Malam Panjang dan Melelahkan

1247 Kata
"Tidurlah denganku malam ini." Tak sampai hitungan detik aku langsung menendang William tepat di titik vitalnya. "Aarrgggghhh!" erangnya tertahan dengan posisi berjongkok. "Dasar laki-laki m***m, tokek belang, buaya rawa, kadal gurun, cicak terbang, cacing beranak, ular berkaki, katak bijer!" Sangking kesalnya, kebun binatang dan seisinya aku keluarkan seperti seorang rapper profesional di depan William. "Kau ... kau ini benar-benar!" sergahnya. William memandangiku dengan wajah menyala yang menampakkan urat-uratnya. Mungkin dia murka karena aset masa depannya terancam punah, tetapi aku tidak peduli dan melenggang keluar. Bisa-bisanya dia melecehkan seorang perempuan seperti itu. Padahal aku istri orang lain. Walaupun aku menjadi selirnya di dunia ini, aku tidak pernah setuju menikah dengannya. Bahkan upacara pernikahan pun sama sekali tidak pernah diselenggarakan. Tahu-tahu sudah jadi Selir Agung saja. Orang gila macam apa yang membuat skenario sekonyol itu? Margareth dan pelayan lain yang ternyata berdiri di depan pintu melihatku dengan tatapan terheran-heran. Sementara aku hanya mengulas senyum manis seperti tidak terjadi apa-apa. "GWEEEENN!" William berteriak dari dalam kamar, membuat para pelayan saling pandang dengan wajah penuh tanda tanya. "Bukan apa-apa, hanya keributan kecil," kataku sambil berjalan melewati mereka. Aku tertawa puas dalam hati. °°°° Kembali ke istana Selatan melewati halaman istana yang remang-remang adalah jalan ninjaku. Kondisi malam hari di tempat ini masih saja asing dan menyeramkan. Tidak ada pelayan yang mengikut di belakang, mungkin karena aku dibawa ke istana utama sebelumnya. Tidak masalah, setidaknya mendengar bunyi burung hantu jauh lebih baik daripada lama-lama berada di dekat laki-laki m***m itu. Sibuk memperhatikan sekeliling, membuatku tidak sadar ada sesuatu di depan. Benturan kepalaku dengannya membuatku terperanjat kaget. "Mamaaa!" Aku memekik seraya memejamkan mata. Jangan sampai itu dedemit atau makhluk aneh lainnya. Aku tidak siap jika harus melihat mereka lagi. Dia memegang kedua pergelangan tangan yang berada di depan wajahku. "Gwen, ini aku." Itu suara seorang laki-laki. Perlahan aku membuka mata untuk melihat siapa yang berada di depanku. Dion? Bukan, orang itu Edmund. Bahkan dilihat dari jarak dekat pun, dia benar-benar mirip dengan Dion. "Apa yang kau inginkan?" tanyaku sambil melepaskan genggamannya. Dia memandangiku dengan tatapan sayu, seperti banyak pertanyaan di benaknya. "Apa ... yang terjadi padamu? Kenapa warna matamu berubah? Tidak, bukan itu masalahnya. Kenapa kau—" "Aku tidak tahu hubungan macam apa yang kau miliki dengan Gwen, tapi yang jelas aku bukan Gwen!" ucapku tegas. Tidak mau banyak basa-basi lebih lanjut, aku melewatinya begitu saja. Namun, sekali lagi dia menghadang jalanku. Edmund memelukku tanpa aba-aba, membuatku sontak meronta dengan kasar hingga pelukannya terlepas. Untuk kedua kalinya aku kembali menendang titik lemah laki-laki. Sama seperti reaksi William, Edmund berjongkok memegangi bijinya dengan wajah kesakitan. "Maaf, sengaja!" Aku berlari meninggalkan Edmund yang meringis kesakitan. Ternyata dua bersaudara itu sama saja, sama-sama tukang nyosor. °°°° Aku kembali berada di dalam air yang sangat dingin dan gelap. Ada sesuatu yang menahan tubuhku untuk berada di situ. Aku tidak bisa menyelamatkan diri sendiri meski pandai berenang. "Tolong ... aku ...." "Aku belum ... mau ma ... ti." "Ja ... ngan!" "Gwen!" "Gwen!" "Kau baik-baik saja?" "Gwen!" Aku tersadar dan menghirup udara dengan rakus. Dadaku terasa sangat sesak seperti benar-benar baru saja tenggelam. "Gwen, kau kenapa?" Entah sejak kapan Edmund berada di bibir ranjang, membuatku terkejut setengah mati. Mungkin aku tertidur sampai lupa mengunci pintu. Rasanya jantungku seperti mendapat pukulan bertubi-tubi. "Gwen, kau bermimpi buruk?" Dia mengelus wajahku yang kepanasan dan berpeluh, tapi aku menepis tangannya dengan kasar. Aku turun dari ranjang dan berdiri di depannya. "Kenapa kau ke sini? Apa kau tahu perbuatanmu ini sangat tidak sopan?" Dia berdiri dan menatap mataku dengan ekspresi sedih itu lagi. "Aku tahu kau marah padaku, tapi tidak seharusnya kau berbuat sejauh ini. Kau tidak tahu William itu manusia seperti apa, kenapa kau malah—" "Hentikan!" potongku. "Aku tidak peduli apa masalahmu dengan William, yang jelas sekarang aku hanya ingin kembali ke duniaku!" "Apa yang kau katakan, Gwen? Kenapa kau berubah seperti ini? Apa mereka sudah menyihirmu?" Edmund memelukku lagi, kali ini sangat erat sampai aku tidak bisa melepaskan diri. Aroma melon dari tubuhnya sangat kuat. "Maafkan aku, Gwen. Harusnya aku tidak meninggalkanmu sendiri di sini. Ini semua salahku." "Lepaskan aku!" perintahku yang tidak dihiraukan olehnya. Dia malah mencium rambutku dengan sangat lekat. "Aku akan merebutmu kembali dari William, aku tidak peduli bahkan jika kau membenciku. Aku tahu ... di dalam hatimu masih ada aku." Aku tidak tahu kenapa tubuhku terasa sangat lemah. Energiku seakan terkuras habis saat berada di dekatnya. Mungkin perasaan tak berdaya itu berasal dari tubuh Gwen sendiri. Di saat seperti ini aku hanya berharap ada seseorang yang melepaskanku darinya. "Tolong lepaskan aku ...." Aku benar-benar lelah, hingga air mataku luruh tanpa sadar. Dia mempererat dekapannya. "Tapi aku sangat merindukanmu, Gwen." "Aku sudah memperingatkanmu, jangan berani menyentuh istriku!" Suara dingin itu berasal dari belakangku, suara seorang William. Untuk pertama kalinya aku senang mendengar suara laki-laki menyebalkan itu. Edmund melepas pelukannya dariku. Aku langsung berbalik dan bersembunyi di belakang William. Sangking takutnya dengan Edmund, aku meremas erat baju William. "Istrimu? Aku tidak tahu seseorang yang mencuri kekasih orang lain bisa mengatakan hal seperti itu tanpa rasa malu." Aku mengintip dari belakang William, tatapan Edmund berubah sangat kelam. Mereka tidak terlihat seperti saudara, melainkan dua orang yang bermusuhan sejak lama. "Kekasih? Aku tidak tahu seseorang yang sudah memiliki istri bisa mengatakan hal seperti itu tanpa rasa malu," balas William. Boleh juga dia, untuk hal itu aku setuju dengannya seratus persen. Edmund tampak terdiam cukup lama. "Aku tidak akan berhenti sampai di sini." Dia melihatku sebentar, kemudian berlalu keluar. Aku membuang napas lega setelahnya. Malam yang benar-benar melelahkan. Dalam satu malam saja sudah dua kali bermimpi buruk dan dua kali hampir dilecehkan. Akan tetapi, sepertinya masalahku belum benar-benar selesai. William berbalik badan dan menatapku dengan mata dipenuhi amarah. "Dasar keras kepala!" bentaknya kasar, membuat tubuhku bergetar. Bagaimanapun, dia sudah menolongku dari Edmund. Aku ingin berterima kasih, tetapi dia menolakku ke ranjang. "Mulai sekarang jangan berada di tempat yang tidak terlihat olehku!" Aku tidak bisa menerimanya. Aku tidak melakukan kesalahan apa pun, tapi William memperlakukanku dengan sangat kasar. Seolah-olah aku pernah meminta terjebak di tubuh Gwen. Bahkan menurutku Gwen pun tidak layak diperlakukan seperti ini hanya karena dia ingin melindungi gadis yang dicintainya. Aku bangun dan duduk di bibir ranjang. Dia masih berdiri di tempatnya, menatap lilin yang menyala. "Kenapa kau harus bertindak sejauh ini hanya demi cinta yang bertepuk sebelah tangan?" Dia melihatku tanpa ekspresi apa pun. "Orang sepertimu tidak akan pernah mengerti makna cinta yang sebenarnya. Kau hanya memikirkan dirimu sendiri, sampai kau berani merebut suami orang lain atas nama cintamu yang kotor itu." Air mataku jatuh sekali lagi, aku segera menyekanya. Aku benci terlihat lemah, apa lagi di depan orang yang merendahkanku. Namun, aku sangat lelah untuk berdebat dengan William. Pembelaan apa pun akan tetap sia-sia di depan seseorang yang hatinya dipenuhi kebencian. Aku tidak ingin membela diri dengan mengatakan aku bukan Gwen dan aku bukan perebut suami orang lain. Dari mimpiku tentang Gwen dan gelagat Edmund hari ini, aku menjadi tidak yakin kalau Gwen adalah seseorang yang seburuk itu. Pasti ada cerita yang tidak kuketahui. Aku berbaring dan menutup diri dengan selimut. "Pergilah, aku tidak ingin melihatmu." "Tidak, aku akan berada di dekatmu." Dia begitu tegas dengan pendiriannya, aku semakin muak. Bahkan aku tidak bisa memiliki ruang sendiri untuk hati yang kacau. "Terserah," jawabku singkat, tetapi tandas. William tidak mengatakan apa pun lagi. Akan jauh lebih baik jika aku tidur saja tanpa menghiraukan dia akan berbuat tidak senonoh padaku. Jelas dia tidak tertarik padaku. Syukur-syukur dia tidak membunuhku saat tidur.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN