40. Yang Sulit Terucap

1021 Kata
Dengan jarak sedekat itu Hana menjadi gelagapan. Ia mendorong tubuh Rabian hingga kejengkang. "Lo, bener-bener ya." "Anjir, sakit pinggang gue." Rabian mengaduh. Hana bangkit berdiri. "Ya lo ngapain deket-deket kayak tadi!" sulut Hana tidak mau kalah. "Ya lo bilang kan temen deket. Makanya gue deketin lo." Rabian berdiri dengan tubuh membungkuk. Merasakan ngilu di pinggangnya karena terbentuk aspal. "Ish, bodo ah." Hana menyentakkan kakinya dan berbalik meninggalkan Rabian. "Cowok aneh!" Rabian di belakangnya terus memanggil namanya. Namun, Hana tidak peduli. Rasa ingin memukul kepala Rabian saat ini sudah mencapai puncak. Dari pada nanti ia kena pasal penganiayaan lebih baik Hana meninggalkan cowok itu saja. *** Hana mencium punggung tangan ibunya. "Hana berangkat sekolah dulu." Setelah berpamitan, Hana bergegas memakai sepatunya dan keluar rumah. Matanya membeliak tidak percaya saat seseorang dengan rambut berantakan melambai kepadanya dengan cengiran kuda. "Pagi teman dekat!" serunya hampir seperti berteriak. Hana buru menghampiri cowok itu. Dan membekap mulutnya. "Lo cantik banget kalo—" ucapnya tak jelas karena Hana gencar membekapnya. "Diem nggak lo. Nggak sekalian pake toak masjid." "Gue kan mau buat kejutan," katanya. Namun, lebih kedengar tidak jelas di telinga Hana karena mulutnya tertutup tangan cewek itu. Menyerah menghadapi tenaga cewek itu, Rabian menyatukan kedua tangannya meminta ampun. "Oke gue nggak teriak lagi." Setelah memastikan cowok itu tidak akan membuatnya diamuk warga karena berisik, Hana pun melepas bekapannya. "Ayo, naik—" Hana sudah melompat ke atas jok Rabian dan menepuk bahu cowok itu untuk segera berangkat. "Cepet berangkat, nanti keburu ada yang liat." Akan semakin repot kalau orang yang ia kenal melihatnya dijemput oleh lelaki selain Tobias. Daripada ia harus menghadapi pertanyaan aneh-aneh, menyuruh Rabian cepat pergi dari sana adalah pilihan yang tepat. *** Tobias beberapa kali melihat gawainya. Hanya untuk memastikan apakah ada notifikasi yang masuk. Iya. Dia menunggu pesan dari seseorang. Dari kemarin sudah banyak yang mengirimkan pesan berisi ucapan semangat dan doa untuk kesuksesan timnya. Namun, sampai saat ini ada satu orang lagi yang sama sekali tidak memberikannya ucapan apa-apa. "Lo kenapa? Kayak gelisah gitu. Kita menang nih. Seneng dong." Tobias menarik senyum tipis sambil memasukan ponselnya lagi ke dalam tas. "Nggak apa-apa." "Nunggu wa dari pacar ya?" Farhan menebak. "Enggak!" Tobias cepat membalas. Tanpa mau melanjutkan percakapan lagi Tobias mendorong bahu Farhan dan berjalan ke depan. "Kita udah ditunggu anak-anak lain." "Eh, tapi beneran yang lagi nunggu pacar kan?" "Bukan." "Pacar lo yang kemaren makan bareng di kantin itu kan." "Bukan, Kak, astaga." Tobias menggumam. Rumor kalau Kak Farhan adalah tukang gosip ternyata benar adanya. *** Sudah dapat ia duga. Hari ini teman-temannya akan langsung menyerbunya dengan pertanyaan ketika ia menginjakan kakinya di kelas. "Gimana pertandingan kemaren?" "Iya, Yas, gimana?" "Masuk ke semifinal kan?" "Meskipun gue yakin menang sih tetep aja gue mau nanya, tim Galena menang, kan?" "Ada yang bening nggak, Yas, di sana?" "Apaan sih lo Lex, out of topic pertanyaan lo." "Menang, kita lanjut ke semi final," jawab Tobias tenang sambil menempatkan bokongnya di kursi. "Kan, apa gue bilang!" ucap Gani. Mata Tobias menangkap keberadaan Hana yang tengah duduk dengan tenang di bangkunya. Di samping cewek itu Rabian terlihat asyik mengajaknya berbicara. Walaupun tanggapan Hana hanya berdehem, menjawab singkat. Tetap saja ekspresi berubah-ubah dari cewek itu menunjukan bahwa percakapan mereka cukup menarik. Tobias membatin, bahkan dalam keadaan ia sudah di kelas pun Hana seperti tidak ada niatan untuk mengucapkan selamat secara langsung. Padahal dulu, Hana adalah orang yang paling bersemangat kalau Tobias dapat meraih suatu prestasi. Tampaknya saat ini, ia tidak dapat melihat Hana yang seperti itu lagi. Gerombolan di mejanya mulai memecah saat bel tanda masuk jam pelajaran di mulai. Tobias sesekali melirik ke arah Hana. Memastikan cewek itu sekali saja melihatnya balik. Namun, ternyata tidak. *** Semenjak ia memutuskan untuk tidak lagi sebangku dengan Hana, Tobias tidak pernah lagi meminta atau mengajak cewek itu. Apa pun itu, tidak pernah. Namun, saat ini entah prinsip mana yang sedikit ia lewati. Tobias berdiri tepat di belakang Hana saat cewek itu mengantre mengambil makan siang di kantin. "Nanti pulang bareng?" Tidak ada jawaban dari cewek di depannya. Tobias menunduk menempatkan bibirnya di dekat daun telingan cewek itu dan kembali bertanya. "Nanti pulangnya bareng?" Hana sedikit berjengkit. Dia sendiri terkejut dengan kehadiran Tobias tepat di belakangnya. "Oh, ah ehm." Jujur Hana gugup. Apa dia harus menolak? Tapi kalau menolak dia tidak bisa irit bensin. Atau dia harus menerimanya. Tapi kalau menerimanya. Ini seperti tidak ada masalah apa-apa di antara mereka. Hana tersenyum kecut. Sepertinya hanya Hana yang menganggap perubahan Tobias adalah masalah besar. "Ya udah kalau nggak mau." Karena jawaban Hana yang lama. Tobias langsung mengambil kesimpulan seperti itu. "Siapa yang nolak!" Tubuh Hana berbalik 180 derajat. "Gue mau. Oke, nanti pulang bareng. Emang lo nggak ada latihan?" Sebelum menjawab Tobias menyadari kalau antrean itu sudah maju. Ia memegang bahu Hana dan menuntun cewek itu untuk maju. Tentunya dari sudut pandang Hana ia berjalan mundur. "Gue dikasih libur sehari ini. Udah capek banget lagi kemaren gue tanding tiga kali main. Badan masih pegel-pegel." Hana tersenyum tipis. Tobias kembali memegang bahu Hana dan mendorongnya maju saat antrean kembali maju. "Lo nggak mau nraktir gue? Kan menang." Tobias memutar bahu Hana ke samping karena deretan nampan sudah ada di depan cewek itu. Hana mengambil nampan yang ada di depannya. Mengambil satu lagi untuk Tobias. "Lo aja belum ngucapin apa-apa. Udah minta traktiram aja. Lagi pula baru juga masuk ke semifinal. Gue nraktir kalau udah masuk final dan juara." "Berarti gue ucapin selamatnya juga nanti pas masuk final dan juara. Jadi kalau lo berharap ucapan dari gue. Ya lo harus menang." "Lo juga. Kalau lo berharap traktiran dari gue lo harus doain gue menang," balas Tobias. Hana berdecih, matanya memutar kesal. Mendoakan Tobias mah sudah jelas tanpa disuruh. "Kenapa?" "Doain lo mah udah jelas gue lakuin lagi. Masih aja dipertanyain." "Kenapa nggak ngucapin semangat?" Hana menggeser tubuhnya untuk mengambil nasi. Entah jawaban apa yang harus ia berikan dari pertanyaan Tobias. Ya itu karena lo nggak bilang bakal ada pertandingan ke gue! Tapi Hana tidak mungkin menjawab seperti itu. "Kalau lo mau traktiran lo harus nyemangatin gue biar gue menang. Itu kalau lo mau loh, ya. Gue nggak maksa. Nggak juga nggak apa-apa."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN