Episode : Pesan Penting Dari Sang Nenek Yang Terabaikan Oleh Fabian
Tapi bisa jadi ini akan merupakan satu-satunya kesempatanku untuk menyelamatkan Dik Shania dan membawanya pulang ke rumah kami. Siapa tahu ini jalannya, kan? Ya, aku terdesak. Posisiku amat sulit sekarang. Sebaiknya memang aku dengarkan dulu persyaratannya. Kalau aku mendengarkan syarat dari Sang Ratu, barangkali aku bisa memenuhinya. Tidak ada salahnya, kan? pikir Fabian setelahnya, karena merasa dirinya terpojok dan tidak mempunyai pilihan lain. Dimunculkannya sebuah harapan, digenggamnya erat-erat.
“Kamu siap untuk mendengarkan syarat dariku, Fabian?” tanya Sang Ratu. Ditahannya nada ejekan dalam kalimatnya.
Fabian menarik napas dalam-dalam, memenuhi rongga dadanya dan mengembuskannya dengan amat perlahan. Lalu ia menyahut pelan, “Silakan disebutkan persyaratannya, Ratu.”
Jantung Fabian seakan memompa darah dua kali lebih cepat dari biasanya. Ia memejamkan mata sesaat, berusaha untuk tenang.
Sementara di tempatnya, Sang Ratu tersenyum sinis tanpa sepengetahuan Fabian.
Kena kamu! Anak t***l! Pikirmu bisa mengelabui aku? Cela Sang Ratu di dalam diamnya. Rasanya kebencian dan rasa iri akibat semua keberuntungan yang dimiliki oleh Bu Endah, menemukan jalannya dengan melampiaskannya melalui Anak kandung dari Wanita itu.
“Syaratnya cukup mudah. Kamu harus berjanji untuk tinggal di kerajaanku ini untuk selamanya. Itu saja. Maka dengan cepat akan aku perintahkan kepada Para pengawalku untuk mencari Istrimu ke segenap penjuru wilayah kerajaanku ini. Bagaimana?” ungkap Sang Ratu.
Fabian tercekat. Itu jelas bukan pilihan. Ia tak mungkin dapat menyepakatinya.
“Te... tetapi..., itu tidak mungkin, Ratu!” suara Fabian tersendat-sendat.
“Saya tidak akan dapat memenuhi syarat tersebut,” kata Fabian kemudian, dengan sopan.
Sang Ratu tampak tak senang.
“Mengapa? Apa masalahnya?” tanya Sang Ratu, tampak benar sedang mengulur waktu. Dia tahu pasti, Fabian juga memiliki batas waktu yang tertentu untuk menyelamatkan Istrinya.
“Ratu..., saya mencari Istri saya, justru untuk mengajaknya pulang bersama saya. Sangat tidak mungkin bagi saya untuk tinggal di sini. Itu sama saja saya harus berpisah dengan dia,” kata Fabian.
“Oh! Itu hal kecil! Sangat mudah bagiku untuk melakukannya, semudah menjentikkan jemariku! Kalian berdua tidak perlu berpisah satu sama lain. Kalian bisa tinggal dengan nyaman, untuk selamanya di sini. Bahkan kalian berdua dapat bekerja sama untuk memimpin kerajaan ini. Pasti akan menyenangkan buat kalian. Kalian akan dilayani dengan baik. Para Pengawal, Para Dayang-dayang, semua rakyat Kerajaan ini akan menjadikan kalian berdua sebagai Junjungan yang baru..., sementara aku meletakkan jabatanku. Masa kepemimpinanku di sini sudah usai. Kalian berdualah yang akan melanjutkannya,” dengan mantap Ratu menawarkan, mengiming-imingi.
Dan jauh di lubuk hati Sang Ratu, dia berharap Fabian tergoda. Bukan lantaran apa yang ia tawarkan, melainkan karena keinginan yang begitu tinggi untuk bertemu dan bersatu dengan Sang Istri yang saat ini tengah ada dalam penahanannya.
Masalah tempatnya di mana, semestinya tak penting, kan? Aku tahu sekali dan dapat memperkirakan, betapa Fabian ini mencintai Istrinya. Oh enggak. Tepatnya mereka berdua saling mencintai. Kalau yang aku tawarkan adalah kekuasaan belaka, tentu saja nggak akan mempan, pikir Ratu.
“Maafkan saya, Ratu. Saya tidak bisa. Sungguh. Saya harus membawa kembali Istri saya dari sini,” kata Fabian.
“Oh. Kalau begitu, carilah sendiri olehmu!” sahut Sang Ratu acuh tak acuh.
“Ratu.., saya mohon. Saya tidak mungkin untuk mencarinya sendiri,” keluh Fabian.
“Aku yang mengatur di sini, bukan kamu!” ketus Sang Ratu.
Fabian mencoba menahan diri untuk tak berdebat dan tetap sopan.
Melihat Fabian terdiam, Sang Ratu mempunyai ide lain.
“Baiklah. Aku akan mengerahkan semua bala bantuan untuk menemukan Istrimu, dan akan aku peringan syaratnya,” kata Sang Ratu kemudian, tampak tidak menyerah untuk membujuk Fabian. Dan tampak mulai melunak.
Fabian harap-harap cemas.
Ia terpaksa membiarkan Sang Ratu mengungkapkan syaratnya.
“Fabian, amat mudah untuk mencari dan menemukan istrimu jika memang hilang di daerah kekuasaanku ini. Aku berjanji akan segera keberadaan mencari Istrimu. Dan untuk itu, kamu tidak perlu tinggal selamanya di sini. Kamu cukup tinggal malam ini saja. Kalau Istrimu ditemukan malam ini, menginap sajalah di sini, sebagai Tamu istimewa kami. Kalian bisa meninggalkan Kerajaanku besok pagi,” kata Sang Ratu, tampak puas.
“Maaf Rat, saya tidak bisa. Kami harus pergi malam ini juga,” sahut Fabian, bertahan pada pendiriannya.
Ucapan Fabian membuat Sang Ratu kian kesal.
Pun begitu, ia masih berusaha memperingan lagi syaratnya. Padahal ia sungguh menahan agar rasa kesalnya itu tidak terbaca oleh Fabian. Dan Fabian yang mulai tersadar bahwa itu hanyalah siasat Sang Ratu untuk mengulur waktu, pada akhirnya memutuskan untuk tidak menyahut lagi.
Ratu tampaknya mulai marah. Ia sudah memperlihatkan gelagat akan meninggalkan singgasananya dan membiarkan Fabian kebingungan.
Pada saat yang genting itu, sesuatu terjadi. Sesuatu yang di luar perkiraan Sang Ratu.
Tiba-tiba saja, seekor kambing berlari ke tengah-tengah mereka. Kambing itu dikejar oleh dua Orang Pengawal yang bersiap meringkusnya. Tetapi Kambing itu demikian lincah, entah bagaimana dia dapat meloncat-loncat bagai seekor kelinci.
Ratu terkejut dan menatap keji kepada dua Pengawalnya yang dinilainya telah lengah. Dia sudah siap untuk memberikan hukuman paling berat kepada dua Pengawal tersebut. Mereka tampak ketakutan, dan rasa takut itu justru membuat mereka kian lengah.
Yang terjadi kemudian, dengan mengerahkan kekuatan terakhirnya, Kambing itu melompat tepat ke depan Fabian.
Sang Ratu yang menyamarkan wajahnya terpaksa bertindak cepat. Dua ekor ular kobra yang ada di atas kepalanya menutupi sebagian wajahnya.
Sang Ratu yang berang karena kelalaian Pengawalnya, segera melangkah dan menyepak keras perut kambing tersebut. Dia merasa kambing itu terlalu kurang ajar dan harus diberi pelajaran supaya kapok. Ratu merasa kekuasaannya di kerajaan tersebut tidak dihormati oleh si kambing.
“Ambil itu! Bawa dia pergi bersamamu!” Teriak sang Ratu tanpa menoleh ke arah Fabian.
Fabian menahan napasnya. Ia mencoba membujuk hatinya untuk bersabar dan bertahan di dalam deraan kecemasan dirinya bakal kehabisan waktu secara percuma.
“Tidak, saya mau istri saya Ratu. Bukan kambing. Tolong kembalikan Istri saya, Ratu, saya mohon,” pinta Fabian mengiba.
Fabian menatap ke bawah. Ia melihat mata kambing tersebut menatapnya begitu dalam, seolah meminta perlindungan darinya. Entah mengapa, hati Fabian sampai tergetar menatapnya.
Detik ini pula ia segera berpikir, bahwa ini merupakan pengalih perhatian lagi.
Sisa waktuku semakin tipis. Mungkin hanya kurang beberapa menit, bahkan mungkin berapa detik lagi. Duh! Dan sialnya..., Kambing ini membuat aku justru membuat aku kehilangan konsentrasi, pikir Fabian.
Ratu terlihat bersiap pergi.
Saat itu lah, si Nenek membisiki Fabian, “Fabian, ikhlas, Cucuku. Kamu ingat pesanku, kan, kamu harus ikhlas dan menerima apa pun pemberian dari penguasa Kerajaan Gain ini. Kamu harus secepatnya pergi Cucuku, karena waktunya hampir habis. Jika kamu tidak cepat-cepat pergi, kamu sendiri akan terjebak selamanya di sini. Lekas, Cucuku.”
“Nek, tapi saya nggak mau kembali tanpa Istri saya. Saya mencintainya, Nek. Saya harus membebaskannya, apa pun resikonya. Saya nggak akan pergi sebelum menemukannya,” bantah Fabian bengal.
“Jangan membantah, bawa saja kambing itu bersamamu, Fabian! Cepat lakukan!” Itu kata-kata terakhir Sang Nenek. Setelah itu senyap. Tidak ada suara apa-apa yang tertangkap oleh indra pendengaran Fabian. Dan Fabian tak mau menyerah begitu saja. Ia masih menyuarakan kemauannya kepada Sang Nenek, berharap Sang Nenek memberikan arahan yang lebih jelas untuknya.
“Saya nggak mau, Nek. Saya mau Istri saya, bukannya seekor kambing begini,” teriak Fabian keras kepala.
Tidak ada sahutan dari Sang Nenek. Tidak ada saran, nasihat, bujukan, perintah atau bahkan sedikit petunjuk lagi buat Fabian. Entahkah disebabkan Sang Nenek sudah kehabisan kesabaran atau memang tidak ada lagi waktu yang tersisa untuk menyampaikan hal itu.
* * Lucy Liestiyo * *