39. Teman Dekat

1021 Kata
Tobias Mohon doanya, ya, teman-teman. Vino Semangat bro Dira Sukses Yas Gani Tim voli kita mah gue yakin bakal menang sih. Alex Kalo nemu yang bening info info ye, Yas Percakapan di grup kelasnya tadi malam. Cewek itu tersenyum kecut. Bahkan Tobias tidak memberitahunya sama sekali kalau hari ini cowok itu akan bertanding. Hana menutup aplikasi pesan itu, dan menyambungkan ponselnya pada headset. Sambil menunggu angkutan umum datang. Hana duduk di halte dengan menyumpal telinganya dengan headset. Lagu Peter pan milik EXO mengalun di telinganya. Seperti Peter pan yang selalu mengingat kenangannya bersama Wendy. Pikiran Hana pun terlempar pada masa-masa ia dan Tobias tak sejauh ini. Bagaimana cowok itu selalu menjadikan Hana prioritasnya. Saat angkutan umum sudah datang, Hana lantas berdiri. Ia menepuk pipinya untuk berhenti memikirkan hal yang dapat merusak moodnya. "Sekali aja, Han. Sehari aja jangan pikirin Tobias." Kedua tangannya mengepal memberi perintah pada dirinya sendiri. *** Suasana kelas saat ini sangat berisik. Berawal dari Dira yang mengatakan pelajaran Bahasa Indonesia gurunya tidak hadir. Kemudian disusul pesan dari guru piket kalau di jam ke dua nanti guru olahraga tidak hadir. Seperti inilah kelas. Mendadak kelas mengadakan konser mini. Dengan bermodal lagu dari ponsel, hampir semua anak kelas F melakukan paduan suara. Berbeda dengan Hana yang malah menelungkupkan wajahnya di atas meja. Rabian yang menyadari perubahan cewek itu pertama kalinya ikut menempelkan pipinya di meja. Jari cowok itu mengetuk meja dua kali membuat kelopak mata perempuan itu terbuka. "Lo masih nggak mau nemenin gue keliling sekolah ini?" Hana tidak menjawab. Membuat cowok itu gregetan sendiri. "Aak!" Hana mengaduh karena sentilan Rabian di dahinya. Rabian bangkit sambil menarik tangan cewek itu untuk ikut berdiri. "Nggak lucu kalau gue tersesat di sekolah sendiri." Hana menarik kembali tangannya. "Gue emang pengen keluar. Gabut di sini." Lantas cewek itu berjalan ke arah luar. Rabian melihat itu tersenyum tipis dan mengikuti Hana dari belakang. "Makasih loh, akhirnya lo mau." "Udah dibilang gue emang mau keluar kelas. Muterin sekolah. Bukan mau bantu lo." Cowok itu mengangguk sambil terkekeh. "Oke oke." Hana memutar matanya. Mereka melewati gedung A gedung untuk kelas sebelas sampai dua belas IPA. Kemudian Hana menunjukan gedung B yang diperuntukan untuk kelas IPS. Terakhir gedung C. Terdiri dari aula, ruang OSIS, ruang olahraga, ruang musik, dan kolam renang. Perpustakaan dan musholah memiliki gedung sendiri. Di belakang gedung C terdapat hutan buatan. Sejujurnya Hana juga belum pernah ke sana. "Han, boleh nanya?" "Hmm?" "Enggak jadi deh." Hana memasang wajah kesalnya yang membuat Rabian menyengir kuda sambil mengangkat jari telunjuk dan jari tengahnya membentuk V. "Lo nggak nonton Tobias? Beberapa anak kelas kita ada yang minta dispensasi nontonin anak voli tanding. Kan lumayan sekalian bolos." "Lo sendiri?" Hana mengayunkan kakinya ke undakan terakhir menuju atap sekolahnya. Dan membuka pintu besi. Tobias mengintili dari belakang. Ia sedikit takjub. Tak seperti atap sekolahnya. Atap sekolah Galena pun sangat bersih dan rapi. Ada beberapa tanaman di sana. "Gue nggak diajak nonton voli, nggak enak aja kalau ke sana nggak ada temen." Hana duduk di atas salah satu meja yang teronggok di sana. Kemudian ia merebahkan dirinya. "Di sini tuh enak