20. Ucapan Terima Kasih

1006 Kata
Bel pulang berbunyi. Speaker sekolah menyuarakan bahwa pelajaran untuk hari ini sudah selesai. Para siswa serempak berhambur keluar. Memenuhi setiap lorong hingga lapangan sekolah. Sebagian dari mereka ada yang tetap menetap di kelas. Salah satunya Tobias. Hana menghampiri meja sahabatnya itu dan duduk tepat di depannya. "Gue pulang bareng lo, ya." Tobias menundukkan kepala, memusatkan fokusnya pada layar gawai. "Woy," tegur Hana. Sebuah notifikasi yang ditunggu Tobias muncul. Sebuah interupsi dari kapten volinya. Tobias beranjak dari tempat duduk. "Terserah," jawab Tobias singkat sambil menyambar ransel. Kedua sudut bibir Hana tertarik ke atas. Lantas ia mengikuti Tobias dari belakang. *** "Belum ada yang dateng," gumam Hana. Matanya menyapu ruang olahraga. Tobias menghela napas. Ia menaruh tasnya di pinggir lapangan. Membuka kemeja putihnya dan menggantinya dengan kaus oblong putih. Mata Hana membulat. Bisa-bisanya Tobias seenak jidat mengganti baju di tempat terbuka seperti ini. "Heh, begok! Lo ngapain buka baju di sini!" Saking paniknya, Hana sampai berlari ke arah pintu untuk memastikan tidak ada yang masuk. "Berlebihan," celetuk Tobias. Tobias memang berubah, tapi Hana masih tidak terima kalau perubahannya sesignifikan ini. Ia mengembuskan napas kasar. Dengan menghentakan kaki, ia melangkah menuju lelaki bertubuh tinggi itu. "Gue tau lo sekarang udah berubah banyak." Tobias memandang datar cewek itu. Tangannya sibuk membuka tutup botol minumannya. Lalu meneguk isinya. "Tapi itu terlalu keliatan jelas nggak sih? Lo berusaha keras berubah. For what?" Usai meneguk minumannya. Tobias melempar botol minum itu ke dalam tas. Tak memedulikan cewek di sampingnya yang masih mencerocos. "Lo salah pergaulan, 'kan?" Hana berjinjit. Mengangkat jari telunjuknya ke depan wajah Tobias. Matanya menyipit. "Ngaku siapa yang buat lo gini? Liat dari yutub? Karena abis baca manga? Abis kenalan sama siapa? Lo bergaul sama orang asing kan? Atau—" Cowok itu menyingkirkan telunjuk Hana dari wajahnya. Lalu mendorong kening cewek itu dengan telunjuknya. "Gue bergaulnya sama lo." Hana merengut mendengar jawaban Tobias. Baru saja ia ingin melayangkan protesnya. Mulutnya tertahan melihat Tobias yang sudah fokus dengan bola di tangannya. "Temen-temen lo pada ke mana sih? Kok belum dateng juga." "Entah. Latihannya juga jam dua." Mata Hana membulat. Ia melihat jam di pergelangan tangannya. "Masih jam satu, Bi, astaga. Lo ngapain di sini sejam sebelum latihan." Tobias menggaruk telinganya yang terasa gatal. "Lo pulang duluan deh." "Dih, ngusir." "Di sini nggak ada apa-apa. Lo bosen nanti nungguin gue lama," kata Tobias berusaha membuat Hana pergi. "Nggak apa-apa." Cewek itu melipat tangannya di depan d**a. Ia berjalan mendekati salah satu bola yang tergeletak di lantai dan memainkannya. Lebih tepatnya hanya melempar ke atas lalu menangkap. Berusaha untuk tidak memedulikan cewek itu, Tobias kembali berlatih sendiri. Memantulkan bola ke dinding lalu memukulnya. Bunyi dentuman diiringi pekikan nyaring dari Hana memenuhi ruangan itu. "Han, bisa nggak ga usah teriak?" Jeduk! Sebuah bola mendarat di kening Tobias. "Auw, sorry," cicit Hana. Tobias sudah cukup bersabar. Dengan langkah lebar ia mendekati Hana. "Gue udah minta maaf loh." Hana berjalan mundur. Tangannya membentuk perlindungan. Namun, Tobias sudah tidak dapat dihentikan. Ia tetap berjalan cepat ke arah cewek itu. Membuat Hana terpaksa berlari ke sisi lain ruangan itu. Pada akhirnya mereka berdua berlari kejar-kejaran. Karena langkah Tobias lebih lebar, tidak sulit untuk menangkap cewek itu. Digendongnya Hana secara paksa. "Lepasin gue!" jerit Hana. Tobias berjalan ke arah luar ruangan. Melepas cewek itu yang terus memberontak. "Sekarang lo pulang." "Nggak mau!" tolak Hana keras. "Terserah. Asal lo jangan masuk. Sekali lo masuk gue bakalan lapor ke bokap lo," ancam Tobias. Hana meringis. "Ngapain pake ngancem segala sih." Tanpa mendengar omongan Hana, Tobias langsung masuk dan menutup pintu ruangan itu. "Tobias!" Hana menggerutu kesal, tetapi tidak berani untuk masuk. Ia takut kalau ancaman Tobias benar dilakukan. Omelan dari ayahnya salah satu hal yang dihindari Hana. Untuk itu, dengan langkah berat Hana berbalik dan meninggalkan ruang olahraga. *** Pada awalnya ia hanya berniat untuk berkeliling sekolah sambil membunuh waktu. Namun, matanya menangkap sosok yang ia kenali. "Kak Thomas?" gumam Hana. Lelaki bertubuh tinggi itu melambai ke arahnya. Dengan sopan Hana tersenyum ramah kepada Thomas. Thomas berjalan menghampiri sahabat dari adiknya itu. "Tobias masih latihan voli, Kak," kata Hana menebak tujuan Thomas datang ke sekolahnya. "Oh, iya. Kebetulan saya ke sini mau ketemu Hana." Hana menunjuk dirinya sendiri. "Aku? O-oh iya ada apa, Kak?" "Mm, kamu masih ada urusan di sekolah?" Hana mengerjap bingung, kepalanya bergeleng pelan. "Enggak ada sih. Ini lagi nunggu Tobias pulang." Thomas mengangkat alisnya. "Pulang bareng Tobi?" Cewek itu mengangguk. "Iya, Kak." "Bisa pulang bareng saya? Sekalian yang mau saya omongin nanti di jalan." "Mm?" Mata Hana mengerjap cepat. "Saya udah jauh-jauh ke sini. Saya harap kita bisa bicara," kata Thomas dengan nada bercanda. "Oh, iya, Kak. Bisa." Hana jadi penasaran apa yang mau dikatakan Thomas hingga cowok itu rela menjemputnya. Thomas membawa Hana masuk ke dalam mobilnya. Hana membuka ponselnya dan mengetikkan sesuatu kepada Tobias. Gue udah pulang duluan. Bareng sama kakak lo. Dapet tebengan juga selain lo, wlee :p Send. *** Hana terdiam. Cerita yang barusan ia dengar terasa seperti kisah yang tak nyata. Tobias? Merasakan masa lalu pahit seperti itu? "Karena itu juga Tobias kesel sama Kak Thomas, ya?" Thomas mengangguk. Hana membuang wajahnya ke luar jendela. Merasa bersalah selama ini memperlakukan Tobias sangat buruk. Selalu melihat Tobias adalah anak paling beruntung sedunia. Terlahir dari keluarga kaya yang akan mendapatkan apa saja keinginannya. Nyatanya, tidak. Setiap orang memang memiliki noda dalam kehidupannya masing-masing. Seharusnya Hana percaya itu. Thomas memberhentikan mobilnya di depan rumah Hana. Setelah mengucapkan terima kasih, Hana membuka seatbelt-nya hendak keluar. Namun, Thomas kembali menahannya. "Terima kasih." Kening Hana mengerut. Tidak paham dengan ucapan terima kasih Thomas. Lelaki di depannya terkekeh kecil, paham atas kebingungan Hana. "Terima kasih sudah masuk ke kehidupan Tobias. Terima kasih sudah jaga dia. Terima kasih sudah mau menambahkan sedikit kebahagiaan di kehidupan adik saya." Entah. Apa Hana pantas mendapat ucapan terima kasih itu. Ia justru merasa menjadi teman terburuk di dunia. Memanfaatkan ketidakberdayaan Tobias selama ini. Setelah berpamitan Hana keluar dari mobil hitam itu. Cewek itu menghirup dalam-dalam udara di sekitarnya lalu mengembuskannya. Dadanya terasa sedikit sempit. Tobias, kenapa lo nggak cerita ke gue, batin Hana nelangsa.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN