CERMIS 2 : KEBUN BUNGA SANG FLORIST (10)

1525 Kata
Episode  : Aura Romantis Yang Dirasa Kurang Sempurna (1)   Sabtu pagi yang cerah. Sinar matahari terasa lembut namun menghangatkan. Ini adalah jenis pagi yang secerah paras Windy. Pagi yang laksana sesuatu yang mewakili suasana hati Gadis itu. Hati yang ceria dan penuh semangat. Suka cita memenuhi hati Gadis yang hari ini mengenakan t-shirt lengan panjang berbahan ringan dan berwarna pastel yang dipadu dengan celana kain model pensil dengan corak garis-garis vertikal. Corak yang memberikan kesan santai dan membuat tubuhnya terlihat tinggi semampai. Windy merasa nyaman dalam balutan busana tersebut. Sebuah bandana polos tanpa corak berwarna merah jambu bertengger di kepalanya, menampilkan kesan manis di wajahnya. Windy membenarkan letak tas selempang yang ia sampirkan di pundaknya, usai mengecek dalam cermin kecil, tampilan wajahnya. Dalam cermin itu Ia melihat refleksi wajah yang berseri, bibir ranum yang tampak sexy dipulas dengan lipstick berwarna merah anggur. Ia tersenyum sendiri jadinya. “Nggak usah masuk, berhenti di depan situ saja Pak,” suruh Windy. “Baik, Bu.” Instruksi yang ia berikan langsung diangguki oleh Sang Pengemudi tanpa sedikitpun protes. Maka kendaraan yang ditumpangi Windy dari rumahnya segera melipir dan akhirnya berhenti sempurna, tepat di sisi pagar toko bunga yang sepertinya sengaja diposisikan setengah terbuka itu. Sesuai dengan perjanjian mereka sebelumnya, hari ini Windy akan bertemu dengan Bagas di toko bunga All Ocassion, tempat di mana pertama kali mereka bersua. Sejauh ini Wndiy memang belum pernah mengundang Bagas untuk singgah ke rumahnya. Bahkan dia juga belum memberitahu kepada bagas di mana letak rumahnya secara pasti. Dia hanya menyebutkan areanya saja. Masih ada yang mengganjal perasaan Gadis itu, meski Bagas sudah tahu dirinya bekerja di mana. Pasalnya, lokasi kantor Windy tidak seberapa jauh jaraknya dari toko bunga milik Bagas. Dia masih agak ragu untuk memulainya, sementara Bagas juga belum menunjukkan tanda-tanda akan main ke rumahnya. Terlebih, ketika mereka bertemu, biasanya Windy juga mengendarai sendiri mobilnya, sehingga memudahkan dia untuk pulang ke rumah sendiri, tanpa harus diantarkan oleh Bagas. Dan entah mengapa, semenjak percakapan dengan Yeslin tempo hari, Gadis itu merasa sedikit was-was. Namun di balik itu, dirinya juga bersyukur lantaran Bagas juga tidak meminta untuk berkunjung ke rumah. Bagas juga tak pernah menyebut akan menjemputnya ke kantor lagi. Bagi Windy, barangkali memang sebaiknya begini saja dulu. Dia merasa, sebaiknya memang mereka berdua saling mengenal lebih baik dulu dan tidak usah terlampau banyak orang lain yang mengetahui tentang perkembangan hubungan mereka. Maka yang paling tepat adalah bertemu dan berpisah di toko bunga, sebab Pegawai toko bunga sudah telanjur tahu awal pertemuannya dengan Bagas. Pandangan Windy menyapu sekitarnya begitu ia turun dari kendaraan dan melangkah melintasi area pelataran parkir. Ia melihat baru sebelah dari rolling door toko yang terbuka. Tetapi Windy yang memang sengaja datang dengan taksi daring, sudah mendapati keberadaan sebuah kendaraan yang ditengarainya adalah kendaraan pribadi Bagas. Kendaraan itu tampak terparkir di pelataran parkir Toko bunga tersebut. “Hallo,” terdengar sapaan suara bariton yang kian akrab dengan indra pendengarannya belakangan ini, saat dia tengah mengamati situasi di sekitar toko bunga. Windy langsung membalikkan badannya. Dia tahu benar Siapa yang menyapanya tanpa harus menduga-duga lagi. “Hai!” sapa Windy dengan ceria. “Taraaaa! Ini khusus buat kamu. Selamat pagi Gadis cantik!” kata Sang Empunya suara bariton sembari mengangsurkan buket bunga warna-warni. Buket bunga yang langsung menyemarakkan suasana pagi Windy. Sepertinya Sang Empunya suara memang sudah menanti kedatangan Windy semenjak tadi dan mungkin terus menebarkan pandang secara berkala ke arah jalan raya. Karenanya, saat Sang tamu Istimewa tiba di tempatnya, dia sudah lebih dari sekadar siap untuk menyambutnya. Windy tersenyum lebar dan menerima buket bunga itu, lantas menciumnya. Aroma kesegaran menguar. Didekapkannya buket bunga trsebut ke dadanya. Akhirnya! Aku mendapatkan juga buket bunga. Walau aku nggak terlalu paham makna apa yang tersirat di dalamnya. Ini kan bunganya juga lebih dari satu jenis. Warnanya juga beragam. Ah. Tapi buatku itu nggak terlalu penting. Yang paling penting adalah, hati aku bahagia, sebab aku mendapatkannya dari Bagas. Anggap saja ini ungkapan perasaannya kepadaku, bisik hati Windy. “Semoga kamu suka sama bunganya ya Win. Habisnya..., sampai sekarang aku belum tahu pasti bunga favoritmu apa, juga warna kesayanganmu. Maka dari itu, aku nggak mau ambil resiko salah menebak. Aku pikir memang sebaiknya aku gabungkan saja bunga-bunga itu. Anggap itu adalah ungkapan doa supaya hidupmu selalu semarak dan penuh warna. Satu hal lagi, aku merangkai sendiri tadi karena para Pegawaiku sedang sibuk mengerjakan hal lain, di samping mempersiapkan untuk segera membuka toko. Jadi harap maklum, kalau kurang bagus,” ucap Bagas. Windy terbuai mendengarnya. Wah! Dia sampai menyempatkan merangkai sendiri bunga ini. Khusus untuk dipersembahkan bagiku. Super keren! Bisik hati Windy. Gadis ini sungguh merasa tersanjung diperlakukan secara spesial seperti itu. “Suka kok! Suka banget malahan! Dan aku mengaminkan doanya,” kata Windy. “Bunganya segar dan wangi. Hebat deh kamu merangkainya sendiri. Terima kasih banyak ya, Bagas!” imbuh Windy setelahnya. Bagas tampak senang mendengarnya. “Sama-sama. Tapi aku biasa saja, sama sekali nggak hebat,” sahut Bagas, melakukan koreksi. “Kamu tuuh..., merendah melulu deh sukanya!” kata Windy. Berkata begitu, mata Windy menelusuri penampilan Bagas hari itu. Lucu. Walau tanpa janjian tentang dress code yang hendak dikenakan pada hari ini, dia melihat Bagas juga mengenakan t-shirt lengan panjang sepertinya. Bedanya, t-shirt yang dikenakan Bagas berwarna krem, dan dipadu dengan celana jeans. Tuh! Penampilannya Bagas itu muda. Si Yeslin sih, belum pernah ketemu langsung. Suatu saat kalau dia melihat langsung, pasti bakalan berbalik mendukungku supaya jangan sampai melepaskan Bagas, atau memberi sedikit saja celah yang berakibat Si Bagas ini tergoda sama Cewek lain, kata Windy dalam hati. Seyakin itu dia. “Enggak. Memang kenyataan,” terdengar ralat dari Bagas, yang disambung dengan  menyenyumi Windy. Senyum yang masih saja membuat hati Windy berdebar hingga detik ini. “Kita langsung berangkat sekarang? Atau kamu mau istirahat dulu sebentar?” tanya Bagas, melempar opsi kepada Windy. Windy menatap arlojinya. “Eng..., dari sini ke kebun kamu bakal makan waktu sekitar berapa jam perjalanan?” tanya Windy. “Mungkin satu jam, atau kurang,” jawab Bagas. Windy mengernyitkan keningnya. “Masa? Kok cepat sekali? Ngebut, tuh?” tanya Windy. Bagas menggeleng lalu berkata, “Nggak terlalu jauh, kok. Kan kebunnya ada di sekitar Bogor. Belum sampai ke Bogor, malahan, masih perbatasan. Dan ini akhir pekan, masih pagi, pula. Semestinya lalu lintas juga lancar.” “Bogor?” tanya Windy setengah tak percaya. Ada sedikit ragu yang menyelinap ke benaknya. Bagas langsung menganggukinya. “Iya. Aku putuskan untuk memperlihatkan kebunku yang di Bogor dulu ya ke kamu. Lain kali mungkin kita lihat juga yang Parung,” jelas Bagas. “Oooh..., di Bogor itu..., maksudnya..., yang di Puncak?” tanya Windy untuk memastikan. Bagas menggoyang-goyangkan telapak tangannya. “Oh enggak. Beda, Windy. Aku pikir, sebaiknya kita lihat yang di Bogor dulu ya. Semoga kamu suka. Ini kebun bunga yang pertama kali dimiliki oleh Mendiang Ibuku. Tadinya lahannya kecil saja, tapi karena pas aku tangani kebetulam ada rejeki, ya aku perluas dengan membeli lahan kosong di sekitarnya,” terang Bagas. “Ooh...,” itu saja yang sanggup diucapkan oleh Windy. Dia sampai terlupa untuk memuji Bagas. Kebiasaannya yang murah hati untuk memuji Bagas tertelan oleh rasa yang lainnya. Dia tidak tahu, perasaan apa yang tengah berkecamuk di hatinya saat ini. Sulit bagi Gadis yang telah melewati usia pertengahan dua puluh enam itu untuk menerjemahkan semuanya. Ada rasa kecewa dan sedih, disusul pula dengan selintas rasa syukur, berbalut rasa lega yang bercampur rasa heran. Segala perasaan itu berpadu menjadi satu. Ia sendiri jadi bertanya-tanya dalam diam, sebenarnya dirinya  menyesali keputusan Bagas yang dengan sepihak merubah tujuan kunjung mereka, atau justru mensyukurinya. Padahal andai saja dia boleh jujur kepada Bagas, dia sangat ingin melihat penampakkan kebun bunga milik Bagas yang berlokasi di kawasan Puncak. Dia sudah membayangkan, perjalanan ke sana akan mengasyikkan buat mereka berdua. Tambahan lagi, udara sejuk di kawasan Puncak, diperkirakannya akan menerbitkan aura romantis. Aura romantis yang diharapkannya akan dapat menggugah hati Bagas untuk dengan mantap mengungkapkan perasaan kapadanya. Oh! Betapa dia sudah menanti saat-saat seperti itu. Menurut Windy, dalam usianya yang sekarang, tentunya Bagas takkan mungkin mendekati seorang Cewek hanya untuk having fun saja. Sudah nggak pantas dong. Lagi pula apa yang dia cari? Usahanya sudah begitu mantap. Masa iya dia nggak mau mencari Pendamping hidup? Mau dinikmati sendiri itu kesuksesannya? Apa dia nggak merasa kesepian? Saudara sepupuku yang seumuran dia saja, sudah memiliki Seorang Putra dari pernikahannya dengan Gadis idamannya, kata Windy dalam hati. “Hei..., kok jadi diam begitu  Win? Ada apa?” usik Bagas. Windy berusaha memaksakan sebuah senyum. “Enggak kok. Tadinya aku pikir..., hari ini kamu mau mengajakku ke kebunmu yang di area Puncak..,” ucap Windy lirih. Ia sengaja menekan rasa kecewa yang menggoda. Bagas terdiam mendengarnya. Ekspresi wajah Sang Pemilik toko bunga All Ocassion itu sedikit berubah karenanya. Ada sesuatu hal yang mengusik perasaannya. Namun Windy kurang menyadari perubahan air muka Bagas tersebut. Oh. Yang satu itu. Nggak harus secepat ini juga. Belum saatnya, Windy. Ambil lebih banyak waktu dan nikmati dulu sajalah ritme ini, sahut Bagas dalam hati. Mati-matian ia menahan, agar jagan sampai seringai yang nyaris terbentuk di sudut bibirnya, terlepas dengan bebas dan tertangkap sempurna oleh pandangan mata Windy. *                                                                                                                                               * * Lucy Liestiyo * *
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN