“Kalau kamu mau tahu, siapa calon imamku? Minggu depan datang ya, ke acara lamaran aku?”
“Secepat itu Nis?” tanya Rina tidak percaya.
“Iya, dia tidak mau menunda-nunda, takut didahului yang lain.”
“Kalau jodoh gak akan ke mana-mana, kok.”
“Bisa ke mana-mana kalau tidak keburu dinikahi,” kekeh Anisa.
“Yah contohnya saja, kayak kamu sama Aldo tuh.”
“Ih kok aku, sih?”
“Cepat banget proses kalian, kenal belum lama sudah mau dilamar saja.”
“Itu yang baik Rin. Tidak perlu lama-lama. Kalau sudah saling cocok dan sama-sama siap, mau menunggu apa lagi?”
“Wah pasti dia laki-laki yang baik.”
“Semoga saja Aamiin.”
“Yo kita makan dulu, mumpung belum ada pasien lagi,” ajak Anisa pada Rina.
“Cie, semangat banget yang mau dilamar ayang,” ledek Rina.
“Apa sih Rin, gak juga. Perasaan setiap hari aku selalu semangat,” kilah Anisa sembari memukul pelan lengan sahabatnya itu.
*****
“Kenapa kamu, Nak? Kamu merindukan Sinta?” Bu Ati bertanya pada Aldo yang tengah murung di dalam kamarnya.
“Entahlah Mah. Aldo hanya merasa kecewa dengan kebohongan yang sudah Sinta lakukan. Tapi entah mengapa Aldo merasa kehilangan?”
“Padahal tanpa dia berbohong pun, kalau Aldo sudah siap, Aldo pasti menikahinya. Kenapa dia mesti membuat kebohongan itu, Mah?”
“Aldo, kamu masih menginginkan dia? Kamu masih sanggup membimbingnya? Kamu lihat sendiri ‘kan, kemarin kelakuannya bagaimana?”
“Walaupun dia keras kepala dan banyak kekurangannya, tapi Aldo merasakan cintanya tulus pada Aldo Mah.”
Bu Ati menarik napas perlahan. “Kalau Mama terserah kamu saja Aldo. Kamu yang menjalani. Kalau kamu merasa berat melepaskan, perbaiki hubungan kalian.
“Lalu bagaimana dengan talak yang sudah aku jatuhkan padanya, Mah?”
“Kamu bisa mengajaknya rujuk kembali, karena kamu baru menjatuhkan talak satu padanya. Katakan pada istrimu jika kamu ingin rujuk kembali. Jika dia menerima permohonan rujukmu, maka lakukan hubungan inti dengannya, atas rujuk kalian. Maka sah kalian menjadi suami istri kembali.”
“Apakah dia masih mencintaiku juga Mah? Mengingat, setelah apa yang aku lakukan padanya kemarin, Aldo juga sudah keterlaluan. ”
“Mama yakin dia masih mencintai kamu.”
“Aldo harap mama tetap jadi mama yang penyabar. Bimbingan kami ya, Mah?”
“Selalu sayang. Oh iya dua hari lagi kakakmu dan papa akan pulang. Kalau bisa jemput dan ajak rujuk Sinta secepatnya, soal mau tidaknya dia kembali, setidaknya kamu coba dulu! Papa sama kakakmu tidak tahu masalah kalian.”
“Kenapa pas sekali papa dan kakak pulang saat ada masalah seperti ini? Apa hari ini kita ke sana, Mah?”
“Bisa, lebih cepat lebih baik.”
******
“Eh Dimas, bukannya itu calon istrimu?” tunjuk Andre saat melihat Anisa duduk di meja paling ujung.
“Wah iya tuh, Anisa Dim.”
“Wah makan di sini juga dia. Sana sudah temui dia! Kebetulan tuh, mumpung lagi istirahat siang,” seloroh Bayu.
“Itu dia lagi sama temannya. Malu aku,” sahut Dimas.
“Malu, kenapa mesti malu? Harusnya kamu semangat ketemu dia. Apalagi calon istrimu seorang perawat, diincar banyak orang. Luar biasa kamu Dim. Masa depanmu cerah sekali.”
“Lah apa hubungannya Bay, lagian jika uangku sudah terkumpul, aku akan buka usaha rumah makan sama Cafe, kalian bisa kerja di tempatku nanti kalau jam Mengantor selesai. Walaupun dia bekerja, tetap aku yang akan mencari nafkah, itu tugasku. Uang yang dia miliki, tetaplah menjadi miliknya. Tidak ada hakku atas uangnya.”
“Wah, benar-benar lelaki yang bertanggung jawab lu, Dim.”
“Harus dong Bay, kita jadikan panutan nih si Dimas,” sahut Andre.
“Nah samperin susah Dim! Kalau kamu tidak mau biar aku saja,” ancam Andre.
“Lah parah lu mau nikung teman sendiri.”
“Ya habisnya sama calon istri sendiri malu-malu segala.”
“Iya, oke aku ke sana. Kalian jangan ke mana-mana, ya?”
“Oke kami tunggu.”
Dimas pun berjalan menuju meja nomor 12, di mana Anisa dan Rina sedang mengobrol sembari menunggu makanan siap untuk di makan. Makanan itu masih sangat panas. Iya, mereka memesan ikan nila bakar sambal mentah. Aromanya menguar ke seluruh ruangan. Membuat perut-perut lapar, semakin keroncongan.
Namun belum sampai Dimas di meja nomor 12 itu, Rina beranjak pergi. Sepertinya ada pasien dadakan yang sangat butuh pertolongan. Sehingga Rina meninggalkan makanan yang baru di pesanannya, masih utuh belum tersentuh.
Anisa tidak menyadari kehadiran pria yang dicintainya itu, namun sesaat pipinya memerah setelah tahu Dimas berada di sampingnya.
“Ih Mas bikin kaget saja. Kenapa pas sekali kita ketemu di sini? Eh, tetapi sahabatku baru saja pergi, ada pasien dadakan."
“Maaf bikin kaget. Bagus dong, jadi kita bisa leluasa mengobrol berdua.”
“Bagaiamana, sudah siap untuk minggu depan?”
“Siap tidak siap Mas. Grogi sih Mas. Namanya juga sekali seumur hidup Mas.”
“Mas yakin mau langsung melamarku? Tidak mau mengenalkan aku dulu pada keluarga, Mas?”
“Tidak perlu. Biar jadi kejutan untuk mereka. Sudah pasti mereka setuju. Dek Anis baik dan cantik,” puji Dimas.
“Apaan sih Mas? Jangan berlebihan! Saya banyak kekurangannya. Takutnya nanti orang tua Mas tiba-tiba tidak setuju.”
“Tidak akan terjadi. Orang tua Mas pasti setuju. Iya sudah dilanjutkan makannya, Mas mau kembali ke kantor. Jam istirahat siang tinggal sepuluh menit lagi.”
“Yah, padahal masih pengen mengobrol sama Mas. Ya sudah Mas, daripada nanti kena marah atasan. Hati-hati ya, Mas?”
“Lain kali kita bisa mengobrol lagi. Apalagi kalau Dek Anis sudah jadi istri Mas. 24 jam berbincang sama dek Anis, mas siap.”
“Bercanda terus Mas ini. Kapan tidurnya kalau mengobrolnya 24jam? Ya sudah, cepat sana Mas! Nanti terlambat.”
“Ya Dek, kamu hati-hati ya! Mas pamit dulu.”
“Iya Mas siap.”
Dimas pun meninggalkan meja 12 menuju meja nomor 2 di mana teman-temanya masih menunggunya.
“Ayo kita balik ke kantor sekarang! Nanti terlambat bisa marah si Bos,” seloroh Andre.
Setelah membayar, mereka gegas balik ke Kantor. Sementara Anisa langsung menikmati ikan nila bakar favoritnya.
“Eh belum habis juga dari tadi?” seru Rina yang baru saja sampai.
“Cepat amat, Rin? Pasien sakit, apa? Sampai-sampai kamu harus turun tangan,” tanya Anisa.
“Si Sinta datang buat minta maaf. Dia sudah menyadari kesalahannya dan meminta maaf. Sudah buru-buru sampai belum sempat makan, tahunya?” sahut Rina kesal.
“Bagus dong kalau dia minta maaf, tandanya dia sudah sadar. Kok kamu malah kesal begitu, Rin?”
“Ah sudahlah aku mau lanjut makan, lapar sudah sampai gemetaran badanku. Entar pingsan, kamu tidak kuat gendong.”
“Kasihan, habiskan sudah! Nanti keburu ada pasien. Aku tunggu.” Rina pun melanjutkan makan yang tadi tertunda.
“Eh Bidan Rina?” sapa laki-laki berperawakan tinggi dengan seragam Dinas berwarna coklat.
“Eh Bapak, mau menangkap saya lagi, Pak?”
“Jangan panggil Pak! Saya ini seumuran saja sama Bidan Rina.”
“Oke, mau makan juga Mas Romi kemari?”
“Tidak, mau menagih hutang,” sahut Romi ketus.
“Lah, masa rumah makan sebesar ini punya hutang sama, Mas? Jangan ngaco, deh!”
Rina jadi kesal sama Romi sejak kasus salah tangkap beberapa bulan yang lalu.
“Ini rumah makan milik saya. Jadi saya mau ngapain saja di sini? Iya, suka-suka saya to,” sahut Romi.
“Masak iya punya, Mas? Saya hampir tiap hari makan kesini, tidak pernah melihat Mas di sini?”
“Kalau saya tidak ada di sini, berarti saya di kantor.”
“Eh Rin, siapa sih? Kamu kok berani sama Pak Polisi, itu?”
“Hussst, diam saja!”
“Kenapa kalian bisik-bisik?” tanya Romi.
“Tidak Pak, tidak ada,” sahut Anisa gugup.
“Iya, suka-suka kami lah. Orang kami di sini makanya bayar, mau bisik-bisikkah? Mau mendengarkan musik? tidak masalah ‘kan, Mas?”
“Terserah Bidan Rina saja deh. Saya ‘kan sudah minta maaf atas kasus salah tangkap itu. Kenapa masih saja sewot begitu, sama saya?”
“Saya biasa saja kok Mas. Saya hanya lagi lapar saja,” sahut Rina santai.
“Eh sudah pulang? Inikah calon istri yang mau kamu kenalkan sama Ibu?” wanita dengan gamis dan jilbab berwarna senada itu duduk di samping Romi.
Rina tiba-tiba terbatuk, karena merasa sangat kaget, dibilang calon istri Pak Polisi ganteng itu, oleh ibunya Romi.