48. Pura-pura Sakit

1062 Kata
Setelah memastikan Tobias sudah bergabung dengan teman-temannya wajah Hana berubah masam. Ia menoleh ke arah Rabian dan menghujani lelaki itu pukulan. "Kalau ngomong jangan sembarangan anjir. Nanti kalau Tobias ngadu ke bokap gue gimana!" "Aduh!" Rabian menghalangi tubuhnya dengan tangan. "Iya, maap ampun, iya ampun." Setelah puas memberi pelajaran kepada Rabian, Hana berbalik meninggalkan cowok itu. Rabian mengangkat kedua tangannya untuk meregangkan tubuh. Meskipun terlihat mungil tenaga cewek itu lumayan juga. Seperti tidak kapok, Rabian malah berlari mengejar Hana. "Han, Tobias kan nggak liat ini. Pulang barenglah," bujuk Rabian. "Nggak." "Tapi lo pulang bareng dia nggak masalah." Rabian memegang ujung tas Hana. "Masa gue nggak boleh. Kita juga temen kali." Cewek itu bergeleng. "Kan gue udah pernah bilang, Tobias udah kayak saudara. Sedangkan lo beda. Kita bisa disangka pacaran kalau sampe orang rumah liat." Rabian memegang dahunya, matanya melirik ke ujung kanan atas. "Ya nggak apa-apa sih. Siapa tau beneran jadian." Hana berdecak keras. Membuat Rabian terkekeh lalu menaikkan dua jarinya membentuk V. "Canda kok, gue bercanda." Perempuan itu memutar malas matanya. Ia kemudian mengeluarkan ponselnya untuk memesan ojek online. Tidak perlu waktu lama, ojek pesanannya sudah siap dan tengah menuju ke tempatnya. Rabian hanya memerhatikan itu. Cewek yang sibuk dengan ponselnya. Lalu berlari pergi saat ojek yang ia pesan sudah berada di depan gerbang. Lelaki berambut two block itu hanya memandang Hana dengan senyum kecut. "Sesusah itu ternyata." *** Lagi-lagi Rabian terlambat masuk kelas. Ia harus mengerjakan hukuman yang diberikan guru piket sebelum masuk ke dalam kelas. Untung saja saat Rabian masuk ke dalam kelas gurunya sedang tidak berada di kelas. Baru saja cowok itu menempelkan bokongnya di kursi. Perempuan berkucir kuda di sampingnya sudah menceramahinya. "Nggak niat sekolah lo, ya? Terlambat hampir sejam!" "Ada tugas apa?" Rabian membuka bukunya dan melirik ke papan tulis. Hana tidak habis pikir, bagaimana orang seperti Rabian ini bisa masuk ke Galena. Anehnya lagi, Rabian pintar. Hana menyodorkan bukunya untuk mempermudah Rabian menyalin. "Bentar lagi Pak Iqbal dateng. Cepet nyalinnya." Keberuntungan lain dari Rabian adalah Pak Iqbal belum mengabsen muridnya. "Ini nomor dua lo salah." Rabian menghitung kembali soal dari nomor dua. Hana melirik jawaban Rabian kemudian menarik bukunya untuk mengganti jawabannya yang salah itu. "Nomor lain bener?" tanya Hana seusai membenarkan jawaban. Rabian kembali menarik buku cewek itu dan melanjutkan untuk menyalin soal. Selama Rabian belum protes, Hana menganggap itu sebagai tanda kalau jawabannya benar. "Nomor enam salah nih, kurang nol setelah koma." "Sama aja sih," celetuk Hana. Rabian mengetuk jidat cewek itu dengan pulpennya. "Mana ada sama! Nol koma enam puluh lima sama nol koma nol enam itu beda. Aneh, gitu aja nggak ngerti." Tak terima dirinya disindir Hana menjewer telinga Rabian. "Nggak usah julid!" "Aak, iya ampun ampun. Mau gue benerin lagi nggak." Mendengar itu membuat Hana melepas jewerannya. Rabian menyelesaikan sepuluh soal fisika dengan cepat. Tepat sebelum Pak Iqbal memasuki kelas. Hana dan Rabian mengumpulkan buku tugasnya ke depan kelas. Setelah menyelesaikan tugasnya. Seperti biasa, Rabian menjatuhkan kepalanya ke atas meja. Dengan tangan sebagai bantalan. Bahkan Hana jadi terbiasa dengan itu. Saat ketua kelas mereka, Dira, membagikan buku tugasnya. Cewek itu menempatkan satu jarinya di depan bibir. "Dia ngeronda tiap malam, Dir. Jangan kasih tau Pak Iqbal, ya?" mohon Hana. Dira melirik ke arah guru berperawakan tinggi dengan brewok di wajah. "Asal nggak ketauan Pak Iqbal aja," kata Dira sambil menyodorkan buku tugas Hana dan Rabian. Hana mengangkat jempolnya lalu mengucapkan terima kasih. Perempuan itu melirik Rabian. Bahu lelaki itu naik turun tampak pulas dalam tidurnya. Sebenarnya Hana jadi penasaran apa yang dilakukan Rabian setiap malam hingga ia harus tertidur di kelas. Saat jam pelajaran selanjutnya dimulai, Hana membiarkan Rabian tidur. Ia membangunkan cowok itu saat di mana gurunya hendak berjalan ke arah bangku mereka. Kemudian kembali menyuruh Rabian tidur saat kondisi aman. Namun, ada kalanya Hana lengah. Miss Puji, guru bahasa inggrisnya mengetahui kalau Rabian tidur di kelas. Hana gelagapan sendiri ia menggoyangkan bahu Rabian. "Kalau memang dia mau tidur suruh keluar dari kelas saya dan jangan pernah masuk sampai naik-naikan kelas." Mata Hana sukses membesar. Otaknya berpikir cepat. "Dia sebenernya lagi sakit, Bu. Padahal saya udah bilang nggak usah masuk sekolah hari ini tapi dia maksa katanya nggak mau ketinggalan pelajaran." Kedua tangan Hana meremas bahu Rabian bermaksud agar cowok itu bangun. Saat kepala Rabian terangkat Hana langsung memegang dahi cowok itu. "Perlu saya bawa ke UKS kayaknya ini, Bu." Hana menginjak kaki Rabian. "Lo kan gue udah bilang kalau nggak enak badan mending istirahat di rumah. Aduh lo, ya, segitu cintanya sama sekolah." Rabian memandang bingung Hana. Otaknya masih memproses saat melihat wajah curiga gurunya di depan, pandangan penasaran teman-teman sekelasnya, dan muka mengancam Hana. "Sorry." Mata Rabian menyapu ke teman-teman dan gurunya. "Maaf buat yang lain." "Kamu sakit?" tanya Miss Puji. Hana meremas bahu Rabian. "Sekarang lo jujur aja sama Miss Puji. Lo nggak dimarahin kalau jujur lagi sakit," ucap Hana memberi kode. Rabian paham. Ia mengangguk kaku. "Ya sudah sekarang kamu istirahat di UKS, sekalian minta obat ke dokter yang jaga. Hana bisa bantu Rabian ke sana?" Hana mengangguk cepat. "Bisa banget, Bu." Ia menarik paksa Rabian agar berdiri. "Ayo ke UKS." Rabian mengangguk patuh. Tubuhnya yang sebenarnya biasa aja dipaksa Hana untuk sedikit menunduk. Tangan cewek itu meremas kuat lengannya. Bodohnya Rabian, cowok itu menjulurkan tangannya saat melewati Miss Puji hendak salim. Hana buru menarik kembali tangan Rabian. "Lo lagi sakit jangan salim gitu nanti nular ke Miss Puji ... Maaf, Miss, Rabian masih linglung gini," kata Hana kemudian menyeret cepat Rabian keluar kelas. "Bodoh banget lo. Kalau Miss Puji pegang tangan lo terus nyentuh jidat lo nggak ada angetnya sama sekali percuma akting gue!" omel Hana saat mereka sudah jauh dari kelas. Rabian terdiam. Ia hanya mendengarkan setiap omelan cewek itu sepanjang jalan. "Makanya tidur tuh jangan kemaleman. Lo emang ngapain aja sih, tadi malem? Ngeronda? Kalau disuruh ngeronda bilang dong lo pelajar harus tidur. Aneh banget, kok lo bisa pinter bermodalkan tidur di kelas. Mana belakangan ini telat mulu." Mereka sudah berada di depan ruang UKS. Hana membuka pintu UKS. Tidak ada dokter jaga di sana. Hana menebak dokter itu tengah berada di kantin. Cewek itu menutup tirai di salah satu tempat tidur. Hana menyuruh Rabian untuk tidur di sana. Ia akan menunggu sampai dokter itu datang. Walaupun sepertinya dokter jaga tidak akan datang ke UKS kalau tidak dipanggil. "Gue tidur di sini. Terus lo ke kelas gitu?" "Enggak. Gue tunggu di sini."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN