias dengan pertanyaan mengenai Thomas. Thomas umur berapa, dia suka voli atau tidak, kapan Thomas main ke sini, dan masih banyak lagi. Saat itu Tobias hanya menjawab dengan satu kalimat. “Sekali lagi lo sebut nama itu. Gue akan ngejauhin lo.” Ancaman Tobias itu dianggap lelucon oleh Hana. Niat Hana hanya mengejek, jadi dia bertanya sekali lagi. “Kok Thomas nggak tinggal di sini aja?” Setelah pertanyaan itu terlontar, Tobias benar-benar menjauhi Hana. Hana sampai hampir frustrasi karenanya. Maka dari itu hari ini, Hana tidak berani membahas Thomas sama sekali. Saat mereka sampai di gerbang, Tobias baru teringat kalau ia lupa membawa kunci motor. Hana menegurnya ketika Tobias merogoh saku celana dan bajunya. “Kunci lo bukannya di atas meja belajar?” Lelaki itu berdeham, menelan salivanya untuk membasahi tenggorokan yang terasa kering. “Kita jalan aja.” Alis Hana terangkat. “Deket ini, ngapain naik motor. Itung-itung olahraga,” kilah Tobias sambil melambai kepada Pak Trisno minta dibukakan gerbang. Hana mengejar Tobias. “Kenapa nggak ambil aja ke dalem.” “Males, ah, jauh.” Hana berdecih, mentang-mentang rumahnya besar. Bisa saja alasannya. “Kalian mau ke mana?” tegur Pak Trisno. “Nganter Hana pulang, Pak,” jawab Tobias ramah. “Jalan kaki?” “Iya, kunci motor saya ketinggalan di kamar.” Pak Trisno mengangguk paham. “Mau pake motor saya?” “Nggak usah.” “Boleh, Pak,” potong Tobias cepat. Membuat Hana membulat tidak percaya. Pasalnya, supra milik Pak Trisno itu sudah tua. Sering mogok-mogokan. Hana menarik ujung baju Tobias. “Jalan kaki aja.” Tobias melirik jemari Hana yang menahannya. “Nggak, ah, capek.” Lalu Tobias semangat mengeluarkan motor supra milik Pak Trisno. Bagaimana bisa anak sultan yang biasa menggunakan kendaraan mahal, malam ini keluar dari istananya dengan motor bebek yang sudah lama. Bahkan bunyi mesinnya saja mampu membangunkan warga satu RT. HANA YANG MALU! “Ayo, Han. Naik!” titah Tobias. Mengacuhkan wajah asam Hana yang sudah tercetak saat ia menyalakan motor itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN