CERMIS 2 : KEBUN BUNGA SANG FLORIST (12)

1501 Kata
Episode  : Aura Romantis Yang Dirasa Kurang Sempurna (3)   Ternyata tidak berlebihan apa yang dikatakan oleh Bagas sebelum mereka bertolak dari toko bunganya tadi pagi. Sesampainya di kebun milik Bagas, semua yang terhampar di depannya langsung merebut perhatian Windy. Bermula dari sambutan Para Pegawai yang tampak begitu menghormati Bagas, sampai memperlihatkan gestur sedikit membungkukkan badan dan tidak banyak bicara, sampai bangunan rumah yang bergaya arsitektur kuno di depannya. Entah mengapa, Windy agak merinding, ketika membayangkan kalau harus berada di dalam rumah itu hingga hari gelap nanti. Diam-diam dia bersyukur karena Bagas mempunyai urusan sore nanti. Itu artinya, mereka takkan mungkin berada di dalam rumah ini hingga hari menjelang sore. “Ini rumah peninggalan Mendiang Ibuku. Dulu kami sempat lama tinggal di sini. Bahkan ketika sakit keras pun, Mendiang Ibuku berkeras untuk tinggal di sini,” jelas Bagas tanpa diminta. Windy tidak berkomentar, hanya sanggup mengangguk-angguk saja. Mulutnya juga bagai terkunci rapat ketika menatapi dua buah lukisan yng ditengarainya adalah Ibunda dari Bagas. Bagas mengajaknya berkeliling rumah sebentar, lalu berkata, “Sekarang, yang tinggal di sini adalah Para Pegawai. Mereka yang merawat rumah ini.” Dan Windy terheran. Pertanyaannya, “Oh, ya, sebetulnya kamu tinggal di mana? Maksudku, rumahmu di mana? Aneh sekali kok aku bisa nggak menanyakan tentang ini meski bentuk percakapan kita sudah lumayan banyak membuka tentang kehidupan pribadi kita,” seketika tertelan kembali, sebelum sempat ia ucapkan. Dia tidak tahu jelas apa penyebabnya. Dia merasa seperti ada yang membungkam mulutnya untuk tidak menyuarakan hal itu. Usai melihat-lihat isi rumah, Bagas langsung mengajak Windy menuju ke kebun yang dimaksudnya. Kebun itu sendiri terletak sejauh lima meter dari pintu belakang rumah. Windy terpana mendapati betapa luasnya area kebun tersebut. Sekali lagi, istilah ‘area yang mengantung’ terlintas di benak Windy. Dia langsung merasa bingung, harus menelusuri yang sebelah mana dulu saking luasnya hamparan kebun di depan matanya. Ia hanya sanggup bertanya-tanya dalam hati, butuh berapa banyak Orang Pegawai untuk mengurus semuanya ini, dan alangkah hebatnya Mendiang Ibunya Bagas, karena dapat membrikan warisan yang sangat berharga ini. Windy bahkan sampai terlupa sepenuhnya akan niatnya untuk mengabadikan apa yang dilihatnya, dan sekaligus bernarsis ria dengan berbagai latar belakang yang semestinya menarik. Dan dia tidak tahu pasti alasannya. Seperti terjadi begitu saja, di luar kendalinya. Lantaran Windy terlihat begitu antusias, Bagas tidak menunda barang sedikitpun untuk mengajak Gadis itu berkeliling kebun tersebut. “Nah, yang ini batas dari kebun yang lama. Tadinya hanya segini saja. Yang sebelah sana, itu perluasan. Belum terlalu lama membelinya, dari Penduduk sekitar sini,” kata Bagas lagi. “Oh, ya, ya,” itu saja yang dapat terucapkan oleh Windy. Awalnya Windy agak risih kala membalas tatapan Para Pegawai Bagas yang seperti mencuri-curi pandang ke arahnya saat mereka mengangguk dengan sedikit menundukkan wajah kepadanya. Di mata Windy, tatapan mereka tampak bagaikan tatapan layaknya Seseorang tengah menyelidik. Seolah-olah merka mereka ingin tahu, Siapa gerangan Gadis yang tengah bersama Sang Bos Sebab jika mereka menilik dari bahasa tubuh Bagas maupun Windy, tidak tersirat kesan sedikitpun bahwa keduanya adalah mitra bisnis. Apalagi dari percakapan mereka. Windy sedikit terganggu karenanya. Tatap mereka seolah tatap bertanya. Tetapi lama-kelamaan, Windy memilih mengabaikannya. Ia berusaha menghibur diri dan membujuk hatinya, meyakini bahwa itu adalah reaksi yang wajar dari Para Pegawai. Aku saja yang terlalu sensitif, kelihatannya. Bukannya mereka yang curigaan atau mau tahu saja urusan Orang lain, bisik hati Windy, berusaha mengundang ketenangan untuknya sendiri. Hasilnya lumayan. Lama-lama ia dapat membiasakan diri. Apalagi tatkala Bagas mengajaknya memasuki salah satu rumah kaca. Tidak henti-hentinya dia menatap kagum akan rapinya penataan di dalamnya. Ia juga senang, karena selama berada di rumah kaca, bukan hanya Bagas yang menerangkan mengenai tanaman yang ia pegang, ia sentuh atau sekadar ia tunjuk, namun ada satu Pegawai bernama Pak Dudung, yang dengan ramah menjawab pertanyaannya.   Rumah kaca yang pertama dimasukinya itu cukup besar, sehingga banyak tanaman yang ada di dalamnya. Windy terkesan dengan warna dedaunan yang tampak lebih hijau dibandingkan dengan yang ada di luar rumah kaca. “Wuaaah! Aku nggak kebayang kalau Mamaku ada di sini. Pasti Mamaku akan betah sekali,” celetuk Windy. “Mamanya Non suka sama tanaman ya?” tanya Pak Dudung. “Iya, Pak. Suka sekali. Bahkan kelihatannya lebih sayang sama tanaman ketimbang ke Anaknya sendiri,” gurau Windy. “Ah. Si Non bisa saja,” timpal Pak Dudung. Windy tertawa dan menyenggol lengan Bagas. Bagas mendekatkan tubuhnya ke arah Windy. Jadilah lengan mereka saling bergesekan. Windy bagai tersetrum karenanya, walau lengan mereka masing-masing jelas terbalut t-shirt lengan panjang. Ya, sejauh ini, dia masih menempatkan Bagas sebagai ‘Cowok Paling Sopan’ dari semua Cowok yang pernah mendekatinya. Windy sampai menghitung-hitung dalam diam, selama beberapa kali mereka bertemu, sudah berapa kali mereka berdua saling bersentuhan secara fisik. Dan diam-diam, Windy merasa tersanjung. Dia ini benar-benar type Cowok yang menghargai Cewek. Nggak ada satu saja dari Para Mantanku yang bisa tahan selama ini, menjaga sikap baiknya. Seingatku, di kencan pertama saja mereka sudah sengaja menggandeng tanganku, menggenggam tanganku, merengkuh bahuku. Bahkan si Derry b******k itu sudah berusaha mencari-cari kesempatan untuk mencium bibirku. Memang kurang ajar, dia itu! Wah, kalau begini, aku malah merasa semakin ingin untuk memiliki hatinya Bagas. Rasanya nyaman sekali berada di sisinya begini. Nggak ada perasaan takut bakal dilecehkan. Ah, nggak lah! Dia malah bakalan menjagaku sungguh-sungguh, menjaga kehormatanku. So, kalaupun kamu ke Puncak, aku sih fine-fine saja, pikir Windy sembari mengerling pada Bagas. “Ada apa Win?” tanya Bagas. “Boleh nggak, kalau suatu saat..., ya aku nggak tahu kapan sih..., aku mengajak Mamaku juga untuk kemari?” tanya Windy pelan. “Eng..,” Bagas tampak berpikir keras. Pak Dudung yang mendengarnya, langsung memberikan isyarat kepada Windy dan Bagas, bahwa ia harus segera melanjutkan pekerjaannya. Ya, pekerjaan yang sempat tertunda karena menjawab pertanyaan-pertanyaan dari Windy. Tindakannya menjauh dan segera menyibukkan diri dengan tanaman di depannya sungguh menyerupai Seseorang yang tak mau mencuri dengar percakapan pribadi Sang Bos. Windy dan Bagas langsung menanggukinya secara serempak. Melihat kening Bagas yang sedikit berkerut, Windy langsung menepuk lengan Bagas. “Ih! Kamu kalau lagi mikir itu rada gimanaaa..., gitu! Sudah, nggak usah terlalu dipikirin. Soalnya aku..., hm..., aku juga nggak yakin kok, mau ajak Mamaku kemari. Pasti bakalan banyak pertanyaan nanti. Ogah ah!” kata Windy cepat. Bagai baru terbebas dari beban yang menghimpit, senyum Bagas terulas. “Pertanyaan apa?” tanya Bagas, merasa mendapatkan pengalihan yang sempurna. Windy menggeleng-geleng dan tertawa kecil, “Ada.. deh! Pokoknya aku belum siap buat ditanya apa pun. Tadi saja aku nggak ada bilang mau pergi sama kamu. Aku nggak mau menyebut nama. Jadi Orang rumah tahunya ya aku pergi hang out biasa sama Teman-teman. Aku..., eng..., masih belum cerita kalau aku punya..., eng..., semacam... semacam apa ya? Aku juga bingung menyebutnya. Ya..., semacam Teman yang lagi dekat sama aku, begitu.” Usai mengucapkan kalimatnya dengan terbata-bata macam itu, Windy merasa jengah. Ia jadi terheran sendiri. Dirinya yang tak jarang bicara ceplas-ceplos, dirinya yang juga gemar berekspresi, dirinya yang kadang tak ragu untuk menunjukkan sikap secara jelas kepada Lawan bicaranya, namun berkenalan dengan Bagas membuat pembawaannya berubah secara  perlahan. Berhadapan dengan Bagas, dia ingin selalu menjaga sikap serta ucapannya. Dan dia melakukan itu semua secara sangat hati-hati. Entahlah, dia sangat menjaga citranya, dan selalu berusaha untuk memunculkan versi terbaik dari dirinya. Dia sungguh tak rela kalau Seorang Bagas sampai mempunyai pandangan buruk tentang dirinya. Bagas berdeham. Ucapan Windy rupanya menyentuh hatinya. Sebagai Seorang Pria mapan yang juga sekian kali menjalin hubungan dengan Wanita dan berakhir dengan kegagagalan, dia langsung dapat membaca arah ucapan Windy. Dia menangkap secara jelas hasrat Windy untuk melangkah lebih dari sekadar ‘Teman’ bersamanya. Dan pada saat yang sama dia juga menangkap keraguan yang membayang di paras Gadis itu. Mendadak saja, Bagas mengulurkan tangannya, meraih tangan Windy. Windy agak terkaget dan sontak mengerling sesaat, mencari-cari keberadaan Pak Dudung. Aneh benar, dia merasa agak malu jika ada Pegawai Bagas memergoki Bagas menggenggam tangannya macam ini. Pemikiran itu terlintas begitu saja. Pemikiran untuk terus menjaga citranya sebagai ‘Cewek baik-baik.’ “Hei..., enggak apa-apa. Itu tindakan yang tepat. Memang sebaiknya seperti itu. Kenapa kita harus gembar-gemborkan mengenai hubungan kita, padahal kita saja baru memulainya?” ucap Bagas pelan. Windy tercengang. Ia merasa perlu memberikan waktu kepada dirinya sendiri, untuk sekadar  menguji apa yang didengarnya barusan dari mulut Bagas. Memulai hubungan? Jadi maksudnya, kamu lagi nembak aku nih? Atau bagaimana? Coba, diperjelas dong. Aku nggak mau kegeeran nih. Aku nggak mau nebak-nebak doang terus ujungnya malahan kecewa karena salah menerjemahkan sikap baik dan perhatian kamu. Sudah pernah ada contohnya dulu. Dan aku ini type Cewek yang masih merasa perlu mendengar secara verbal, pernyataan cinta dari Seseorang. Itu penting banget buat aku. Tapi di atas semua itu, kamu itu membuat hati aku bukan sekadar jatuh, tapi juga jungkir balik berkali-kali. Habisnya, kamu beda banget sama Para Mantanku, kata Windy dalam hati. “Windy,” panggil Bagas lembut. “Iya?” sahut Windy pelan. Dia sibuk meredakan debar-debar di dadanya. Dipikirnya, sebentar lagi dia bakal mendengar ungkapan perasaan Bagas. Ungkapan yang amat ditunggu-tunggunya.   $ $ Lucy Liestiyo $ $
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN