"Dion?"
Tanpa sadar aku berdiri dan bergumam menyebut namanya, tapi tanganku segera ditarik oleh William untuk kembali duduk.
Aku masih tidak percaya dengan apa yang sedang kulihat. Sepasang mata bening dengan alis hitam tebal, hidung bangir dan bibir s*****l seperti buah peach yang merekah, garis tegas rahang serta postur tubuh tegapnya. Laki-laki itu mirip sekali dengan Dion dari ciri-ciri fisiknya. Hanya potongan rambutnya yang berbeda. Jika dia memangkas pendek rambut hitam panjang sebahunya itu, maka aku pasti akan mengira dia benar-benar Dion.
Tapi ... perasaan sakit apa ini?
Tidak jelas karena apa, jantungku terasa sangat sesak dan perih saat melihat wajahnya. Kehadirannya membuatku merasa sedih tanpa alasan. Aku tidak mengerti itu perasaanku sendiri atau justru perasaan yang dimiliki oleh Gwen.
"Selamat datang kembali, Ed." William menyambut laki-laki yang berlutut dengan tumpuan sebelah kakinya itu.
Edmund mendongakkan kepala melihat William. Tatapan matanya yang dingin itu sesekali terlihat melirik ke arahku.
"Jadi bagaimana dengan perangmu?" tanya William.
Aku tidak melihat wajah William yang sedang berbicara. Lebih tepatnya, aku tidak mampu mengalihkan pandangan dari laki-laki bernama Edmund itu.
"Sepertinya kita telah membuat kesalahan besar, Yang Mulia."
"Kesalahan? Apa maksudmu?"
"Belgoat tidak pernah mengirim pasukan untuk berperang, tapi kedatangan kami ke perbatasan membuat mereka salah paham dan pertumpahan darah pun terjadi."
"Apa?"
William bangun dari tempat duduknya, sukses mengalihkan perhatianku dari Edmund untuk beberapa detik. Tampak William menoleh sebentar ke arah Ibu Ratu Agung dan Elleona, entah siapa yang dilihatnya.
"Banyak utusan Belgoat yang gugur karena kesalahpahaman itu. Aku pikir mungkin akan sangat sulit untuk membuat kembali perjanjian damai dengan mereka," jelas Edmund.
"Tapi delapan hari yang lalu Drake Belgoat menyerang istana utama. Bangsa Troll juga sudah masuk ke hutan Hercules. Jika mereka tidak berniat untuk berperang dengan Graceland, kenapa hal semacam itu bisa terjadi?"
Mata Edmund membesar, dia langsung menunduk. "Aku akan menyelidikinya, Yang Mulia."
Aku tiba-tiba merasa sesak, sepertinya pasokan udara di sekitar sudah hampir habis. Berulang kali aku memukul dadaku sendiri, tetapi rasa sakit itu semakin menjadi. William mungkin menyadarinya, dia berjongkok di hadapanku.
"Kau kenapa?"
Wajah William terlihat samar-samar. Mata dan tubuhku rasanya semakin memanas, tidak tahu apa yang salah.
Saat itu sepertinya semua orang bertanya apakah aku baik-baik saja, tetapi aku tidak mampu melihat wajah mereka. Mataku berkunang-kunang dan semua objek di hadapanku seakan berputar. Hingga tubuhku rubuh entah di pelukan siapa. Aku masih mendengar suara-suara ribut itu, semuanya bercampur aduk di kepalaku.
"Gwen!"
"Gwen!"
"Jangan berani menyentuh Selir Agung!"
"Ap–apa? Se ... lir Agung?"
"Benar, sekarang Gwen adalah istriku."
°°°°
Tiba-tiba aku berada di dalam air. Bukan sungai atau sebuah danau, aku bisa merasakan kaki dan tubuhku berada di tempat sempit. Aku tidak bisa bertahan lebih lama lagi, tekanan airnya terlalu besar hingga membuat kepalaku sakit.
Leherku serasa tercekik, air masuk melalui hidung hingga memenuhi tenggorokanku. Napasku terkecat, seperti ada sebuah batu besar yang menghimpit dadaku. Aku terus meronta, tapi sangat sulit untuk keluar dari tempat penuh air itu.
"Ja–jangan!"
"Tolong aku!"
"Aku belum mau ma ... ti."
"To ... long."
Entah pada detik ke berapa, aku kehilangan pertahanan. Dengan mata terpejam sepenuhnya, aku bisa merasakan tubuhku seperti mengapung ke atas. Padahal sebelumnya tempat itu sangat sempit.
Napasku tersengal-sengal begitu terbangun. Mimpi itu terasa sungguh nyata, seperti aku pernah mengalaminya. Dadaku masih terasa nyeri, padahal aku tidak punya riwayat penyakit jantung. Apakah yang tadi itu adalah potongan memori yang mungkin aku lupakan?
Kemudian pandanganku mengedar ke sekeliling. Ini bukan kamar yang biasa aku tempati. Siapa yang membawaku ke ruangan besar bernuansa putih emas ini? Ranjangnya begitu lebar dengan kain sutra putih sebagai alas.
Kemudian seseorang masuk dari pintu, ternyata William. Dia masuk dengan membawa gelas dan mangkuk berisi makanan. Kepalaku sibuk memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang ada. Apakah dia yang membawaku ke sini? Kenapa dia bersusah payah? Padahal ada banyak pengawal dan pelayan.
"Kau sudah bangun?" tanyanya yang tidak perlu.
Jelas-jelas aku duduk dengan mata terbuka lebar. Entah kenapa rasanya aku masih sensi saja melihat laki-laki itu sejak kejadian di hutan. Enak saja dia mau membunuh teman pertamaku di sini.
"Aku ada di mana?" Aku memegang kepala, rasanya perih dan berdenyut.
"Di kamar," jawabnya singkat.
"Aku juga tahu ini di kamar, tidak mungkin di hutan."
Lihatlah, aku tidak pernah bisa berbicara baik dengan makhluk yang satu ini.
William duduk di samping ranjang. "Jadi kenapa kau bertanya?"
Aku termenung, menatap wajahnya yang tetap datar setelah mempertanyakan hal bodoh itu.
Kemudian aku tersenyum dengan mata yang menyipit. "Setelah kulihat-lihat, ternyata kau ini benar-benar k*****t, ya."
Alisnya naik sebelah. "k*****t? Apa itu?"
"Kau ingin tahu artinya?" tanyaku dengan bibir yang masih tersenyum.
Dia meletakkan minuman di atas meja kayu samping ranjang, kemudian mengaduk bubur nasi di tangannya. "Melihat raut wajahmu, sepertinya itu sesuatu yang baik. Jadi beritahu aku."
"k*****t itu tampan, kau benar-benar kampret."
"Apakah itu bahasa dari Belgoat? Terdengar aneh." Dia meniup bubur yang sudah disendokkan.
"Aku tidak suka makan bubur." Aku segera menutup mulut. Sungguh, meskipun berprofesi sebagai seorang chef, aku sangat benci bubur nasi tawar yang selalu diberikan pada orang sakit.
Namun, William segera menyuap bubur itu ke mulutnya. "Bubur ini untukku. Apa yang kau pikirkan?"
Sialan! Rasanya aku ingin berubah menjadi kepingan-kepingan upil saja. William benar-benar membuatku malu sampai ke tulang rusuk.
"Kenapa kau makan bubur? Memangnya kau bayi?!" Aku meneriakinya tanpa sadar.
Muka William tetap datar seperti jalan tol tanpa hambatan, membuatku ingin mencakar-cakar wajah itu hingga ketampanannya hilang.
"Memangnya aku tidak boleh makan bubur? Belakangan ini pencernaanku sedikit terganggu," tuturnya.
"Tapi kenapa kau harus memakannya di sini, di depan mataku, hah?!" Aku berteriak lagi.
Jika banyak orang di luar, mungkin mereka akan berpikir aku sedang meributkan hal besar.
"Hanya berjaga-jaga jika kau mau lari." Dia menyendok kembali bubur itu ke mulutnya.
Aku ingin berteriak lagi dan lagi, tetapi sudah cukup. Tenagaku sudah habis. Salahku juga karena terlalu berpikir positif pada orang lain, dan salahnya orang itu adalah makhluk paling menyebalkan seperti William.
Aku membuang napas kesal, kemudian bersandar di bahu ranjang. "Kenapa kau harus menjagaku? Memangnya aku tawanan?"
Tidak ada yang salah dari kalimatku, tetapi William berhenti makan. Dia menaruh bubur itu ke meja, lalu mendekatkan wajahnya. Aku menelan ludah ketika hembusan napas William menggelitik bulu mataku dan membuat mataku terpejam.
Apa yang dia inginkan?
"Mulai hari ini kau akan menjadi tawananku," bisiknya pelan.
Sungguh, kalimat itu tidak terdengar romantis sama sekali. Lebih terdengar seperti ucapan yang keluar dari mulut seorang psikampret.
Dengan mata masih terpejam aku berniat mendorongnya asal, tetapi William malah menahan tanganku sehingga menempel di tubuhnya.
Perlahan aku membuka mata dan menyadari posisi kedua telapak tanganku sangat tidak aman. Ternyata aku memegang d**a William, persis seperti orang c***l.
"Kau menyukainya, hm?" tanya William sambil tersenyum.
Awalnya aku ingin marah, tetapi kemudian kuurungkan niat itu. Dia ingin bermain rupanya, biar kuperkenalkan dengan ratu drama sejagat raya.
Aku menarik sebuah senyum tipis, kemudian meraba dadanya perlahan. "Tubuhmu ... cukup bagus."
William sedikit mundur dan melepas genggaman di pergelangan tanganku. Jakunnya naik turun dengan wajah yang langsung memerah. Giliranku mendekatkan wajah, aku mengelus rahang tegas hingga ke belakang lehernya.
"Sudah aku katakan ... kau benar-benar k*****t," bisikku di telinganya yang memerah seketika.
William langsung bangun dan berbalik badan. Sepertinya aku berhasil mengerjai dia. Rasakan itu, salah sendiri bermain-main dengan Naina. Baru digoda sedikit sudah ketar-ketir.
"Sial!" umpatnya.
Tawaku pecah seketika, membuatnya kembali melihatku dengan tatapan tajam. Wajah William benar-benar merah seperti memakai blush on.
"Kenapa kau tertawa?!" Dia berteriak.
Melihat ekspresi kesalnya, tawaku semakin keras hingga perut terasa kram dan celah mataku berair.
Dia berkacak pinggang dan tersenyum sinis setelahnya. "Jadi begini caramu menggoda Edmund? Pantas saja Edmund berkhianat dari gadis baik-baik seperti Elleona."
William benar-benar tahu cara merusak mood orang lain. Kata-kata pedasnya langsung menusuk ke paru-paruku. Mungkin saat dilahirkan mulutnya langsung ditaburi bubuk cabe setan level lima belas.
Aku melemparinya bantal karena terlampau kesal. "Pergi sana!"
Bukannya pergi, William malah memasang tampang tidak berdosa.
"Ini kamarku." Dia mengangkat bahu.
Oh, jadi dari tadi aku ada di kamarnya. Pantas saja begitu besar dan megah, banyak ukiran-ukiran unik di dinding yang terkena pantulan cahaya lilin.
Aku bangun dan menatapnya tajam secara dramatis. "Kalau begitu aku saja yang pergi!"
Dialogku sudah ala-ala sinetron saja rasanya. Nasib baik William tidak tahu apa itu sinetron, atau dia akan menyebutku ibu-ibu julid korban ftv.
Saat aku berjalan ke arah pintu, William menghadang dan mengunciku di dinding dengan kedua lengannya. Iris mata kuning kehijauan itu menatap ke dalam mataku, seolah sedang mencari sesuatu.
"Kenapa, mau melanjutkan drama yang tadi? Aku sudah tidak berminat," ucapku ketus.
"Tidurlah denganku malam ini."