59. Lukisan Rabian

1071 Kata
Kata orang setelah hujan akan selalu ada pelangi. Setiap kesulitan pasti akan ada kebahagiaan yang menyertainya. Namun, kenapa langit Rabian berbeda. Sejak kecil ia sudah mendapat kesulitan itu. Menjadi buah bibir tetangga karena ibunya melahirkan dirinya di luar pernikahan. Selalu pindah rumah karena tidak sanggup membayar biaya kontrakan. Kesulitan melakukan ujian sekolah karena SPP sekolah yang selalu nunggak sehingga ia harus beberapa kali menemui kepala sekolah. Hingga di umur 16 tahun ini, ia harus bekerja untuk membayar biaya rumah sakit bundanya. Pelanginya belum juga datang. Rabian memeriksa tas kecil yang akan ia bawa. Dompet, charger, ponsel. Tidak lupa plastik berisi pakaian ganti. Cowok itu mengambil topi dan kunci motor yang ia gantungkan di balik pintu kamarnya. Jam sudah menunjukan pukul sembilan malam. Ia sudah sangat terlambat. Bundanya pasti sudah sendirian sekarang. Karena kesibukan sekolah dan bekerja, Rabian menyewa orang untuk menemani bundanya di rumah sakit. Orang itu akan pulang setiap jam delapan malam, saat Rabian memiliki shift siang. Lalu lintas ibukota masih padat merayap. Untungnya Rabian menggunakan motor, ia mengambil jalan pintas perkampungan agar tidak terjebak macet. "Bun, tunggu Bian." *** "Terima kasih Tobias. Sekarang kamu bisa duduk," kata Bu Lufi. Tobias kembali ke tempat duduknya. Saat semua orang bertepuk tangan hanya ada satu orang yang terdiam mematung. "Rabian Andreas." Bu Lufi menyebutkan nama Rabian. Membuat lelaki berkulit sawo matang itu mengangkat wajahnya. "Jangan saya dulu, Bu," tolak Rabian. Bu Lufi membujuk kembali. "Ayo, mau nanti mau sekarang sama aja." "Ya udah kalau sama aja. Saya nanti aja," tolak Rabian lagi sambil diakhiri dengan cengiran kudanya. Bu Lufi jelas tidak mau kalah. Ia terus menyuruh cowok itu maju, hingga akhirnya Rabian terpaksa maju. "Kenapa nggak mau maju sekarang?" tanya Bu Lufi saat Rabian sudah berdiri di depannya. "Demam panggung, Bu." Rabian menyengir sambil menggaruk tengkuknya. Jelas, itu bukan alasan utamanya. Ia hanya belum mau menceritakan lukisannya di depan kelas. Didengar seisi kelas, terutama dia. "Kamu tau nggak kenapa Ibu nyuruh kalian mempresentasikan lukisan kalian kayak gini?" Rabian terdiam, begitu pula yang lain. "Itu karena Ibu mau buat kalian percaya. Kalau selalu ada tempat bahkan untuk keadaan terendah kalian sekalipun. Masalah atau kecemasan yang kalian rasain selama ini nggak baik dipendam sendirian. Ibu mau kalian sadar kalau di dunia ini, ada tempat buat kalian bercerita. Entah melalui lukisan, tulisan, atau karya apapun," terang Bu Lufi. Mata hangatnya memandang Rabian. "Ayok, sekarang Rabian apa sudah siap bercerita?" Cowok itu menghirup napas dalam-dalam dan mengeluarkan perlahan. Kepalanya mengangguk singkat. "Siap, Bu." Bu Lufi tersenyum lebar, ia mempersilakan Rabian menaruh kanvasnya di steger yang sudah disediakan. "Pagi, teman-teman. Ini lukisan hasil karya saya." Kalimat pembuka dari Rabian. "Sebelumnya, saya mau berterima kasih sama kelas ini. Saya baru beberapa bulan pindah ke Galena Utama. Masuk ke kelas yang bahkan memiliki latar belakang yang berbeda jauh dengan saya. Awalnya buat saya nggak percaya diri. Jujur saya sempat berpikir mungkin kejadian pembulian yang sering saya liat di tv akan terjadi dengan saya. Ternyata saya salah. Kalian baik. Kalian orang yang baik. Terima kasih karena sudah menerima saya di sini." "Sama-sama Rabian!" kompak seluruh teman-temannya menyahuti. "Untuk tugas kesenian kali ini saya menggambar ini." Rabian melukis sebuah taman yang dipenuhi dengan bunga-bunga. Di langitnya terdapat pelangi yang berwarna-warni. Namun, yang mencuri perhatian adalah kotak berbentuk penjara di tengah taman. Kotak berwarna hitam. Di dalamnya terdapat anak kecil yang meringkuk. Anehnya, di dalam kotak itu hujan turun. Dalam lukisan Rabian, hujan turun bukan dari langit melainkan dari langit kotak penjara itu. "Dari kecil, saya sudah mengalami kesulitan. Tumbuh tanpa kehadiran seorang ayah. Kesulitan dalam perekonomian." Rabian memberhentikan ucapannya. Pandangannya terjatuh ke lantai. Ia menggigit bibirnya. Berusaha menetralkan kembali nada suaranya yang mulai terdengar bergetar. Rabian sengaja tidak memberitahu bagian kalau dia lahir bukan dari hubungan yang sah. Biarkan teman-temannya beranggapan kalau ayahnya sudah meninggal. Ya, seperti anggapan Rabian selama ini. "Dari kecil saya merasa hidup saya seperti dalam kotak ini. Hujan, gelap, dingin, sepi, dan terasa menakutkan." Wajah Rabian terangkat kembali. Ia tidak sanggup melihat ke depan. Jadi, dia hanya menatap lukisannya. "Kalau orang bilang akan ada pelangi setelah hujan. Dalam dunia saya, antara hujan dan pelangi memiliki tempat yang berbeda. Saya butuh kunci untuk membuka kotak itu agar saya bisa melihat pelangi atau ... kalau saya tidak punya kunci saya butuh kekuatan fisik untuk bisa mendobrak pintu kotak itu agar saya bisa melihat pelangi." "Sayangnya, sampai saat ini saya tidak bisa menemukan kunci itu di dalam kotak. Mungkin letak kunci ada di luar kotak? Berarti tandanya saya harus menunggu orang yang mau berbaik hati memberikan kunci agar saya bisa keluar dari sana." "Pakai kekuatan fisik pun saya masih tidak mampu. Anak kecil itu masih terlalu lemah untuk bisa melawan keadaan yang mengurungnya." "Jadi inilah arti dari lukisan saya," ucap Rabian mengakhiri ceritanya. Bu Lufi berjalan ke arahnya. Berdiri di depan lukisan itu dan menatap lekat gambar di sana. "Di sini gemboknya ada di luar kotak," ujar Bu Lufi. Rabian menunggu kalimat apa yang akan disampaikan Bu Lufi kepadanya. "Kamu sadar nggak? Di sini kamu mengharapkan orang luar untuk membuka kotak itu, makanya kamu taro gemboknya di luar." Rabian terdiam. "Kamu nantinya akan marah kepada orang lain kalau kamu masih berpikir kebahagiaan kamu itu membutuhkan pertolongan dari orang lain." "Rabian, kebahagiaan kita itu, ya, kita sendiri yang menentukan. Selamanya orang lain itu nggak akan bisa membahagiakan kita. Kita sendiri yang tau bagaimana cara bahagia itu sendiri." Rabian tersenyum miring. Matanya ia lempar ke arah luar jendela. "Nggak ada orang yang nggak mau bahagia, Bu. Yang ada itu nggak bisa. Saya nggak bisa. Makanya saya berharap ada orang yang membantu saya. Ibu nggak akan paham." Cowok itu menoleh kembali untuk bertemu tatap dengan gurunya. "Terima kasih atas masukannya, Bu. Meskipun saya ngerasa pendapat Ibu salah, saya tetap menghormati itu." Bu Lufi menarik kedua senyumnya. Hal di luar dugaan Rabian. Ia pikir, Bu Lufi akan memarahi dirinya karena tidak menyetujui pendapatnya. "Maaf karena Ibu tidak ada di posisi kamu. Tapi Ibu mau nanya, setidaknya pernah nggak sekali dalam hidup kamu yang buat hati kamu menghangat, senyum kamu mengembang, bahkan tanpa kamu sadari?" Rabian lagi-lagi terdiam. "Itu kebahagiaan yang Ibu maksud. Nggak peduli mau itu sesuatu yang kecil atau besar. Selama hati kamu tenang. Itulah kebahagiaan. Mau semewah apapun sesuatu yang Ibu berikan, kalau kamu nggak bahagia maka itu nggak bisa menjadi sebuah 'kebahagiaan'. Dan sebaliknya. Bahkan kehadiran seseorang aja selama itu bisa membuat kamu nyaman. Itulah kebahagiaan. Balik lagi, kebahagiaan kamu, ya, hanya kamu yang bisa menentukan. Cari kebahagiaan kamu sendiri, Rabian...."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN