CERMIS 2 : KEBUN BUNGA SANG FLORIST (13)

1502 Kata
Episode  : Aura Romantis Yang Dirasa Kurang Sempurna (4)   Meski nggak seromantis yang aku harapkan, ya sudahlah. Mendengar pernyataan cinta di rumah kaca begini kan nggak mainstream juga, dong? Itu bisa menjadi kenangan yang indah buatku. Bolehlah, hibur Windy pada dirinya sendiri, tanpa bersuara. “Win, kita jalani pelan-pelan saja, ya. Kita berdua memanfaatkan waktu yang ada, buat saling mengenal lebih baik dulu. Nggak apa, kan?” tanya Bagas kemudian. Hati Windy langsung menghangat dibuatnya. Ingin benar dia menjawab, “Boleh, boleh banget dong, Bagas. Aku mau kok!” Untung saja, rasa gengsinya membersit, mengingatkan dirinya untuk tidak asal mengeluarkan celetukan. Windy segera berlagak tenang dan mengibaskan tangannya. Walau sejatinya, ia tengah meredakan debar-debar di hatinya. “Santai saja, Bagas. Memangnya kita ini Angkot yang dikejar setoran, apa? Bukan dong!” ucap Windy yang berusaha menampilkan mimik muka lucu, seakan-akan dirinya tidak sedang berjuang untuk menyembunyikan luapan rasa girang serta harapan yang membuncah demikian bebas  di hatinya. “Kamu lucu deh Win,” ucap Bagas pelan. Lantas Bagas tersenyum dan menepuk-nepuk punggung tangan Windy yang berada dalam genggamannya. Pelan lagi lembut. Bagaikan tengah mengirimkan rasa hatinya ke dalam hati Gadis itu, melalui sentuhan tangan yang Ia lakukan. “Kamu tuh Orangnya pengertian banget deh Win. Senang aku mendengarnya,” ucap Bagas, membuat hati Windy bergetar hebat. Windy curiga, kalau Bagas terus saja memujinya dengan cara menyebutkan hal-hal positif lain tentang dirinya, bisa jadi hatinya bukan sekadar meleleh. Bisa jadi ia bakal menggelosor dan berubah menjadi genangan air di dasar rumah kaca itu! “Cowok yang nantinya bakal menjadi Pendamping hidupnya kamu, pasti Cowok yang sangat beruntung, ya,” kata Bagas kemudian. Nyaris seperti sebuah gumaman yang tak sengaja diperdengarkan kepadanya. Di detik ini, Windy merasa badannya mendadak ringan. Rasanya dia sudah ingin jatuh pingsan saja, dan membayangkan Bagas akan membopong tubuhnya, seperti halnya Sang pangeran berkuda putih yang kerap diharapkannya bakal menjemput dirinya. Bukan, bukan perkara dia ‘semudah’ itu menyerahkan hati kepada kaum Adam. Masalahnya, ini Bagas! Bagas yang merebut hatinya pada perjumpaan pertama mereka! Bagas yang telah memberikan kesan pertama yang mendalam. “Ah..., kamu tuh bisa saja ngomong begitu,” tepis Windy malu-malu. “Aku ngomong yang sebenarnya, Win,” kata Bagas dengan suara yang dalam. Windy terbuai. Kali ini rasanya tubuh Windy semakin ringan saja. Windy membayangkan tubuhnya tengah melejit ke atas saking ringannya. Bisa-bisa dia menjebol atap rumah kaca. Malangnya, itu tidak berlangsung lama. Mendadak saja, Bagas berkata, “Win, kamu masih mau melihat-lihat tanaman yang di dalam sini, atau mau ke rumah kaca yang lainnya?” Bum! Rasanya gerakan melejit ke atas itu terjeda, dan segera berganti dengan gerakan sebaliknya. Gerakan meluncur turun. Untung saja, ia sempat menapakkan kedua kakinya dengan mantap. Usai sudah khayalan indah barusan. Saatnya bagi Windy untuk kembali ke realita! Yaaah... Bagas! Gimana sih? Baru juga romantis sedikit..., sudah dibuat ambyar, kata Windy dalam hati. Setengah menyesal, setengahnya lagi merasa geli. “Yuk, kita ke rumah kaca yang lain saja,” ucap Windy kemudian, setelah ia berhasil untuk menguasai rasa gugupnya. “Ayo,” sambut Bagas. Kali ini Bagas sama sekali tidak melepaskan genggaman tangannya pada Windy. Dan Windy merasa senang-senang saja. Tidak dihiraukannya kerlingan mata satu dua Orang Pegawai Bagas yang menyaksikan keakraban mereka. Windy malah merasa sedikit terganggu saat Bagas meninggalkan dirinya sebentar dan meminta waktu untuk keluar sebentar dari rumah kaca, berbincang dengan Pegawainya. Seperti tengah memberikan instruksi. “Hm. Nggak apa deh. Dia kan kemari juga untuk melihat-lihat keadaan kebunnya. Bukan buat main-main semata,” gumam Windy. Gadis itu menghibur diri dengan bertanya secara acak tentang tanaman yang ada di depannya, kepada salah satu Pegawai Bagas yang ada di dalam rumah kaca. Pegawai tersebut menjawab dengan ramah. Keindahan semua rumah kaca yang ia masuki, tanaman apa saja yang ada di dalamnya, apa manfaatnya hingga bagaimana cara merawatnya, semua itu sudah tak penting lagi untuk Windy. Begitu pula keindahan bentuk dan warna bunga yang amat beragam. Bagi Windy, setiap detik yang sekarang ia lalui dengan Bagas adalah harta yang berharga. Ia juga sudah tidak terlalu mempermasalahkan lagi Bagas yang dirasanya kurang dapat merangkai kata-kata indah yang sanggup melenakannya. Terpikir oleh Windy, untuk ‘memaklumi’ saja hal itu, dan menerima bahwa itu merupakan bagian tak terpisahkan dari seorang Bagas. Malahan sekarang, ingin benar dia menghentikan waktu. Dan andai dia bisa, dia ingin bagas terlupa kalau harus secepatnya kembali ke Jakarta karena ada ‘urusan penting yang harus diselesaikannya’. Ya, diam-diam Windy berharap urusan tersebut dapat ditunda. Harapan itu muncul kala ia mendapati bagas tengah menerima panggilan telepon di luar rumah kaca. Panggilan telepon yang tidak terlalu lama. Bagas kembali ke dalam rumah kaca dan mendekati Windy yang menyambut dengan senyuman. Windy yang siap untuk mendengar kabar bahwa mereka akan berada lebih lama di kebun ini. “Bagaimana Win? Kamu suka nggak, tempat ini?” tanya Bagas. “Suka,” sahut Windy tanpa harus berpikir. Bukan masalah tempatnya, Bagas. Yang penting dengan Siapa. Dan yang pasti, aku senang bersamamu, lanjut Windy. Tentu saja hanya di dalam hati. “Oh ya, kita makan siang di sini, ya. Aku sudah berpesan sama salah satu Pegawaiku untuk menyiapkan makanan buat kita. Hanya saja, tolong maklumi kalau kurang sesuai dengan seleramu. Aku kan memang belum terlalu banyak mengenal dirimu. Hm..., kita masih punya waktu banyak untuk itu, kan?” kata Bagas lembut. Windy tertawa kecil. “Oh, ya? Kapan kamu sempat bilangnya ke mereka?” tanya Windy. “Tadi sewaktu kamu asyik ngobrol sama Pak Dudung. Nah, sebentar lagi juga makanannya sidah disiapkan. Semoga kamu suka,” sahut Bagas ringan. “Tenang saja, aku nggak ada pantangan makan,” ucap Windy. Bagas mengacungkan ibu jarinya. “Bagus itu. Aku senang mendengarnya. Sekarang saja makannya, ya? Aku sudah lapar.” Bagas menepuk-nepuk perutnya. “Boleh,” sahut Windy. Ia menurut kala Bagas mengajaknya keluar dari rumah kaca yang terakhir ia masuki. Ia sedikit terheran kala Bagas tidak mengajaknya masuk kembali ke dalam rumah, melainkan terus memasuki area perkebunan. Ke arah lahan yang sempat ia katakan ‘dibeli dari Penduduk setempat’ itu. Untuk bertanya mengapa Bagas tidak mengajaknya masuk ke dalam rumah padahal Cowok itu mengatakan sudah lapar, dia merasa tak enak hati. Alhasil, ia memilih diam saja. Ya, Cowok satu ini memang seringkali membuat Windy bagai ‘dibungkam’ suaranya, meski tanpa harus berkata-kata atau melakukan sesuatu. Pikiran sama ucapanku seperti dikuasai sama dia. Malah kelihatan sejak perama kali kami mengobrol di tokonya. Atau..., perasaanku saja? Ah! Nggak masalah, kalaupun iya. Aku nggak keberatan sama sekali. Aku menikmati momen bersama dia kok. Dan aku yakin dia baik buatku, kata Windy dalam hati. Dan ketika pansangan matanya menangkap sebuah danau buatan, ia langsung merasa takjub. Matanya membulat seketika. “Wow! Ini danau buatan yang kamu bilang saat kita mau berangkat kemari tadi? Indah sekali! Kecil tapi indah,” komentar Windy. Dua Orang yang berpapasan dengan mereka mengangguk hormat. Windy melihat, keduanya membawa nampan berisi makanan. “Iya. Mereka yang membuatnya,” jelas Bagas, untuk menyebut Para Pegawainya. “Keren,” puji Windy tulus. Bagas tersenyum. “Terima kasih atas pujiannya. Dan kamu lihat gazebo di sebelah kanan itu?” tanya Bagas kemudian. Windy mengangguk-angguk. Pandangannya tertuju ke arah gazebo. Kesanalah dua orang Pegawai Bagas membawa makanan yang mereka bawa. Terlihat oleh Windy, mereka berdua tengah menatanya sekarang. Sebuah pertanyaan singgah di kepala Windy, bersama sebuah pemikiran yang membuat senyumnya nyaris mengembang bebas saking hatinya berbunga. “Iya, bakal asyik kalau kita duduk-duduk di sana sambil memandangi keindahan danau ini ya. Meresapi keteduhan tempat ini,” kata Windy setengah bergumam. Bagas menggosok dagunya. Gerakan yang sungguh memesona di mata Windy. “Kita akan makan siang di sana. Nggak keberatan, makan siang di luar ruangan begini? Tenang, nggak ada lalat kok. Dan debunya juga terserap sama tanaman yang ada di sekitarnya,” kata Bagas. “Oh, ya? Jadi..., makanan yang tadi dibawa sama Pegawaimu itu...,” Windy mengantung kalimatnya. Bagas mengangguk. “Iya. Itu buat makan siangnya kita. Nah, kelihatannya mereka sudah selesai mempersiapkannya. Ayo kita ke sana,” ajak Bagas. “Ayo,” sahut Windy. Makan siang berdua di gazebo, sambil menatap ke arah danau buatan. Sepertinya asyik. Bisa diselingi sama acara suap-suapan nih. Wow, you are so lucky, Windy! Batin Windy penuh harap, menyemangati dirinya sendiri. Kala Bagas menggamit lengannya dan membimbingnya masuk ke dalam gazebo, Windy merasa amat terlindungi. Di detik itu pula Windy merasa, telah siap sepenuhnya untuk menyerahkan hatinya kepada Bagas. Rasa percayanya pada Cowok ini muncul, mengatasi segala keraguan dan kebingungannya. Diam-diam hati Windy berbisik, “Ya sudah deh. Nggak apa juga sih kalau kamu nggak terlalu banyak mempunyai rangkaian kata indah buatku yang bisa melenakanku. Tadinya sih jujur saja aku kepengen, kamu cukup kreatif untuk menciptakan momen-momen yang romantis buat kita. Tapi setelah aku pikir-pikir, yang namanya romantis itu kan nggak melulu tentang kata atau suasananya. Perlakuanmu ke aku juga romantis, kan? Aku bisa terima kok, hal itu. Dan aku sangat menghargainya.”             Dia tak sadar, betapa jatuh cinta pada Seorang Bagas telah membuat dirinya menjadi kian impulsif saja. $ $  Lucy Liestiyo  $ $
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN