7. Sadness

781 Kata
Tubuh Sofia otomatis bergetar mendengar hal demikian. Ya Tuhan … Apa semua yang tamu papa Sofia bicarakan benar? Jadi, Lily merelakan nyawanya demi Sofia? Meski masih ditimpa rasa kebingungan yang membuat Sofia pening, gadi itu tetap saja tidak bisa mengendalikan iar mata nya yang perlahan turun tanpa permisi. Dia pasti merasa bersalah akan semua yang terjadi. Akan kematian mamanya. Rasa sesak yang tadi di sekolah berlangsung, kini terjadi lagi. Rasa itu seakan terus menggerogoti jiwa dan aganyayang entah harus berkata apa lagi. Cahaya sore yang kian meredup, beriringan dengan kesedihan Sofia yang kembali hadir. Suara bukaan pintu rumah hampir tak Sofia dengar. Dengan keadaan masih meneteskan air mata, tamu papanya berdiri di depan Sofia setelah pintu rumah terbuka. Pastinya, papa Sofia yang berdiri dibelakang tamunya melihat Sofia dengan terkejut, “Kamu sungguh mirip mama kamu, Sofia, “ ujar tamu papa Sofia lantas melesat pergi. Rodrigo tahu, putrinya pasti telah mendengar semua obrolannya dengan Andrea. Bagaimanapun, Rodrigo masih bersyukur karena masih memiliki putri yang sangat mirip dengan istrinya yang meninggal kemarin. DIa tidak ingin lagi kehilangan sosok yang ia sayangi. “Sofia, mau makan apa sore ini?” tanya dia untuk mengalihkan semua pikiran Sofia. “Pah … “ “Makan sama apa? Papa bakal masakin kamu makanan enak. Tapi jangan kaget kalo misal hasilnya bisa juga gosong, ya,” ucap Rodrigo mengusap pelan kepala putrinya agar tidak bersedih kembali. “Semua yang terjadi bukan salah kamu. Takdirnya memang seperti ini dan kita nggak bisa ngerubah apapun. Jadi, jangan merasa bersalah. Semua sudah ada yang atur, Sofia,” lanjutnya. “Pah, kenapa papa nggak pernah bilang soal ini? Ada apa antara Sofia sama mama sampai dia harus dikasih ramuan? Sofia tidak mengerti sama sekali!” "Sofia, Papa minta maaf—” “Sofia berhak tahu ini semua, Pa!” “Papa bakal cerita kalo udah dewasa, Sofia. Untuk saat ini Papa belum siap untuk menceritakan semua. Kamu masih kecil, Sofia. Jangan pikirkan hal ini dahulu.” “Lantas buat apa Sofia hidup di atas kematian mama?! Sofia nggak pantas untuk terus hidup. “ “Enggak, kamu nggak salah Sofia. Ini semua salah Papa dulu.” “Ya udah ceritakanlah, Pa. Sofia mohon … “ Rodrigo hanya menggelengkan kepalanya. Dia tidak ingin membuat putrinya semakin sedih dengan kisah masa lalu itu. “Papa belum--” “Sampai kapan Papa nganggep Sofia seperti anak kecil? Menutupi semua hal, membuat seolah-olah Sofia tidak berhak tahu atas itu semua. Seolah-olah, Sofia adalah sosok asing bagi Papa.” Entah sedang mendapatkan hal apa, Sofia merasa begitu dikhianati, Atau memang mood dia sedang sangat sensitif hari ini sehingga dia mudah tersinggung dan membuat kesimpulan yang dangkal? "Coba kalau Sofia tidak mengupin tadi, apa Papa akan bercerita tentang hal ini? Sepertinya tidak, bukan? Papa selalu bersikap humoris. Papa selalu membohongi Sofia. Sofia benci Papa!" Gadis yang hatinya sedang dihantam kembali dengan kenyataan pahit itu lantas pergi meninggalkan papanya. Mengambil langkah cepat menjauh dari rumah yang depannya banyak sekali bunga lily. Bahkan orang yang Sofia anggap paling dekat dengannya adalah orang yang menyimpan faka besar. Jika tahu hal ini akan terjadi, Sofia pasti akan lebih memilih merelakan dirinya demi mamanya panjang umur. Sekarang, gadis itu merasa begitu terbebani sekaligus memiliki rasa bersalah yang besar. Pertanyaan-pertanyaan aneh di kepalanya terus bermunculan. Apa mending mati saja? Apa lebih baik menyusul mama sekarang? Bukankah dari awal sepertinya Sofia tidak layak hidup? Toh benar juga apa yang dikatakan Jenny tadi pagi, Papa Sofia tentu saja akan menikah lagi, bukan? Sepertinya kalau hidupnya berakhir saat ini juga tidak akan banyak yang berubah. Semua itu adalah bualan konyol yang terus bebas memakan pikiran positif Sofia. Berdiri di tengah jalan selepas tikungan, Sofia menatap kosong ke arah depan. Pikirannya begitu kalut. Emosinya yang tidak stabil terus mempengaruhi dia.Pemikiran rasionalnya tertutup sempurna. Sesekali gadis itu menghela napas pendek. Lantas tersenyum sekilas seperti orang freak. Dia akan mengakhirinya hari ini. Dia akan mengakhiri hidupnya sore ini. Cukup sudah bullying yang ia terima, cukup sudah rasa sakit atas penolakan cinta, cukup sudah merasa dikhianati karena tak diberi cerita. Menepi ke sayap jalan, Sofia akhirnya sampai di jembatan. Matanya memperhatikan sungai sungai deras di bawah sana. Terlihat siap mencabik-cabik tubuhnya. Ini keputusan yang sangat gila! Berdiri tegap, menarik napas begitu dalam dan merasakannya dalam tubuh untuk menikmati udara terakhir. Jalanan sekitar jembatan yang sepi membuat Sofia fokus dengan apa yang akan dia lakukan. Toh untuk apa hidup jika terus mengalami rasa sakit? Lebih baik menyusul mama dan bahagia di alam sana. Pikirnya begitu. Seakan dikendalikan oleh Aura negatif, Sofia sampai melupakan banyak hal yang membuatnya terus ceria selama 17 tahun ini. Gadis itu mulai menghitung dari angka tiga. Sepertinya, selepas hitungan ke 1 nanti, dia akan menjatuhkan diri dari jembatan itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN