19. Torehan Luka

1114 Kata
Tobias tidak pernah tahu apa kesalahannya, dia bahkan bertanya pada diri sendiri apa alasan ibunya menciptakan lebam itu pada dirinya. Anak berumur tiga tahun itu hanya menangis. Rasa ngilu dan perih berpencar di sekujur tubuhnya. Bahkan kakinya terasa berat seperti ditekan kala ia berjalan menuju kamarnya. Di balik pintu kayu depan kamarnya, seseorang berdiri di sana. Melihat semua kejadian itu dalam diam. “Kak Thomas—“ cicit Tobias, tetapi pintu itu malah tertutup rapat. Saat itu Tobias hanya memiliki rasa bingung. Apa minta diambilkan minum di meja yang tinggi adalah kesalahan yang besar? Mungkin besok dia harus ambil sendiri. Dengan air mata yang terus luruh, ditatapnya pintu kayu itu. Padahal dia hanya ingin bertanya bagaimana cara menghentikan denyutan di pahanya, karena itu terasa menyakitkan. *** Tobias terbangun karena elusan lembut dari mamanya. Kelopaknya mengerjap kala ia melihat wanita itu menampilkan senyumnya. Anak itu tidak merespon, hanya memperhatikan dalam diam raut wajah mamanya. Berbeda dengan yang ia lihat tadi malam. “Ayo, ke sekolah,” ucap Fera sambil memegang lengan anaknya dan menuntun turun dari kasur. Sejak beberapa bulan yang lalu Tobias memang sudah dimasukkan ke dalam playgroup. Alasannya karena Fera sudah memiliki kesibukan lain dan tidak akan bisa menemani Tobias seharian di rumah. Di lantai satu, Irwan yang tengah duduk di kursi meja makan tengah fokus dengan tab di tangannya. Sesekali ia menyeruput kopi di depannya. Fokusnya teralihkan kala ia menyadari kedatangan Tobias. Senyum pria itu terbit. Tangannya melambai kepada anak bungsunya. “Jagoan Papa mau sekolah!” Tobias tersenyum semangat. Niat awalnya ingin berlari, tetapi saat ia mengangkat satu kaki rasa nyeri itu kembali terasa bahkan lebih buruk dari kemarin. Entah dorongan dari mana yang membuat Tobias justru menahan rasa sakit itu. Ia meringis kecil, tidak memberitahu sakitnya kepada ayahnya. Firasat anak kecil itu seperti mengatakan bahwa kesakitannya sekarang jangan sampai diketahui ayahnya. Irwan terkekeh, ia mengusap pucuk rambut Tobias kala anak itu memeluk lengannya. “Mau dianter Papa atau Pak Trisno?” Irwan menunduk menyejajarkan wajahnya dengan Tobias. “Papa,” jawab Tobias. Aroma pinus khas Irwan yang menyeruak ke rongga hidung Tobias membuat anak itu merasa tenang. “Ya udah, ayo!” Irwan berdiri memegang lengan bagian atas anak itu. “Argh!” Reflek Tobias menjerit kesakitan. Irwan sontak terkejut, ia merasa sudah memegang anaknya pelan. Dengan wajah khawatir dilipatnya bagian lengan baju Tobias. Lebam biru yang sudah keunguan terpampang di sana. “Ini kenapa?!” Irwan berdiri. Matanya memancarkan kemurkaan. Ia tahu ulah siapa itu. Fera, wanita itu membalas tatapan suaminya dengan wajah datar. Seharusnya ia tidak membiarkan Tobias mendekati Irwan. “Kenapa tangan dia?!” Irwan sangat berharap kalau alasan itu karena Tobias jatuh. Namun, emosinya kembali meledak saat jawaban santai dilontarkan oleh Fera. “Aku cubit.” “Kamu?!” Telunjuk Irwan mengarah ke Fera. Ditarik paksa pergelangan istrinya. Ia berniat membicarakan ini di kamar, agar tidak terlihat anak-anaknya yang masih kecil. Namun, langkahnya terhenti saat Fera menghempaskan cengkeramannya. “Aku cubit dia, aku pukul dia! Mau ke mana?! Kita bicara di sini aja!” Irwan mengerjap tak percaya. “Di sini ada anak-anak,” desisnya. “Ya, kenapa? Kenapa kalau ada anak-anak? Kamu takut sama mereka? Takut dibenci mereka?” Rahang Irwan tambah mengeras saat Fera mengatakan hal yang tidak seharusnya didengar oleh anak kecil. “Biar anak-anak kamu tau betapa b******n papanya selama ini.” “FERA!” bentak Irwan. “Yang salah aku! Yang harusnya kamu hukum aku. Tapi jangan sekali-kali kamu berani ngerusak anak-anak. Fisik atau pun mentalnya. Aku nggak akan terima!” Wanita itu tersenyum miring. Ia mundur perlahan. Belum sempat Irwan menebak apa yang akan istrinya lakukan, Fera sudah menarik lengan bagian atas Tobias. Ia memukul keras punggung anak itu, sedangkan tangan yang lain menekan bekas lebam di lengan anaknya. Tobias menjerit histeris. Irwan gelagapan, ia dengan cepat meraih istrinya. Menarik paksa tubuh Fera yang memberontak. Fera tambah menggila mendengar jeritan ngilu dari anaknya serta bentakan dari Irwan. “AHAHAHA! BIAR KITA SEMUA SAMA-SAMA HANCUR!” Dibantu oleh pembantu di rumahnya, Irwan pun berhasil melepas Tobias dari amukan Fera. “Itu anak kamu!” pekik Irwan. “Kamu mau bunuh dia, HAH?!” Tobias yang sudah ada dipelukan pembantunya gemetar hebat, ia masih menangis histeris. Rasa sakit itu tidak hanya ia rasakan di sekujur tubuhnya. Sakit yang tidak bisa ia jabarkan datangnya dari mana. Irwan melihat anaknya yang terus menangis dengan tubuh gemetar langsung mengambil alih tubuh Tobias. Dipeluknya erat-erat badan mungil itu. Irwan membawa Tobias ke dalam kamar. Melihat Tobias seperti ini, Irwan tahu bahwa tidak hanya raga anak itu yang sakit, tetapi jiwanya ikut terguncang. *** Tobias masih tidak paham apa yang salah pada dirinya. Apa karena ia meringis? Seharusnya dia menjadi anak kuat yang tidak merasakan sakit. Hal itu menyebabkan papanya memarahi mamanya. Tobias menggigit bibir bawah, pandangannya terlempar ke luar jendela kamar. Sebab dia, orang tuanya bertengkar. Mama tidak menginginkannya dan Thomas ... Tobias melihat kakaknya saat itu hanya berdiri di balik meja kemudian berlari ke dapur. Padahal Tobias berharap Thomas akan membantunya, menghalangi Fera yang tengah memukulinya. Pintu kamarnya terbuka, menampilkan sesosok pria dengan balutan kemeja biru muda. Papanya belum berangkat kerja. “Makan dulu, ya.” Tobias pikir setelah ia diobati Irwan akan meninggalkannya ke kantor. Namun, melihat pria yang ia panggil papa itu mendatangi kamarnya lagi, jujur, itu membuatnya lega. “Suka dicubit Mama dari kapan?” Irwan membuka suara Tobias terdiam, berusaha mengingat sejak kapan itu terjadi tetapi ia tidak ingat. Irwan mendesah pelan, ia memejamkan mata untuk menahan luapan kekesalannya. Bahkan Tobias tidak mengingat kapan itu terjadi, Irwan bisa menyimpulkan kalau ini sudah lama terjadi. “Tobias nakal, ya, Pa?” Dielusnya kepala Tobias singkat. “Emang Tobi ngelakuin kesalahan apa?” Tobias menunduk. Takut kalau papanya ikut marah setelah mendengar kenakalannya. “Kemaren Tobi minta diambilin minum soalnya nggak nyampe.” Irwan terdiam. “Waktu itu juga Tobias kebalik pake bajunya, terus Mama marah.” “Tobi juga pernah muntah sembarangan.” Anak itu cepat mendongak. “Tapi, Tobi nggak sengaja, Pa. Perut Tobi kerasa mual jadi nggak sengaja muntah.” Mengingat semua kejadian itu membuat air matanya kembali luruh. “Mama nggak suka Tobi, ya?” Mata Irwan membulat, ia lantas bergeleng sambil meraih tubuh anaknya ke pangkuan. “Enggak, Nak. Mama sayang banget malah.” Tobias menunduk memperhatikan jemarinya yang saling memilin. “Ta-tapi Mama nggak pernah marah sama Kak Thomas.” “Kak Thomas juga jadi nggak mau main lagi sama Tobias ... semua nggak suka sama Tobi.” Napas Tobias mulai terdengar tidak beraturan karena tangisnya. Irwan mengelus punggung anaknya sambil terus berkata kalau semua menyayangi anak itu. “Papa jangan benci sama Tobi juga, ya,” cicit Tobias. Perkataan terakhir anak itu sebelum terlelap karena kelelahan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN