Episode : Reaksi Kurang Bersahabat Dari Sang Sahabat (4)
Tak urung, Windy tersenyum getir jadinya.
Dan gara-gara terkenang dirinya pada Sosok Derry bersama sekelumit kenangan pahitnya diselingkuhi oleh Cowok tersebut, sebersit rasa tak nyaman dan rendah diri menyergapnya, menjajah pikirannya begitu saja.
Otomatis Gadis yang sebetuknya cukup berhasil dalam karirnya di usia yang masih tergolong muda itu jadi teringat dengan sederetan kisah cintanya yang membuat dirinya masuk dalam kategori ‘kurang beruntung’ dalam hal asmara. Situasi yang dipikirnya mirip dengan yang dialami oleh Bagas. Ya, Bagas yang belakangan ini kerap menyita pikirannya.
Seketika Windy pun teringat, sewaktu Yeslin mengatakan agar dirinya jangan terlalu cepat untuk menyerahkan hati pada Krismantoro, Si Event Organizer yang satu dua kali mengurus gelaran di kantornya. Sekilas apa yang dikatakan Yeslin tampak bagaikan sebuah pesan yang biasa saja. Pesan yang selewatan, pesan standard Seorang Sahabat, yang sifatnya sekadar mengingatkan supaya dirinya tidak begitu cepat terlarut dalam lautan emosi.
Eeeh..., siapa nyana, ternyata ada benarnya juga. Makin kecut hati Windy jika teringat akan hal itu dan merenungkannya dalam diam begini.
Kala itu, Windy telah salah mengartikan sikap baik dan sok perhatian dari Krismantoro atas dirinya. Jadi rupanya, Krismantoro itu sebenarnya hanya ingin berteman dengan dirinya, barangkali sekaligus mencari selingan sembari tebar-tebar pesona, selagi hubungan percintaannya dengan Sang Tunangan memburuk. Buktinya, di dalam perkembangannya setelahnya, tatkala Sang Tunangan memilih bersikap melunak kepadanya dan hubungan mereka menemukan jalannya kembali lalu akhirnya membaik, Sang Event Organizer langsung melupakan Windy dan secepatnya kembali ke pelukan Sang Tunangan. Ia bersikap seperti tidak pernah memberikan harapan palsu melalui sikap baik dan selaksa perhatian kecilnya kepada Windy.
Windy menggigit pipi bagian dalamnya.
Aku mana tahu, kalau si Krismantoro itu punya Tunangan, coba? Kutu kupret memang dia itu! dumal Windy dalam hati.
Ya, apalagi kisah cintanya dengan Frangky Geraldi ataupun Narendra Rahadi. Ah, kalau yang itu sih, dua kisah cinta paling buruk yang ingin ia hapus secara permanen dari ingatannya. Pasalnya, ternyata sejak awal menjalin hubungan dengan Windy, mereka berdua itu sudah menduakannya. Kurang ajar sekali, kan?
Mengenang kembali perjalanan cintanya yang selalu pahit, Windy jadi berpikir, apakah dia dan Bagas memang digariskan untuk bersama?
Bisa jadi, dong? Kan, kami berdua ini sama-sama kurang beruntung, dalam percintaan masing-masing? Siapa tahu, kan? Konon, Orang yang pernah tersakiti, mustinya akan menjaga baik-baik perasaannya maupun perasaan Orang lain. Boleh dong, aku berharap begitu? Itu lho, seperti penggalan lyric lagu lawas itu..., batin Windy lagi.
Maka pengalan lyric dari lagu lawasnya Indecent Obssesion yang berjudul Fixing a Broken Heart bagai tengah diperdengarkan di telinga Windy.
You really know where to start Fixing a broken heart..
You really know what to do
Your emotional tools Can cure any fool
Whose dreams have fallen apart
Fixing a broken heart
...
“Terus, dia nawarin elo buat main ke kebun punyanya dia? Begitu, Nek?” korek Yeslin tiba-tiba, membuyarkan lamunan Windy, yang sedang tanggung-tanggungnya. Menabur harap buat dirinya sendiri, dan di saat bersamaan mencoba melupakan semua kenangan pahit serta ‘nasib’ sialnya di dalam percintaan.
“Apa Nek?” tanya Windy, yang tidak mendengar jelas pertanyaan Yeslin.
Yeslin menggoyang-goyangkan telepak tangannya di depan wajah Windy.
“Ya elah, sempat-sempatnya ngelamun, dia. Ngelamunin si Bagas – Bagas itu? Waduh! Kalau ngelihat dari tampang elo yang mulai terlihat m***m mcam ini, jangan-jangan barusan elo ngelamun jorok, ya? Ck! Ck! Ck!” goda Yeslin tanpa tedeng aling-aling. Dan demi menambah kesan dramatis, dia menepuk jidatnya pula.
“Sialan! Sembarangan banget itu mulut. Gue sumpal pakai sambal terasi satu cobek baru tahu rasa lo!” semprot Windy jengkel.
Yeslin terkikik.
“Ya makanya! Dengar dong pertanyaan gue. Elo diajak ke kebunnya dia?” ulang Yeslin usai tawa cekikikannya mereda.
Dengan malu-malu, Windy mengangguk sebagai jawaban pertanyaan Yeslin.
Yeslin tersenyum simpul, memergoki pipi Windy yang tampak merona.
“Hati-hati aja ya Nek,” pesan Yeslin serius.
Windy menahan napas mendengarnya.
Dia agak terusik, mendapati adanya aroma peringatan untuk waspada, dalam pesan yang diucapkan Sang Sahabat. Biasalah, naluri seorang wartawan.
Kalau untuk hal lainnya sih, Windy setuju-setuju saja. Sebab, firasat Yeslin itu kerap terbukti kebenarannya. Tetapi khusus yang menyangkut tentang diri Bagas, entah mengapa, itu langsung sedikit membuat dirinya sebal. Dia yakin, kali ini Yeslin mengada-ada. Makanya, dia merasa perlu untuk meluruskan.
Pun begitu, rasa cemas itu toh menyapanya juga. Membuat nyalinya ciut.
Apa ini? Kok perasaan gue jadi bimbang? Ah, nggak! Gue nggak mau firasat elo tentang Bagas benar, Nek! Sangkal Windy dalam hatinya yang mulai digoda rasa resah.
Rupanya, diamnya Windy juga menjadi perhatian Yeslin.
“Nah, sudah mulai bimbang, kan? Mulai mikir pakai logika, dia, buat mengimbangi perasaannya,” kata Yeslin datar.
Windy mengangkat bahu, memasang ekspresi tidak peduli di wajahnya.
“Enggak gitu juga. Enggak bimbang kok,” sangkal Windy.
“Oh, ya?” olok Yeslin lagi.
Windy mengiakan.
“He eh. Kan, gue udah bilang bahwa dia baik. Dan berkat dia juga, gue menang pas ada perlombaan di kantor kapan hari. Terus nih, satu hal lagi, Nnyokap gue jadi demen sekarang, kalau gue ikut-ikutan tanya ini bunga apa, itu bunga apa, di kebun samping rumah gue. Nyokap gue kegirangan, pas gue beliin tanaman hias dari tokonya Bagas. Eeeh..., nggak beli sih, sebetulnya. Bagas ngasih gratis ke gue, dua macam tanaman bunga sama pupuknya. Dia juga kasih tahu cara perawatannya. Jelas dong sampai di sini? Tuh, artinya, Bagas itu ngasih efek bagus deh, ke gue,” urai Windy panjang lebar.
Untuk kedua kalinya, pipi Windy merona lagi saat menguraikan hal ini. Kali ini bahkan lebih nyata, ketimbang tadi. Seolah semua darah di tubuhnya mengalir ke atas, berkumpul di seputaran wajah dan lehernya saja.
Yeslin mengamati secara cermat ekspresi wajah Sahabatnya itu. Dia tersenyum simpul lagi. Windy pun jadi semakin grogi dibuatnya.
Sikap Windy jadi macam remaja menjelang usia lima belasan yang terpergok sedang menatap diam-diam ke paras Sang Kakak Pembina Pramuka, yang sudah sekian lama di-gebetnya, mengkhayalkan dirinya tengah berkencan super romantis lewat candle light dinner dengan Sang Kakak Pembina Pramuka tersebut, tahu-tahu tangannya ditepuk oleh Teman sebangkunya dan dia tergeragap sembari mengucap, “Kak Donny. Kak Donny-ku.” Jenis latah yang cukup aneh. Tapi setidaknya, tidak jorok.
“Beneran nih, ada yang lagi jatuh cinta. Hm ini sih menjurus bucin, malah. Ya sudah, tetap hati-hati. Cek dulu, itu Cowok beneran single atau nggak. Gue nggak mau dengar ya, elo jalan sama Cowok, terus di kemudian hari elo dilabrak sama Istri, Tunangan, Pacar, atau Teman dekat itu Cowok. Dan gue enggak mau elo jadi patah hati campur malu!” tegas yeslin.
“Tenang, soal itu aman. Gue sudah tanya langsung ke Bagas. Gue juga cukup memperhatikan pembawaannya selam beberapa kali ketemu. Kesimpulan gue adalah, dia itu masuk dalam kategori Jomblo akut, kok,” kata Windy sambil mengacungkan ibu jarinya.
Yeslin manggut-manggut.
“Eh Nek! Ngomong-ngomong, di mana tuh, kebunnya dia?” tanya Yeslin setelahnya.
“Dia bilangnya sih ada i pinggiran Jakarta, Nek. Rencananya, minggu ini gue mau diajak ke sana sama dia. Kepengennya gue sih, lihat kebunnya yang di Puncak juga. Tapi nggak tahu kenapa, gue agak ragu, gitu,” sahut Windy.
Yeslin mengangkat sebelah alisnya.
“Ya memang elo harus ragu, kalau sampai diajak ke Puncak berdua sama dia. Elo nggak takut, kalau elo kenapa-kenapa?” sentak Yeslin tiba-tiba.
Bibir Windy langsung manyun mendengarnya.
“Iiih, elo ya Nek! Apa sih! Elo negative thinking banget, deh. Satu, dia nggak kelihatan seperti Cowok m***m, kok. Masa iya dia bakal macam-macam ke gue, di Puncak? Orang, selama ini aja, kita tuh sekadar ngobrol. Dia sopan banget. Suweeer! Enggak ada kesan bahwa dia Cowok yang model sengaja cari-cari kesempatan buat menggandeng tangan gue, megang tangan gue, atau segala urusan yang berkaitan sama perkara sentuh menyentuh. Intinya, dia baik. Dua, dari pihak gue sendiri, masa sih, gue senekat itu? Elo tahu gue, kan? Mana berani gue?” rajuk Windy, meminta pengertian dan dukungan Yeslin.
Yeslin mengangguk-angguk kali ini.
“Hm! Bagoooos! Pertahankan kewarasan elo ya, Nek. Pokoknya, kalau elo sadar diri bahwa elo sudah mulai tergoda untuk meleng-meleng nggak jelas gara-gara kelewat baper, cepetan bilang ke gue, biar gue ketok kepala elo pakai tripod sekalian. Biar elo masih sempat sadar, oke?” kata Yeslin.
“Sialan lo Nek! Huh, seakan-akan, gue ini Cewek yang lagi dimabuk cinta aja, elo pakai ngomong begitu!” ucap Windy dengan nada protes yang kental.
Yeslin langsung menanggapi dengan cara mengerutkan keningnya.
“Lho, memangnya enggak? Bucin gitu,” cemooh Yeslin.
Lantas, ia sengaja mengangkat-angkat kedua alisnya beberapa kali.
Windy menampar dengan gemas, lengan Sang Sahabat. Sampai dua kali, pula!
“Aduh!” teriak Yeslin.
“Sukur!” kata Windy dan meleletkan lidahnya.
“Gila, ini pedes banget, tahu! Lebih pedes dari sambal Mbok Jumi, dan juga sentilan elo di paha gue tadi!” protes Yeslin.
Lalu ia sibuk meniupi bekas tamparan Windy di lengannya, seakan-akan dapat meringankan rasa pedas yang ditinggalkan oleh Windy di kulitnya.
“Rasain!” sahut Windy sembari tersenyum puas.
Seakan tanpa beban. Walau nyatanya, ada kegamangan besar yang menyelip ke dalam benak Wanita karir satu ini. Pembicaraannya dengan Yeslin kali ini memang bagaikan meninggalkan sebuah Pekerjaan Rumah yang harus dipikirkannya secara khusus. Benar bahwa pada akhirnya Yeslin tidak ‘melarangnya’ untuk pergi ke kebun milik Bagas. Tetapi faktanya, toh dia juga tidak mendapatkan semacam dukungan.
Mau tak mau, ini menjadi sebuah ganjalan bagi Windy. Ia menangkap, ada sesuatu yang dirasakan atau dicurigai oleh Yeslin, tetapi karena masih terlampau awal dan akan berakibat seperti mengharap dan mendoakan sesuatu kemungkinan yang buruk ke depannya, maka Yeslin tak sampai hati untuk mengucapkannya.
Rasanya seperti ada sesuatu hal yang tengah dirasakan oleh Yeslin, tapi dia nggak mau mengungkapkannya buat saat ini. Enggak jelas, apakah dia malas berdebat sama gue atau bagaimana. Sementara gue sendiri juga nggak mau dengar elo dapat firasat ini itu tentang bagas. Jangan Nek! Mending memang kita sudahi ngomongin soal dia sampai di situ dulu. Jujur, gue takut banget. Gue enggak mau kisah cinta gue akan sepahit yang dulu-dulu. Dengan Bagas? Enggak! Gue enggak rela, benar-benar nggak rela! Jerit hati Windy.
Rasa galau yang hebat menyergapnya. Menghadirkan sebuah dilema.
Di satu sisi, dia ingin hubungan ini berhasil. . Dan layaknya Seseorang yang tengah jatuh cinta, tentu saja dia juga butuh pendapat Yeslin, Sang Sahabat Tetapi di sisi lain, dengan sadar dia harus mengakui, dia tak mau terluka. Dan dia amat takut kalau harus menangkap bias rasa khawatir yang terkirim dari cara Yeslin menanggapi ceritanya tentang Bagas.
*
$ $ Lucy Liestiyo $ $