Wajah dengan kantung mata membesar dan menghitam itu kini menjadi daya tarik siswa Starry. Gadis yang berjalan dengan lesu, tatapan tidak fokus, dan banyak dibenci adalah sasaran empuk bagi Jenny. Dia sudah tersenyum miring sejak Sofia memijakan kaki di gedung dua.
Koridor lantai tiga gedung dua. Tempat Jenny dan keempat temannya memperhatikan Sofia. Pukul 06.16. Masih aman untuk sedikit bertingkah karena di lantai tiga, suasananya begitu sepi.
“Atur posisi! “ perintah Jenny kepada anggota Glitter.
Adya, Aura, Aurel, Ami. Keempat gadis itu langsung memposisikan diri sesuai dengan apa yang sudah direncanakan. Adya bertugas sebagai penjaga. Dia hanya tinggal menuruni berapa anak tangga dan berdiri di sana. Aura dan Aurel bersiap bermain akting seakan sedang mengepel lantai. Ami yang akan bergegas melaksanakan aksi. Sementara Jenny, dia yang akan menyerang Sofia lewat verbal.
“Ini pasti bakal seru!” ujar Ami dengan antusias.
“Ami lo jangan terlalu semangat, ntar nyiramnya ke gue lagi. Awas lo!” timpal Aura yang jaraknya tak jauh dengan Ami.
“Emang Ami mau nyiram apaan, sih, Rel? Itu kan air bekas pel. Mending langsung dibuang ih jorok banget si, Ami!”
Ucapan Aura barusan, membuat Jenny, Ami, dan Aurel melirik tajam ke arah gadis itu. “Tolong jelasin ke Aura pake bahasa isyarat aja. Gue udah sepuluh kali jelasin ke dia kita tuh bakal ngerjain si soap soap sabun mandi! Malah tetep aja nggak mudeng!” seru Aurel yang kesal dengan kelambanan Aura.
“Ih, Orelll, bawa sabunn mandi? Emang siapa yang mau mandi? Ami? Ih mandi kok di sekolah!’
Ami tertawa begitu kencang setelah mendengarkan perkataan Aura. Jiwa recehnya memang susah untuk dikendalikan. “Buat lo aja de, Ra. Buat nyuci otak lo! Biar otaknya glowing bukan cuma wajahnya!”
“Ohh, kalo otak mau glowing juga pakai sabun? Kirain pake apa … “
Aurel menggerakan alat pelnya dengan lemas. “Emang pake apa?” tanya dia kepada Aura.
“Pake amplas. Biar mengkilap sekalian!” teriak Aura dilanjutkan senyuman lebarnya.
Aurel menutup matanya sekilas. Dia tampak sangat kesal. “Ami, mending lo siram Aura aja deh. Gue udah males berteman sama dia!”
Dering telepon smartphone milik Jenny yang tiba-tiba berbunyi langsung memecah percakapan random Ami, Aura, dan Aurel. “Udah, diem. Target mulai mendekat, “ ucap Jenny yang langsung mengetahui hal itu karena yang menelponnya tadi adalah Adya. Dan sebuah telepon dari Adya adalah kode bahwa Sofia mulai mendekat.
Dan benar saja. Sofia akhirnya muncul dari tangga. Keadan fisik dan hatinya sedang kacau untuk saat ini. Dia bahkan enggan untuk menatap lurus ke depan. Saat melintasi area yang telah di pel Aura dan Aurel.
“Well, good morning anak piatu baru! Gimana nih satu hari tanpa mama? Sedih, ya? Takut? Utututuuu pasti nangis semalaman, ya?” ucap Jenny menghalau jalan Sofia.
“Minggir, Jenny. Gue malas berurusan sama lo. “ Bagaimana pun, Sofia sedang tidak ingin mencari keributan apalagi dengan Jenny. Karena bagaimana pun alasan dan jalannya pertengkaran dia dan Jenny, Jenny yang akan selalu didengar oleh orang-orang dan Sofia yang akan berakhir dengan dicap sebagai pembuat onar.
“Jangan buru-buru, Sofia. Lebih enak kalo kita ngobrol dulu bentar. “ Jenny berhasil menghalangi kembali jalan Sofia. “Jadi gimana ini? Nyokap lo kan udah mati, pastinya bokap lo udah punya cadangan dong? Gue yakin dia udah punya cewek muda yang bakal gantiin mama kandung lo itu!”
Lisa membuka matanya dengan lebar. Ia boleh santai jika ada yang mencela dirinya. Namun tidak dengan orang yang mencela keluarganya.
“Kok melotot? Ihh takuttt. Fix si ini mah bokap lo udah punya simpenan. Ya wajar sih, tumbang 1 tmbuh seribu. Siapa tau ya kan ais nyokap lo mati itu, bokap lo dapet banyak cewek! Upsieee … “
Sofia paham, Jenny sengaja memancing emosinya. Omongan gadis itu memang sangat menusuk hati Sofia. Akan tetapi, sebisa mungkin Sofia mengendalikan emosinya. Sebisa mungkin gadis itu mencoba terlihat baik-baik saja.
Sofia seketika menutup hidungnya dengan ibu jari dan jari telunjuknya di tangan kanan. “Duh kok bau sampah banget, si? Jen, lo belum sikat gigi, ya? Abis lo ngomong kayak langsung bau busuk gitu,” tukas Sofia.
“Kurang ajar!” Jenny langsung mendorong tubuh Sofia. Membuat Sofia kehilangan keseimbangan dan terjatuh ke lantai beriringan dengan siraman air bekas pel.
“Aduh, sorry, Sofia, gue nggak sengaja, “ cakap Ami berpura-pura. “Yah, baju lo jadi basah gini. Bau pula. Maaf, yaa. “
“Buat apa minta maaf, sih, Ami? Sofia pantes dapetin air itu. Anggap aja itu hadiah dari gue buat kematian mamanya. Kasihan, udah nggak punya mama lagi, bokapnya pasti cari cewek lagi, dan dia juga nggak bakal bisa dapetin James. Hahaha, cewek sampah kayak Sofia emang nggak bakal pernah setara sama James!”
Sofia mengepalkan tangannya. Masa bodoh dengan matanya yang mulai berair, dia segera bangkit dan memukul wajah Jenny dengan keras.
“Jenny!”
Suara James yang tiba-tiba terdengar di telinga Sofia, membuat Sofia menunduk menyesali perbuatannya. Dia gagal untuk mengendalikan dirinya.
James menghampiri Jenny dengan cepat. Dia meraih wajah Jenny untuk mengecek kondisi gadis yang baru saja mendapat pukulan dari Sofia sampai bibirnya berdarah. “Lo bisa nggak sih sehari aja nggak bikin gara-gara sama Jenny? Lo tuh kayak preman tau nggak? baru aja gue mau berbela sungkawa, tapi kelakuan lo malah buas kek gini! Lo bikin gue ilfil, Sofia!”
Sofia menatap lurus mata James. Dia tersenyum paksa, saat perasaannya berhasil hancur lebur. “Lo bahkan nggak tahu apa yang sebenarnya terjadi, James,” ucapnya lalu bergegas pergi menaiki tangga.
Persetan dengan hinaan Jenny tadi, persetan dengan ucapan James yang menilai tanpa tahu jalan ceritanya. Semua itu membuat hari Sofia tambah buruk. Semua itu membuat Sofia merasakan sesak. Napasnya tidak karuan, tangisannya ia tahan karena belum sampai di tempat tujuan. Semangat hidupnya sudah pergi, sumber kehangatan dan tempat ternyaman berlabuhnya telah hilang. Membuat kesedihan gadis itu kian mendalam.
Sampai di rooftop Starry Highschool, Sofia membiarkan tangisnya tumpah ruah. Sesekali dia berteriak tidak jelas untuk meluapkan apa yang ia rasakan kali ini. Lututnya melemas, gadis itu perlahan berjongkok.
“Sofia minta maaf, Mah. Sofia gagal menjadi sosok yang pemberani. Sosok yang berani mengungkapkan apa yang sejujurnya terjadi. Sofia gagal. Sofia juga gagal membela mama. Sofia minta maaf, Mah. Sofia minta maaf. “
***