18. Arti Keluarga

1603 Kata
Sebuah notifikasi muncul di layar ponselnya. Rahangnya mengeras kala membaca deretan kalimat yang dikirim dari nomor papanya. Nanti malam kita makan keluarga. Papa udah pesenin meja untuk kita bertiga. Papa tunggu jam 8. From: Papa Tobias berdecih, keluarga? Bertiga? Bagi Tobias, keluarga yang ia miliki hanyalah papanya. Sedangkan laki-laki yang kini berada di samping kamarnya hanya sekedar tamu. Mengabaikan pesan yang Irwan kirim, Tobias menghempaskan tubuhnya ke atas kasur. Dia berharap di saat seperti ini memiliki kemampuan hibernasi dan bangun ketika Thomas sudah tidak ada di rumah. Kepalanya terasa berdenyut, pemikiran-pemikiran rumit nan berkelit kembali berputar di otaknya. Berbagai macam prasangka yang biasanya tidak terjadi justru menari di benaknya. Kenapa Thomas melakukan itu? Apakah Thomas mengharapkannya mati? Apa sebenarnya dia lebih baik tidak memiliki suara? Bagaimana jika dirinya anak yang tidak diharapkan? Ketika Tobias sudah merasa pusing dengan dirinya, ia butuh pengalihan. Agar otaknya tidak berkutat di permasalahan itu. Maka, ia lantas mengambil benda pipih dan menghubungi seseorang. Ada topoki, nih, mau? From: Me Tobias masih membuka chat itu, menunggu balasan orang di seberang. Beberapa detik kemudian. Gaskeuunnnn! Gue otewe jan diabisin From: Hana Lovira Terkadang, sifat ajaib cewek itu bisa membuatnya sedikit melupakan permasalahan. *** "Dih, bohong!" tukas Hana. Perempuan berkucir kuda itu memukul bahu Tobias dengan botol minum di tangannya. Tobias menahan pergelangan tangan Hana. "Gue baru mau beli. Jangan marah dulu," katanya tenang. Ia meraih botol minum berukuran 350ml dan menaruhnya di atas meja. Hana dapat melihat kerutan di dahi Tobias. Kebiasaan cowok itu saat dalam mode overthingking. "Nggak mau topoki kalo gitu." Tobias yang tengah mengetikan orderan di ponselnya lantas mendongak. "Nonton aja." Hana berjalan ke arah televisi berukuran 43 inch. Televisi itu berhadapan dengan letak kasur Tobias. Cewek itu duduk di depan meja kecil di bawah televisi yang menggantung di dinding. Mengambil remot, dan mencari film menarik di televisi yang sudah terhubung dengan internet. Tobias terdiam di tempatnya berdiri. Memperhatikan Hana yang heboh sendiri melihat deretan poster di layar televisi. "Ini bisa nggak, sih, diputernya barengan ... Huaa jadi bingung nonton yang mana dulu. Mau nonton ini nggak? Park Bo Gum sama Gong Yoo." Netra hitam Tobias beralih ke layar televisi. Sebuah film bergenre fiksi ilmiah. "Boleh." "Ya udah, nggak yang ini," putus Hana. "Mau yang ini?" tanya cewek itu lagi. Tobias kembali mengangguk, kali ini film horor. Hana bergeleng cepat. "Jangan yang ini." Matanya berlarian mencari poster yang menarik lagi. "Atau ini?" Hana menunjuk poster bernuansa ungu yang pemerannya menggunakan jubah hitam. "Film ini aja!" Tobias menjawab dengan volume meninggi. Hana mengetuk dagunya, keningnya berkeriput. Ia bergumam, "Enggak, deh." Lalu matanya berhenti di poster yang berjudul Miss Granny. "Nah, ini!" Tobias melotot, "Lo...," geramnya. "Ngapain lo nanya ujung-ujungnya mutusin sendiri." Cowok itu mengacak rambutnya kesal. Hana menyengir, menampilkan sederet gigi putihnya. Tangannya menepuk ruang kosong di samping cewek itu. "Duduk sini. Kita nonton film komedi aja." Bola hitam milik Tobias memutar. Memang menguras emosi jika berhadapan dengan cewek yang kini sibuk membuka toples makanan miliknya. Kemudian cewek itu mengambil remot AC dan menyetel suhu ruangan sesuai keinginannya. Definisi anggap-saja-kamar-sendiri. Siang itu, kamar Tobias diisi dengan suara tawa nyaring milik Hana dan suara dari televisi. Sesekali Tobias ikut tersenyum ketika ada adegan yang lucu. Film yang dipilih Hana ternyata bertema keluarga. Di mana sang nenek yang memiliki kesempatan menjadi muda rela kembali tua untuk menyelamatkan cucunya. Padahal jika nenek itu kembali muda ia bisa mewujudkan mimpinya yang belum ia capai semasa muda dulu. Tentang pengorbanan, perjuangan, dan cita-cita. Pikiran Tobias malah terlempar pada kejadian 'itu', keluarganya jauh sekali dari kata rela berkorban. Nyatanya, yang terjadi malah sebaliknya. Mereka rela mengorbankannya demi kepuasan sendiri. Oh, atau satu-satunya yang berkorban di sini adalah dia sendiri. Tobias terkekeh, menertawakan hidupnya sendiri. Membuat Hana di sampingnya mengernyitkan dahi. "Ini adegan sedih, Bi. Kok ketawa?" Senyum Tobias pudar. Fokusnya memang tertancap pada layar televisi. Namun, pandangannya terlihat kosong. Hal itu membuat Hana bungkam. Tobias sedang tidak baik-baik saja. Entah, masalah apa yang Tobias pikirkan kali ini. Hana membawa tangannya menyentuh bahu Tobias. Cowok itu tersentak. Mata elangnya bertemu dengan netra hitam milik Hana. "Kalo capek istirahat aja." Tobias bergeming. "Gue nonton sampe lo suruh pulang. Lo kalo ngantuk tidur aja. Gue nggak akan berisik. Janji!" Kata-kata Hana memiliki makna lain, kalau lelaki itu harus melupakan masalahnya, mengistirahatkan otaknya, dan Hana akan menemaninya sampai ia lebih baik. Tobias mengangguk kecil. Lalu ia beranjak menuju kasur. Ini yang Tobias suka bersahabat dengan Hana. Dari dulu jika ia memiliki masalah dan tidak ingin bercerita, Hana sangat peka. Cewek itu tahu, tetapi tidak mau membahas. Alih-alih membahas luka, Hana lebih memilih memberikan obat. Dilihat mata lelaki itu sudah terpejam, Hana mematikan televisi. Ia tidak menonton. Ia hanya ingin menemani Tobias melewati mimpi buruk lelaki itu. *** Jam di ponselnya sudah menunjukkan pukul 18.00. Waktu makan malam yang direncanakan ayahnya satu jam lagi. Tobias melirik ke samping, Hana sudah tidak ada di kamarnya. Entah jam berapa perempuan itu pulang. Ketukan cukup keras dan konstan membuat kelopak mata yang hampir tertutup rapat itu kembali terbuka. "Yas, udah siap belum? Dapet chat dari Papa, 'kan?" Tobias menutup telinganya. Wajahnya makin ia tenggelamkan di atas bantal. "Berangkat bareng atau sendiri-sendiri?" Tidak kunjung mendapat balasan, Thomas-pelaku yang mengetuk pintu-menghela napas. "Gue duluan, ya. Jangan kecewain Papa." Ia mengakhiri perkataannya dengan nada penuh keseriusan. Tobias mencengkeram sepreinya dengan keras. Sesuatu yang bergumul di dadanya terasa ingin dilepaskan. Seakan kain itu menjadi pelampiasan. Kecewain papa katanya? Tobias mendengkus bahkan yang pergi meninggalkan rumah ini adalah Thomas sendiri. Dirasa sudah sedikit lebih tenang, Tobias mengangkat wajahnya. Duduk satu meja dengan Thomas lima belas menit sepertinya tidak akan membuatnya gila. Untuk itu dengan langkah yang berat Tobias mulai bersiap menghadiri acara yang katanya makan malam keluarga. *** Restoran bernuansa Eropa yang terletak di tengah kota itu menjadi tempat yang dipilih Irwan. Sesekali ia melirik arlojinya. Sudah lebih dari lima menit, tetapi salah satu dari anaknya belum ada yang datang. Baru saja ia hendak menelepon, anak tertuanya sudah menyembul dari pintu masuk. Mata mereka bertemu, ekspresi anak itu sangat datar untuk ukuran bertemu dengan ayahnya sendiri. Irwan menghela napasnya lalu berusaha tersenyum saat Thomas sudah mengambil duduk di depannya. "Adek kamu mana?" Thomas mengendikan bahu. Bersender dengan kepala menunduk melihat ponsel. "Tunggu aja." Tenggorokan Irwan terasa tercekit. Ia jelas tahu diri, menyadari bahwa itu semua karenanya. Matanya terus melirik ke arah pintu masuk. Irwan harap rencana makan malam ini berjalan lancar. Tobias merapalkan kata-kata. "Tahan. Lima belas menit aja. Tahan. Jangan gila." Melewati dua satpam di depan restoran, Tobias menyapu penjuru ruangan mencari keberadaan papanya. Sebuah tangan melambai. Tobias menyipit, berharap yang melambai itu ayahnya. Karena ia tidak memakai kacamata, dari jaraknya saat ini semua wajah terlihat buram. "Pa," sapa Tobias. "Duduk, Nak." Irwan menunjuk kursi di sampingnya. Mata Tobias sempat bertemu dengan manik Thomas. Namun, tidak lama karena Tobias segera membuang muka. Thomas tersenyum kecut. Pelayan restoran menghampiri mereka dengan berbagai macam hidangan. Meja bulat yang kini mereka tempatkan sudah terisi penuh. "Nih, ayam asam manis kesukaan kamu." Irwan menaruh ayah itu di atas piring Tobias. Tobias tersenyum tipis. "Makasih, Pa." Netra gelap Irwan melirik ke arah Thomas. "Papa inget kamu suka seafood pas masih kecil." "Sekarang udah nggak suka," bantah Thomas. Tangan Irwan yang sudah membawa sesendok cumi berhenti. Lalu ia menaruh kembali lauk itu ke piring saji. Setelah berdoa sejenak, mereka bertiga memulai suapan pertama. Sampai saat ini keadaan masih terkendali. Tobias masih bisa menelan, Thomas masih bisa mengunyah, dan Irwan masih bisa merasakan bumbu dari tuna yang ia makan. "Gue denger Tobias masuk tim voli, ya." Tobias mengangkat wajahnya. Irwan tertawa. "Itu Papa yang cerita." "Oh." Ia kembali menyuap makanannya sambil mengangguk. "Sama, dong, kayak gue. Kapan-kapan kita bisa latihan bareng," kata Thomas dengan semangat. Ia masih berusaha mendekati Tobias. Mengakrabkan diri dengan adiknya yang kelewat dingin terhadapnya. Mungkin ini yang papanya rasakan saat ia bersikap cuek. Tobias kembali mendongak. Tanpa menjawab perkataan Thomas ia justru beralih ke papanya. "Kerjaan Papa gimana? Kemaren Tobi ketemu temen Papa yang depan rumah kita. Katanya nitip salam." "Kerjaan Papa baik. Oh, Dokter Rafi? Udah ketemu?" Tobias mengangguk. "Kemaren anaknya udah ke rumah juga." Irwan tergelak. "Oh, iya. Viola. Om Rafi minta tolong kamu ajarin anaknya itu. Gimana belajarnya? Lancar?" Belum sempat Tobias menjawab, Thomas menghempaskan sendok dan garpunya secara kasar menimbulkan suara dentingan yang memekakkan telinga. Ia mengeluarkan tawa memaksa. "Makan malam keluarga? Keluarga apanya? Gue nggak dianggap di sini." Tobias tampaknya tidak terganggu dengan pertanyaan sarkas itu. Ia melanjutkan makannya. "Maaf. Papa nggak maksud nyuekin kamu." Irwan berusaha tenang menanggapi Thomas. "Jadi, gimana sama kuliah kamu?" Ia mencoba membangun percakapan lagi dengan anak pertamanya. Namun, sayangnya emosi yang sedari tadi di tahan Thomas sepertinya sudah berada di ujung kepala dan tidak bisa lagi ditahan. Lelaki itu berdiri dengan kasar. Membuat kursi di belakangnya terpental jatuh. "Yang buat keluarga kita hancur Papa. Yang buat lo sakit, mama sakit, gue sakit, itu semua karena Papa. Tapi, kenapa lo bencinya ke gue dan Mama?!" Thomas berseru kepada Tobias. "Cukup, Thomas!" sergah Irwan dengan tegas. Kilatan di matanya memancarkan kemurkaan. Dada Tobias kembali bergemuruh. Tangannya mengepal keras hingga memutih. Suara perdebatan antara Papa dan Thomas terasa jauh dari pendengarannya. Ia memegang kepalanya yang terasa berat. "Karena yang nyakitin gue, ya, kalian berdua," kata Tobias tajam. Ia merasa sudah berteriak, tetapi suaranya terdengar kecil di telinga. Thomas lantas tertawa mendengar perkataan Tobias. Suara tawanya menggelegar dan terasa menakutkan. Lalu tawanya lenyap, ia merendahkan wajahnya untuk mendekati wajah adiknya. "Lo lupa? Ini semua nggak akan terjadi kalau pria di samping lo itu nggak selingkuh." Setelah mengatakan itu Thomas kembali menegakkan tubuhnya, kemudian melangkah pergi meninggalkan dua orang yang kini sudah terbungkam. Keluarga? Di dalam kamus kehidupan Thomas, keluarga itu sudah punah.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN