CERMIS 2 : KEBUN BUNGA SANG FLORIST (11)

1645 Kata
Episode  : Aura Romantis Yang Dirasa Kurang Sempurna (2)   Beberapa saat tidak ada percakapan verbal di antara mereka berdua. Masing-masing tenggelam dalam pemikirannya sendiri-sendiri. Tentu saja situasinya jadi terasa kurang nyaman bagi kedua pihak. Ada sedikit kecanggungan yang melintas. Pada akhirnya, Bagas sadar diri. Ia merasa dirinya sebagai Pihak yang harus mengakhiri kebisuan yang tercipta. Pikirnya, dia sendiri yang telah menawari Windy untuk berkunjung ke kebunnya, dan dia pula yang sekarang mempunyai posisi sebagai si Tuan rumah. Dua hal itu saja sudah cukup sebagai alasan kuat bagi dirinya untuk mengambil inisiatif memecah kebekuan yang menjelma. “Kamu kecewa ya Win? Aduh, aku minta maaf ya, kalau nggak memenuhi harapan kamu,” ucap Bagas pelan, seolah menyesali keputusannya. Ditatapnya Gadis di depannya secara intens. Menyadari hal itu Windy buru-buru menggelengkan kepalanya. Dia tak mau membuat Sang Gebetan merasa bersalah begini. “Enggak kok,” katanya untuk meyakinkan jawabannya. “Beneran?” tanya Bagas hendak memastikan. Windy menganggukinya. “Serius, enggak apa-apa. Dan kamu nggak salah. Jadi nggak usah minta maaf,” kata Windy. Bagas menarik napas lega. “Syukurlah kalau begitu. Aku hanya takut kamu merasa kecewa. Jadi begini, tadi malam itu aku agak nggak enak badan. Jadi aku pikir, mendingan ajak kamu ke kebun bunga yang dekat dulu saja. Aku lagi nggak mood untuk menyetir ke Puncak, dan memang terbiasa untuk menyetir sendiri. Tanpa Supir. Enggak masalah, kan? Mungkin lain kali kalau ada kesempatan, aku ajak kamu ke sana,” terang Bagas hati-hati. Windy belum bereaksi. Bagas merasa perlu menyampaikan lagi sesuatu hal, karena merasa telah membuat hati Windy kecewa. “Tapi aku rasa, kamu akan senang dengan kebunku yang di Bogor. Ada rumah kacanya, lho. Kamu nanti bisa melihat tanaman hidroponix segala. Kamu bisa banyak bertanya ke Para Pegawaiku di sana,” kata Bagas. Mata Windy membulat. “Rumah kaca? Itu serius?” tanyanya takjub. “Iya,” sahut Bagas. “Kelihatannya menarik. Boleh buat latar belakang foto dong ya,” kata Windy. Bagas tampak berpikir sesaat sebelum berkata, “Eng..., yang di Bogor sama Parung boleh. Tapi kalau suatu saat kita berdua punya kesempatan untuk mengunjungi kebun bungaku yang di Puncak bersama-sama, sayangnya kamu nggak boleh memotretnya.” “Hah?” spontan Windy mengungkapkan rasa terkejutnya. Ingin benar dia menuntut penjelasan dari Bagas, apa alasan yang mendasari perkataannya barusan. Sebab menurutnya aneh sekali, ada kebun bunga yang indah kok malah tidak boleh diabadikan dan dipamerkan. Bukannya itu merupkan promosi gratis, sejatinya? Namun segera ditepisnya perasaan tak enak yang mengusik. “Oh, kalau begitu aku beruntung. Karena hari ini kan kita mau ke Bogor. Jadi bisa jeprat-jepret sepuasku. Lumayan buat dijadikan profile picture di akun media sosialku nanti,” kata Windy, melipur harinya sendiri. Bagas tidak segera menyahut. Tampaknya dia tengah berpikir. Entah apa yang dipikirkan oleh Bagas, sehingga urusan mengambil foto saja menjadi semacam hal yang serius. Sekitar seetengah menit Bagas menimbang-nimbang, sebelum akhirnya dia berdeham kecil dan menjawab permintaan Windy. “Hm. Boleh juga deh. Tapi aku nggak yakin kamu masih akan sempat untuk berfoto segala. Pemandangan di sana rasanya akan membuatmu lupa untuk itu. Pegawaiku membuat gazebo yang menghadap ke sebuah danau buatan. Kecil saja sih danaunya. Tetapi duduk-duduk di sana sanggup menghadirkan aura syahdu,” kata Bagas. “Oh, ya?” tanya Windy bersemangat. Hatinya langsung berbunga-bunga. Dia sudah membayangkan, akan duduk berdua di gazebo tersebut, saling memandang, atau berjalan mengelilingi danau buatan sambil bergandengan tangan. Ah! Alangkah romantisnya! Baru sekadar membayangkannya saja, hati Windy sudah dilanda oleh suka cita yang besar. Suka cita yang seakan memenuhi dadanya. Tak sadar, Windy jadi senyum-senyum sendiri. Bagas yang memergoki hal itu memilih untuk diam saja. Dia sengaja memberi waktu bagi Gadis itu, yang sepertinya tengah larut dalam pemikirannya sendiri. “Kita mau berapa lama, di sana nanti?” tanya Windy kemudian. “Terserah kamu, Windy. Aku hanya harus kembali nanti sore kemari. Ada sedikit urusan yang harus aku selesaikan di sini,” kata Bagas. Windy menelan rasa kecewanya. Nanti sore kan malam Minggu. Kamu nggak mau sekalian ajak kamu makan malam atau sekadar nonton film? Atau.., sekadar menghabiskan waktu berdua di toko bungamu? Aku nggak masalah, kok, walau kit anggak kemana-mana. Asalkan sama kamu, aku senang-senang saja. Aku juga sudah telanjur bilang ke Orang rumah bahwa aku akan pergi seharian dan baru akan kembali ke rumah malam nanti. Ya pikirku kan tadinya, kita bakal ke Puncak, kata Windy dalam hati. Untungnya, kemudian akal sehatnya bicara. Hati Windy bagai berbisik ke Pemiliknya, “Tuh! Dia ada urusan untuk diselesaikan di sini nanti sore. Namanya juga pebisnis, pasti banyak urusannya, dan bisa jadi nggak mengenal waktu. Beda sama dirimua yang bekerja sama Orang lain, ada waktu kerja dan waktu libur yang jelas. Kemungkinan besar, itu juga salah satu alasan mengapa dia batal mengajakmu mengunjungi kebun bunganya yang berada di Puncak. Dia pasti nggak mau terburu-buru di perjalanan. Dia nggak mau melewatkan waktu denganmu tapi kondisinya kurang oke. Paham kan sekarang?” Dan bisikan hatinya itu ampuh membuat Windy terhibur sepenuhnya. Menurutnya, itu alasan yang sangat masuk akal dan dapat diterima. “Ooh..., ya sudah deh. Kalau kita berangkat sekarang, bagaimana?” usul Windy, yang pantang membiarkan waktu kebersamaannya dengan Bagas menjadi tersita secara percuma. “Boleh. Kamu sudah sempat sarapan belum?” tanya Bagas. Dengan malu-malu, Windy menggeleng. Tentu saja ia tak perlu membocorkan apa penyebab dirinya tak sempat sarapan. Ya, lantaran saking gembira untuk menyongsong hari ini, tadi malam dia sampai tidak bisa tidur. Tidak bisa tidur yang mengakibatkan dirinya baru terlelap menjelang pukul tiga pagi dan akhirnya, harus bangun kesiangan pagi ini, dan menyebabkan dirinya terburu-buru mempersiapkan diri. Bagas tersenyum kecil. “Oh, kalau begitu perkiraanku nggak sepenuhnya keliru. Sekali lagi, karena aku belum tahu makanan kesukaanmu, aku tadi hanya membeli donat kentang sama kopi. Kamu bisa makan selama perjalanan. Tenang saja, donatnya itu rendah kalori, kok. Nah, sebentar, aku panaskan mobil dulu sebelum mengambil donatnya. Tadi sempat terpikir sama aku untuk menikmatinya di ruangan kerjaku. Tapi karena kamu sudah ingin berangkat, ya sudah nggak apa-apa,” urai Bagas. Hampir saja Windy menyesali keputusan yang baru saja ia buat. Dipikirnya, tahu begitu dia sarapan pagi berdua dulu di ruangan kerja Bagas, kalau perlu pakai adegan suap-suapan biar memunculkan susana romantis. Tapi toh, dia tak mungkin untuk meralat lagi ucapannya. Itu kelihatan banget aku bucin. Jangan deh. Sebaiknya aku nikmati saja setiap momennya. Pelan saja, ngak usah buru-buru. Jangan terlalu memperlihatkan kalau aku sangat menyukainya dan sebetulnya sedang menunggu ungkapan pernyataan cinta dari dia. Ini akan menurunkan value yang aku miliki. Kesannya aku ini nggak laku banget, pikir Windy akhirnya. Bagas memencet remote lalu membuka pintu mobilnya. Ia segera menyalakan mesinnya. “Sebentar, aku ke dalam dulu untuk mengambil jatah sarapan kita. Kamu masu duduk dulu? AC-nya belum terlalu dingin tapi,” kata Bagas sambil membukakan pintu mobil untuk Windy. “Nggak apa. Kamu nggak lama, kan?” Windy melemparkan kalimat retorik. Ia memutuskan untuk segera naik ke mobil. Dipikirnya, jangka waktu menunggu Bagas kembali cukup untuk meredakan debar-debar di dadanya. Selalu saja begini. Masih deg-degan kalau ada di dekat dia. Dianya gimana sih? Apa hanya aku? Dan ini..., dipikir-pikir ini pertama kalinya aku akan berada satu mobil sama dia. Iya, yang kapan hari kan saat dinner di cafe yang nggak jauh dari sini, aku sengaja menantangnya berjalan kaki. Sebab memang nggak sampai tiga menit juga sudah sampai. Dan aku pikir, waktu dia dia bakal memanfaatkan kesempatan untuk menggandeng tanganku. Ternyata enggak tuh. Bagus ini Cowok. Enggak celamitan. Tangannya cukup tertib, nggak rajin menjamah. Tapi sikapnya sendiri baik. Tahu menghargai Orang lain. Bahagia banget yang menjadi Istrinya kelak, pikir Windy. “Nggak. Tunggu dulu ya,” sahut Bagas. “Oke,” sahut Windy singkat. Bagas langsung berlari memasuki tokonya. Tak lama setelah itu, ia telah kembali dengan satu tas karton berisi ‘bekal’ makanan mereka. Windy yang tengah menatapi buket bunga yang tadi diterimanya, tersenyum menyambut kedatangan Bagas. Cowok itu duduk di belakang kemudi dan langsung menyerahkan tas karton di tangannya. Katanya, “Win, kamu makan dulu nih. Jangan sampai kamu sakit maag. Itu ada kopi, ada green tea. Kamu pilih yang kamu suka saja. Aku sisanya.” Seperti tak ingin membuang waktu, Bagas segera melajukan kendaraannya, meninggalkan pelataran parkir tokonya, meluncur di jalan raya.  Windy tersenyum. “Terima kasih sudah repot-repot beliin ini segala. Oke, aku sarapan dulu. Aku sambil suapin kamu deh,” kata Windy spontan. “Hah?” spontan Bagas menyahut sambil menoleh. Lelaki itu tampak tercengang. Sebaliknya, Windy yang tak menyangka reaksi Bagas bakal seperti itu menjadi tergeragap. Diomelinya dirinya sendiri di dalam diamnya. Astaga! Windy! Itu barusan, kesannya kamu tuh sedang mengoda dia. Kesannya kamu tuh Cewek agresif! Bisik hati Windy, yang lantas teringat, selama sekian kali pertemuan mereka, meski Bagas sudah ‘membuka diri’, rasanya belum pernah Bagas terang-terangan menggoda dirinya. Mau tak mau, Windy agak khawatir Bagas salah menilai dirinya dan menganggap dirinya bersikap selayaknya Gadis gampangan yang gemar menyodor-nyodorkan diri kepada kaum Pria. Buru-buru ia memutar otak dan mencari alasan yang dirasanya paling tepat. “Eng..., itu..., maksudku..., kan kamu lagi nyetir. Nggak ada salahnya aku suapi supaya bisa lebih konsentrasi nyetirnya. Ya kan?” elak Windy cepat, demi menyelamatkan harga diri yang dijaganya. Bagas mengangguk-angguk. “Oooo..., oke, oke kalau begitu,” timpal Bagas pula. “Wah..., kamu baik banget ya. Perhatian banget,” tambahnya. Windy tersipu. Hatinya tergelitik. Ya ampun, Bagas! Ya jelas baik dan perhatian, lah, namanya juga ke Gebetan. Lha kamu sendiri kan juga baik dan perhatian, sama aku. Kamu kasih aku tanaman hias, kamu banyak berbagi wawasan tentang hal-hal menyangkut tanaman dan bunga. Terus, kamu nggak nyadar? Kamu juga beliin aku sarapan pagi, kan? Mustinya ini bisa menjadi sedikit momen romantis. Kamu tuh ah! Masa sih aku harus mengajarimu untuk jadi sedikit romantis dan membuai Cewek dengan rangkaian kata yang manis? Duh, Bagas! Apa jangan-jangan kamu itu sudah kelamaan nggak macarin Cewek, jadi rada kaku begini, keluh Windy dalam hati. *                                                                                                                                $ $ Lucy Liestiyo $ $
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN