“Dek, mana ibu dan Dimas? Tumben sepi?” tanya Rangga saat Mita menyambut kedatangannya seorang diri.
Berbeda dengan Bapak mertua Mita, ia langsung memeluk Mita dan memohon maaf atas semua perbuatannya dulu pada menantunya itu.
Mita terhenyak. Ia tidak percaya, di balik semua cobaan yang ia lewati, kini ia memetik hikmah atas kesabarannya.
Mereka pun gegas masuk.
“Loh, ini bukannya tas milik Sinta, Dek? Kok ada di sini? Apa dia ada di sini?” tanya Rangga pada istrinya.
“Iya Mas Sinta ada di kamarnya.”
“Bapak mau menemui ibu dulu, ya?”
“Iya Pak, silahkan!” sahut Mita.
“Tumben Sinta kesini, Dek? Sejak menikah dengan Aldo dia belum pernah kemari.”
“Anu Mas, Sinta dikembalikan oleh Aldo Mas. Aldo susah menjatuhkan talak pada Sinta,” sahut Mita lirih.
“Apa? Beraninya Aldo melakukan ini pada Sinta? Mas tidak bisa tinggal diam. Biar Mas datangi Aldo sekarang juga,” emosi Rangga membuncah.
“Ayo kita ke kamar dulu, Mas! Kamu harus tahu alasan Aldo memulangkan Sinta.”
“Alasan apalagi? Ini sudah keterlaluan.”
Tanpa banyak kata lagi, Mita lalu menarik lengan suaminya, dan menuntunnya ke dalam kamar.
“Katakan sekarang! Apa alasan Aldo mengembalikan Sinta?” titah Rangga pada istrinya.
“Sinta tidak hamil Mas. Dia hanya menggunakan kebohongan itu agar bisa menikah dengan Aldo,” sahut Mita terus terang.
“Apa?” Lagi dan lagi Rangga dibuat kaget oleh kenyataan yang terjadi.
“Bikin malu saja. Bisa-bisanya Sinta bertindak sejauh ini?”
“Cinta sudah membuat akal sehatnya hilang Mas. Untuk pelajaran Sinta ke depannya, agar berpikir dahulu sebelum bertindak.”
Malam itu, Rangga hendak mendatangi Sinta di kamarnya, namun Mita berhasil mencegahnya. Karena emosi Rangga sedang tidak stabil, Mita tidak ingin terjadi apa-apa, sehingga bersikeras menahan Rangga.
Pagi harinya, semua berkumpul. Setelah semua selesai sarapan, mereka berkumpul di ruang keluarga tidak terkecuali bu Lina. Bu Lina dibaringkan di kasur khusus.
“Kita berkumpul di sini, untuk membahas perihal kepulangan Sinta kemari,” Rangga berucap sembari menatap tajam adik bungsunya itu.
“Apalagi ini? Kalian semua mau menyudutkan Aku?” tuduh Sinta.
“Diam dulu! Mas belum minta pendapatmu Sinta.”
Sinta pun berdecak kesal menanggapi ucapan Rangga.
“Mas merasa sangat malu karena ulah kamu ini Sinta. Bisa-bisanya kamu berbuat sejauh itu demi mendapatkan pria idamanmu. Rendah sekali martabatmu!”
“Jangan menghinaku, Mas! Seharusnya kamu berkaca! Lihat istrimu jauh memalukan,” sahut Sinta sembari menunjuk Mita dengan raut wajah kesal.
“Kecewa Bapak sama kamu Sinta. Bapak jarang di rumah. Bapak tidak tahu banyak tentang kamu. Ternyata Bapak selama ini bersalah sudah membelamu dan membenci Mita. Ternyata, kelakuan kamu seperti ini?”
“Bapak! Tega sekali Bapak berbicara seperti itu? Aku tetap Sinta yang dulu Pak. Bapak jangan bicara begitu!”
“Iya kamu tetap sama. Tidak ada berubahnya. Tetap suka merendahkan orang lain tanpa berkaca,” sela Dimas.
“Kalian semua berubah. Kalian sudah tidak ada lagi yang peduli padaku.”
“Justru karena mereka peduli, mereka masih menasihati kamu Sinta. Rubah sikapmu! Tidak semua orang bisa nyaman dan menerima perbuatan kamu itu. Ibu berharap cobaan yang menimpamu sekarang ini, bisa menjadi hidayah agar kamu memperbaiki diri.”
“Ibu, kenapa ikut-ikutan mereka? Seharusnya Ibu membelaku seperti dulu.”
“Maafkan Ibu Sinta! Dengan diberikan penyakit ini, yang semakin hari semakin membuat Ibu sadar. Ini balasan atas perbuatan Ibu dulu pada menantu Ibu. Ibu sadar banyak kesalahan Ibu pada mbak Mita. Mulai sekarang Ibu memperlakukan kalian sama.”
“Tidak ada lagi yang Ibu bela saat melakukan kesalahan. Tidak ada lagi yang Ibu manjakan. Mulai sekarang, kamu harus berubah. Jika kamu baik, maka kamu juga akan dikelilingi orang-orang yang baik. Kamu akan bahagia.”
Sinta pun menangis sejadi-jadinya. Ia lantas berlari dan memeluk Mita tanpa aba-aba.
Mita membalas pelukan itu dengan sedikit canggung. Bertahun-tahun menyandang gelar kakak ipar, ini pertama kalinya mendapat pelukan dari sang adik ipar.
“Maafkan Sinta Mbak! Maafkan Sinta!” Sinta menangis meraung meminta maaf.
Dimas dan Rangga pun mendekat, mereka juga turut memeluk Sinta dengan erat. Tidak terasa semua menangis haru. Ini momen pertama sang adik bungsu menangis karena menyesali perbuatannya dan meminta maaf.
Setelah puas memeluk Mita, Sinta beralih memeluk Dimas. “Maafkan Sinta! Sinta banyak salah, sama Mas Dimas.
“Mas sudah memaafkan kamu.”
“Nah kalau seperti ini ‘kan enak dilihat. Kalian harus saling menyayangi dan saling jaga. Bapak bahagia melihat kalian hidup rukun.”
“Masalah perceraian, sudah jangan dipikirkan lagi! Allah sudah menggariskan takdirmu dengan Aldo untuk berpisah,” ucap Bu Lina sembari mengusap bahu sang anak dengan lembut.
“Iya Bu. Sinta yang salah. Sinta menyesal sudah banyak melakukan kesalahan. Selama ini Sinta hanya memikirkan ego Sinta sendiri, tanpa memikirkan perasaan orang lain.”
“Lihatlah! Allah begitu baik padamu! Kamu memiliki kakak kandung dan kakak ipar yang begitu peduli dan menyayangi kamu.”
“Iya Bu, andai dari dulu Sinta baik? Andai dari dulu Sinta bisa menerima mbak Mita? Mungkin Sinta akan sangat bahagia sejak dulu. Begitu banyak waktu terbuang untuk hal jahat yang Sinta lakukan.”
Mita pun mendekat dan duduk di samping adik iparnya itu.
“Menyesal tiada artinya Sinta, kita mulai dari awal dengan hubungan yang baik. Kita saling menyayangi dan saling melengkapi.”
“Terima kasih Mbak sudah sudi memberikan maaf pada Sinta. Kesalahan Sinta sungguh banyak padamu Mbak.”
“Tidak masalah Sinta. Mbak hanya menunggu momen ini. Mbak selalu memaafkan setiap kamu bersalah. Mbak berharap, hubungan kita membaik.”
Mereka berpelukan kembali. Melepas segala kepedihan dan kepenatan yang mereka rasakan bertahun-tahun, dengan hidup saling membenci dan menjauh, kini hubungan itu mulai membaik.
“Setelah ini kita akan memiliki anggota baru lagi. Apa kalian sudah siap?” tanya Dimas.
“Anggota baru? Apa mbak Mita hamil lagi?” tanya Sinta.
“Bukan. Mas rencana mau menikah dalam waktu dekat,” ucap Dimas serius.
“Yah tega banget sih, Sinta baru juga ditalak sama suami Sinta, Mas Dimas sudah mau menikah saja,” gerutu Sinta.
“Gampang itu mah. Teman kerja Mas ‘kan banyak. Nanti Mas kenalkan sama kamu, kalau kamu sudah sah bercerai sama Aldo.”
“Siapa calon kamu Nak?” tanya pak Rusman.
“Ada Pak, rahasia. Nanti Bapak juga tahu sendiri.”
“Lah main rahasia-rahasiaan segala. Kasih tahu dong, kan kita penasaran!” celetuk Sinta.
“Wah diam-diam aja nih, tiba-tiba mau nikah saja,” sambung Rangga.
“Iya dong, bagus begitu, dari pada di umbar sana sini tahunya gak jadi, ‘kan malu,” sahut Dimas.
“Ibu ikut bahagia satu persatu anak-anak Ibu menemukan pendamping hidup. Semoga Sinta secepatnya juga diberikan gantinya Aldo.”
“Aamiin,” semua mengaminkan doa sang ibu.
*****
“Eh Nis, kok aku merasa bersalah ya sama Sinta. Ala aku meminta maaf saja ya, sama dia?”
“Kenapa mesti meminta maaf? Kamu sudah melakukan hal yang benar Rin. Kamu sudah membongkar kebohongan Sinta. Kamu tidak perlu meminta maaf,” sahut Anisa.
“Tapi Nis, gara-gara aku, Aldo menceraikan Sinta.”
“Itu bukan salah kamu. Itu salah Sinta sendiri. Lagian tanpa kamu bongkar, kebohongan Sinta juga bakal terungkap ‘kan? Ini bohong soal kehamilan. Lambat laun pasti terungkap. Sudah jangan merasa bersalah begitu! Semangat dong! Pasien di luar masih banyak.”
“O iya Rin, calon suamiku mau menikahiku akhir tahun ini. Sepertinya aku duluan yang bakal melepas masa lajangku Rin,” ucap Anisa membuat Rina terbatuk.
“Kok kaget gitu, sih? Biasa saja dong Rin! Semoga kamu lekas menyusul ya, Rin?”
“Lagian kamu diam-diam saja. Terus sekarang, tiba-tiba mau menikah, ‘kan aku kaget Nis. Siapa calon suami kamu Nis?” tanya Rina.
“Ada deh. Nanti kamu juga bakalan tahu sendiri,” sahut Anisa membuat Rina penasaran.