54. Salah Tingkah

1014 Kata
"Pulang sekolah aja kali belinya." Hana memberikan ide. Kini mereka tengah berdiskusi tentang pembelian perlengkapan melukis. "Boleh. Tapi besok. Hari ini gue shift siang. Kalo besok shift malam." "Sekarang. Karena besok gue ada latihan voli untuk pertandingan final." "Lo bisa izin nggak latihan sehari." "Lo juga bisa izin nggak kerja sehari." Tobias membalas tidak mau kalah. "Enak banget, ya, yang masih dibiayain sama orang tua." Rabian memasukan satu tangannya ke dalam saku. Alisnya terangkat satu, ekspresi meledek. "Lah lo juga kan masih punya orang tua. Kenapa harus kerja lagi?" Tobias maju selangkah mendekati Rabian. Hana mencium bau-bau pertengkaran. Ia rasa mereka akan mulai bertengkar lagi. Maka dari itu Hana berusaha memberikan solusi. "Kalau gitu, gimana kalau belinya nggak usah barengan." Hana berdiri di antara Rabian dan Tobias. Sedikit mendorong d**a Tobias agar menjauh. "Lo karena besok ada latihan, jadi belinya hari ini." Kemudian ia beralih ke Rabian. "Dan lo, Yan. Karena hari ini kerja, jadi belinya besok. So, kalian beli masing-masing aja. Gimana?" ucap Hana memberikan jalan tengah. "Setuju." Tobias duluan berkata, yang disusul oleh Rabian. "Gue juga setuju." Mendengar itu Hana menghela napas lega. Namun, sayangnya tidak lama. Dikarenakan... "Kalau gitu lo belinya besok aja, Han. Bareng sama gue." Tobias menarik Hana mendekat ke arahnya. "Lo beli bareng gue hari ini." "Loh, Tobias kok lo maksa?" sulut Rabian. Hana menepuk jidatnya. Tidak semudah itu ternyata. "Oke, oke, gini. Tobias hari ini. Rabian besok. Dan gue lusa. Gimana?" "Tapi lusa kan jadwal pengumpulan tugasnya, Han. Udah gue bilang lo belinya sekarang. Lo kan ngerjain sesuatu lelet. Ga bisa deadline, jangan baru belinya besok," keukeuh Tobias. Perkataan Tobias ada benarnya. "Iya, sih. Ya udah gue hari ini." "Wah, curang dong kalau kayak gitu, gue ditinggal sendiri. Parah sih nggak setia kawan," protes Rabian. "Orang kayak lo nggak perlu punya kawan yang setia." "Emm, udah-udah." Hana menghentikan perdebatan mereka lagi. "Gue hari ini jalannya beda tempat sama Tobias. Jadi, kita bertiga impas. Sama-sama sendiri. Gimana?" "Setuju," ucap Rabian sambil menjentikan jarinya. Sedangkan Tobias melengos pergi keluar dari atap dan menuruni tangga, tanpa memberikan pendapatnya. Hana pikir itu lebih baik ketimbang mereka berdua kembali berseteru. *** Hana sudah memasuki toko buku serba ada. Ia langsung memasuki rak berisi perlengkapan melukis. Ia mengambil dua cat air dari merk berbeda. Melihat jumlah warna dalam satu paket itu dan membandingkan harganya. Ia tidak tahu kualitas dan kandungannya. Ia hanya mencari yang murah. Kemudian salah satunya ia taruh kembali dalam rak itu. "Kalau yang itu warnanya ga jelas, warnya pucet." Mata Hana membeliak. Ia segera berputar ketika mendengar suara yang sangat familiar itu. "Tobi! Lo kok ke sini. Kan udah gue bilang lo ke gramet aja. Ngapain ngikutin gue ke toko ini sih." Tobias mengambil cat air yang barusan ditaruh Hana. Lalu menukar cat yang sudah berada di keranjang belanja Hana. "Gue yang beliin." "Seriusan?" Hana tidak lagi protes. Kalau memang itu niat Tobias, dia akan senang hati membiarkan Tobias di sini. "Eh, enggak. Uang lo mana. Nanti kalo kurang gue tambahin," ralat Tobias. "Cih, kirain," gerutu Hana. Tobias tak mengacuhkan Hana. Ia kembali menelusuri rak itu. Kini mereka berdua menuju tempat kuas. "Kita butuh kuas nomor berapa sih?" "Semuanya lah." "Oh, iya." Hana menarik satu sudut bibirnya. "Lo yang bayarin sisanya, ya." Tangan cewek itu gesit mengambil dua kotak berisi berbagai macam kuas. "Ah, gue lupa lo maunya yang paling mahal." Hana kembali menaruh dua kotak itu. Menggantinya dengan dua kotak kuas yang lebih mahal lagi. Selama Tobias masih memasang wajah datar, Hana akan memanfaatkannya dengan berbuat seenaknya. "Kita cari kanvas yang paling mahal juga, kan?" Hana mengambil dua kanvas dan menyodorkannya kepada Tobias. "Lo pegang ini, gue pegang keranjang belanja." Setelah itu Hana dan Tobias melewati rak tempat palet bertengger. "Paletnya lo pasti nggak mau yang plastik kan? Mending yang kayu." Kemudian Hana mengambil palet berbahan kayu dan menaruhnya di keranjang belanja. "Butuh apa lagi tuan muda?" "Makan. Gue laper." "Tapi, hamba ga bawa uang—" "Gue yang bayar." Tobias berlalu melewati tubuh Hana. Berjalan menuju kasir. Hana di belakangnya reflek loncat. Apakah Tobias yang dulu sudah kembali? *** Tobias memang berubah. Dulu, yang membawa barang sebanyak dua kantong ini adalah cowok itu. Sedangkan saat ini, yang membawanya adalah Hana sendiri. Tidak apa Hana, asal perekonomianmu kembali stabil, batin Hana menyemangati. "Bi, lo sama sekali nggak mau bantu bukain pintunya? Tangan gue bawa ginian." Hana mengangkat dua plastik di tangannya. Tobias yang berdiri di belakang Hana menjulurkan tangannya ke arah pintu mobil. Tangan itu melewati bahu Hana. Membuat posisi mereka terpaut dekat. Bahkan wangi parfum Tobias langsung menyeruak masuk ke dalam rongga hidung cewek itu. "Pintunya udah kebuka." Suara bariton Tobias terdengar. Memecahkan lamunan cewek itu. "Euh? Oh, iya. Terima kasih." Hana mengerjap, kenapa dia harus gugup? Kenapa nada suaranya terdengar berubah? Cewek itu buru masuk ke dalam mobil. Berharap Tobias tidak menyadari perubahan itu. "Ekhem." Hana berdehem. Berusaha mengatur pita suaranya yang sepertinya sedikit eror. "A ... I ... U." Cewek itu memukul kepalanya pelan. Ada apa dengan dirinya. Dia sudah biasa berada di dekat Tobias. Bahkan dia sudah hapal wangi tubuh cowok itu. Tapi kenapa tadi dia merasakan desiran aneh di hatinya. "Sabuk lo belum dipake—" "Biar gue pake sendiri!" reflek Hana mengatakan itu dengan nada yang cukup tinggi. Tobias menoleh ke arah Hana. Begitu pun Hana. Cowok itu menatapnya dengan mata polosnya itu. "Silakan pake sendiri. Nggak ada yang mau makein lo sabuk juga." Hana baru menyadari bahwa Tobias berada di posisinya. Tanpa mendekati joknya sedikit pun. Yang berarti itu hanya khayalan Hana. Tunggu... Dirinya berkhayal kalau Tobias akan memakaikan sabuk pengaman kepadanya? Cewek itu membuang wajahnya. Tangan kirinya menarik sabuk pengaman. Ia memakai sabuk itu sambil menatap keluar jendela. Terlalu malu untuk menolehkan wajahnya ke arah Tobias. Argh, Hana gila lo. Pede banget lo, maki Hana pada dirinya sendiri. Cewek itu menggigit bibir bawahnya. Degupan jantungnya makin tak beraturan. Sepanjang jalan Hana hanya sibuk dengan pergulatan batinnya. Perasaan dia dari tadi bersikap biasa saja. Semua itu berawal semenjak Tobias membukakan pintu untuknya. Apa ini yang dinamakan salah tingkah? Hana, lo nggak mungkin salah tingkah gara-gara Tobias... Ya, kan? Hana Lovira, please sadar!
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN