“Sakit, ya, Jen?”
Marve dan Ruby hanya memutar bola mata mereka ketika menyaksikan drama antara James dan Jenny. James yang terlalu mudah dibodohi oleh Jenny. Bahkan, hal itu benar-benar membuat Marve dan Ruby sangat menentang Sofia untuk bersama James.
Dari pengamatan Marve, melihat alat pel, ember, dan anggota Glitter yang lengkap itu adalah tanda tanya besar, Dan dia tidak perlu ragu lagi jika kejadian pagi ini telah direncanakan oleh Glitter. “James, lo emang bodoh atau pura-pura bodoh? Lo cuma ditipu sama rubah sok cantik ini! Pasti dia dan geng Glitternya iu yang telah ngerancanain hal buruk! Jadi gue saranin sih lo nggak perlu perhatian sama si Jenny ini!!” ujarnya.
“Asal lo tahu ya, Marve, sahabat lo si Sofia itu yang mukul Jenny! Gue lihat pake mata kepala gue sendiri dia yang mukul Jenny! Dan Glitter, mereka justru lagi jadi sukarelawan buat bersihin sekolah dan justru itu patut diapresiasi bukan dicurigai kayak yang lo pikirin itu!” elak James.
Baik Marve, Ruby, maupun siswa yang baru datang yang belum tahu apa=apa langsung terbelalak. Mata mereka terbuka lebar, bahkan ada beberapa siswa yang membuka mulutnya karena refleks.
“Pasti ada alasan Sofia ngelakuin itu!” timpal Ruby membela sahabatnya. Jari telunjuk kanannya kini menunjuk Jenny. “Lo! Lo pasti jahilin Sofia, kan? Lo ngomong apa sama dia? Mamanya baru meninggal kemarin, dan dia pasti lagi lelap dalam kesedihan! Awas aja lo ngomong macam-macam!
James menatap sinis Ruby seolah tidak setuju dengan asumsi gadis itu barusan. “Jenny nggak mungkin ngomong macam-macam! Gue tahu pasti Sofia kesel kan lihat gue sama Jenny? Hah, dasar cewek centil!,” ujarnya.
Marve tersenyum sinis sehabis mendenger persepsi Jame yang tentunya menurut dia salah besar. Ini semua pasti diawali oleh Jenny, “Harusnya lo ngertiin dia sedikit, James. Lo tahu kan mama dia meninggal kemarin. Mama dia! Dan gue yakin dia lagi terpuruk. Sorry gue harus bilang kalau pemikiran lo barusan itu dangkal banget!!” tegas Marve pada James. Dia sangat geram terhadap pujaan hari Sofia itu. “Sekarang, di mana dia? DI MANA SOFIA?!”
“Tadi naik ke atas. Bajunya basah banget karena disiram Amii,” celetuk Aura dengan naif yang langsung mendapat lirikan tajam dari Aurel.
Tanpa berpikir panjang. Marve dan Ruby segera memasuki lift. Mereka sudah hafal jika Sofia ke atas, pasti rooftop selalu menjadi tujuannya. Anehnya, Sofia pasti menggunakan tangga. Bahkan dia adalah orang yang paling jarang menggunakan lift Starry Highscool.
Dihempas oleh pernyataan Jenny dan James, hal yang Marve kini pikirkan adalah apa yang Jenny lakukan sampai Sofia memukulnya? Perasaan kacau balau berkecamuk itu pun juga dirasakan Ruby. Ia yakin jika Jenny sudah berhasil membuat perasaan Sofia hancur berkeping-keping sampai Sofia menggunakan jalan kekerasan.
Keluar dari lift dengan pemikiran yang masih termenung masing-masing, Marve dan Ruby hanya perlu menaiki sedikit anak tangga untuk sampai. Mereka berdua, tentunya merasa bersalah karena tak sempat membantu Sofia tadi.
“Seragam lo basah.” Marve menyampirkan jaket hitam miliknya pada tubuh Sofia yang masih meringkuk di rooftop. Tatapan cowok tu melayu. Perasaan sulit dideskripsikan saat melihat Sofia menangis dengan kencangnya.
“Kalo nangis ngajak-ngajak doang Sofia, biar bisa bikin paduan suara juga waktu nangis,” ujar Ruby.
“Ruby, suara lo waktu ngomong aja udah jelek, apalagi kalo nangis. Sok sokan mau bikin paduan suara. Bisa runtuh nih Starry. Bisa rusak dunia ini! ”
“Ya, suka-suka gue dong, Marve. Lo mah lemah, gampang iri sama orang!”
“Dih? Sorry, gue nggak iri ya sama lo. Gue tuh cuma nyadarin lo kalo suara lo jelek!”
“Setan!”
“Udah deh, Ruby, gue mau bantuin Sofia aja ini. Kasihan banget otak kebanggan Starry malah nangiss. Fix dia butuh skincare, sih. Kayaknya ni anak kemarin ngepetnya nggak sukses makanya nangis,” cerocos Marve seenaknya. Dia mengulurkan tangannya pada Sofia yang masih menunduk dalam posisi jongkok. “Ayo tuan putri Sofia, saya ajarkan cara ngepet yang top cer biar dapet duit banyak,” imbuhnya yang langsung mendapat sentilan darii Ruby di bagian pelipis cowok itu.
“Ngaco lo!” tukas Ruby.
Tapi siapa sangka, Sofia mulai menampakkan wajahnya dan menerima uluran tangan Marve. Gadis itu menampilkan senyum manisnya meski sekilas. Syukurlah. Syukurlah ada orang yang peduli dengannya. Syukurlah, dia masih memiliki sahabat yang bersedia untuk menghilangkan kesedihannya. Sofia bersyukur atas itu semua.
“Gak papa ngaco, yang penting bisa bikin Sofia senyum. Emangnya lo, yang ngajakin bikin kacau dunia dengan paduan suara?”
“Sstt! Diam, Marve. Gue mau ngintrogasi Sofia nih!”
“Dia baru berhenti nangis, Ruby. Lo emang pengin gue timpuk, ya?!”
“Gue bakal cerita. Tapi nggak sekarang, ya? Dinginn, kotor juga nih baju gue.” Akhirnya, Sofia mau juga mengeluarkan suaranya! “Untung gue selalu siapin seragam cadangan di loker.”
Marve dan Ruby bernapas lega setelah mendengar suara Sofia. Mereka kagum dengan kecepatan Sofia merubah mood dan emosinya. “Ya udah, ayo kita turun!” seru Ruby menggandeng Sofia.