banget sumpah. Tiduran sambil liat awan. Berasa deket banget sama langit." Tangan Hana menjulur. Membayangkan ia bisa menggapai benda kapas itu. "Yan, lo pernah nggak sih ngerasain perbedaan sikap seseorang yang drastis." Rabian menarik salah satu kursi dan mendekatkan dengan meja yang Hana tiduri. "Enggak. Maksudnya gimana?" "Yaa. Misal nih. Lo punya temen. Terus suatu ketika temen lo ini sikapnya beda banget. Lo pernah punya temen yang gitu nggak?" "Nggak. Gue nggak benar-benar punya temen selama ini." Hana menghela napasnya. Kakinya yang menggantung berayun-ayun. Menimbang pilihan antara menceritakannya kepada Rabian atau tidak. "Cerita aja lagi. Gue dengerin kok," ucap Rabian seperti tahu saja arah pikiran Hana. "Gue nggak tau sih berawal dari mana. Intinya dia tuh dulunya bisa dibilang nurut banget sama gue. Dia selalu ngebela gue. Dia nggak akan ngebiarin gue susah sendirian. Bahkan dia mau nyusahin diri sendiri kalau gue minta. Dan ... gue selalu jadi yang pertama tahu segala hal tentang dia." Hana terdiam sejenak. Membicarakan itu membuatnya jadi mengingat kembali momen bersama Tobias dulu. Bagaimana cowok itu rela tasnya menjadi payung untuk Hana. Berakhir dengan segala sesuatu yang ada di tas Tobias menjadi basah dan rusak. Bagaimana Tobias akan excited membicarakan komik terbaru yang akan terbit kepada Hana. Bahkan setiap Tobias ganti ponsel pun. Orang pertama yang diberitahu adalah Hana. Kalau cowok itu mengganti nomornya. Hana akan menjadi orang pertama yang Tobias hubungi. "Terus?" Rabian memecah lamunan Hana. "Ah, ya, gitu." Hana terkekeh kaku. "Ya, sekarang dia beda. Dia kayak ngejauh dari gue? Kalau gue nggak ngejar dia, nggak berusaha ngobrol sama dia. Dia nggak ada usaha untuk ngobrol sama gue. Bahkan info tentang dia pun gue taunya dari orang lain." Cewek itu tersenyum kecut. "Semua orang berhak berubah lagi," komentar Rabian. Satu kakinya ia tumpukan ke pahanya yang lain. "Yang penting sekarang perubahan dia positif atau malah negatif. Selama positif nggak ada yang perlu dikhawatirin. Menurut cerita lo itu. Temen lo itu awalnya kayak ketergantungan sama lo. Dan sekarang dia lagi berusaha untuk mandiri." Mata Hana mengerjap. Benarkah? Tobias hanya berniat untuk mandiri? Tapi bukannya mandiri tidak perlu sampai menjaga jarak sejauh ini? "Tapi kalau sampe gue nggak tau apa-apa lagi tentang dia. Apa mandiri itu masih bisa dijadiin alasan?" Wajah Hana menoleh ke arah Rabian. Rabian mengusap dagunya. Memasang ekspresi berpikir yang membuat Hana memutar matanya jengah. "Dah nggak usah dipikirin deh, gue ngerinya berasap tuh otak." "Weh, gue pinter lagi. Lo nggak inget gue bisa ngerjain soal matematikan dan fisika kemaren. Dan jangan lupa kalau gue siswa berprestasi dari Galena Terbuka yang ditarik ke sini," tutur Rabian menyombongkan diri. Hana berdecih. Ia kembali menggeser arah pandangnya menuju langit-langit. "Lo sendiri kenapa bisa nggak punya temen?" Perempuan itu teringat dengan jawaban pertama Rabian. "Gue punya temen. Lo kan temen." Decakan kecil lolos dari mulut Hana. "Maksud gue temen deket. Temen yang bisa diajak curhat gitu. Ya kayak cerita gue tadi." Rabian menggeser kursinya hingga sangat dekat dengan cewek itu. Hana terkejut saat melihat ke sampingnya. Rabian menumpukan dagunya di atas lipatan tangan. Membuat jarak wajahnya terlalu dekat. "Ini udah cukup disebut teman dekat?"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN