Episode : Usaha Penyelamatan Yang Gagal
Tetapi ketika tatap mata Fabian mendarat pada seekor Kambing yang berada di depannya, ia terusik. Ia mendapati ternyata kambing itu juga tengah menatap kepadanya. Kambing itu menatap Fabian dengan tatapan yang segera membuat luluh hati Fabian. Fabian tersapa rasa iba.
Pemikiran yang melintas di benaknya bahawa yang satu ini juga sesuatu yang hanya berniat mengelabui pikirannya serta menghabiskan waktu yang ia miliki, terpinggirkan begitu saja.
Mendadak saja, timbul niat tulus di hati Fabian untuk ‘menyelamatkan’ Kambing tersebut.
Fabian berpikir, siapa tahu dengan membawa Kambing tersebut, dalam perjalanan pulang nanti dia akan bertemu dengan Istrinya.
Kadang-kadang memang begitu, kan? Setelah kita melakukan suatu hal yang baik, pertolongan yang kita cari-cari dan kita tunggu-tunggu, justru tiba secara ajaib, menghampiri diri kita? Tanya Fabian dalam diamnya. Secercah harapan mengiringi niat yang muncul di benaknya ini.
Fabian menundukkan wajahnya. Ia setengah membungkukkan badan.
Kemudian ia mengulurkan tangannya. Dengan penuh kasih, ia mengelus kepala si Kambing beberapa kali. Mata hewan berkaki empat itu memejam, seperti meresapi sentuhan lembut Fabian dan menikmatinya dalam diam.
Fabian tersenyum melihatnya.
Kambing ini jinak sekali kepadaku, pikir Fabian.
Tanpa dikehendakinya, sesuatu terjadi setelahnya. Semakin ia melakukan kontak fisik dengan Kambing tersebut, hatinya jadi semakin luluh. Apalagi kala ia melihat sendiri, Kambing itu menitikkan air mata. Hati Fabian langsung mencelos karenanya. Ia bertanya-tanya dalam hati, perlakuan jahat macam apakah yang telah diterima oleh Si Kambing di Kerajaan Sang Ratu, sehingga Kambing tersebut tampak begitu sedih serta menderita?
Maka Fabian langsung berjongkok, siap untuk menggendong Kambing itu.
Ibu pasti bersedia merawat Kambing ini. Bahkan kalau nanti aku temukan Dik Shania dalam perjalanan pulangku ke darat, dia juga sepertinya nggak akan keberatan untuk merawat Kambing yang tampak lemah dan tertindas ini, pikir Fabian.
Hati Fabian sudah semantap itu. Dia merasa ada frekuensi yang sama, yang menghubungkan dirinya dengan Si Kambing.
Namun pada saat yang krusial itu, mendadak terdengar suara si Ratu bergema, “Pikirmu kamu boleh membawa Kambing itu secara utuh dari Kerajaanku? Jangan mimpi! Kamu hanya boleh membawa sebagian saja. Yang berlaku di sini adalah peraturan dariku.”
Fabian tak habis pikir. Ia mengerutkan keningnya, sementara di pikirannya mencuat dua patah kata : cepat, dan pergi. Ia tak tahu pasti apa yang dimaksud oleh Sang Ratu. Bagaimana mungkin membawa ‘sebagian’ dari seekor Kambing tanpa harus menyakiti Kambing tersebut? Tidak mungkin kan, untuk mengambil hanya bulu si Kambing? Dan dirinya akan menolak keras kalau diminta atau dipaksa untuk melukai Kambing tersebut.
Fabian menatap pada Kambing di depannya.
Kini Kambing itu mengembik pelan. Bentu suara yang pertama keluar dari mulut Si Kambing. Itu saja, kelihatannya dia harus susah payah melakukannya.
Fabian merasa amat kasihan dan mengelus lagi kepalanya. Kambing itu kembali menatapnya dalam-dalam, seperti pertama kali tadi. Dan Fabian sudah semakin mantap hendak membawa kambing ini bersamanya. Tangannya terus mengelus tubuh dan kepala si Kambing. Bahkan tanpa ragu, ia juga mencium kepala si Kambing.
Sang Ratu menjadi murka. Apa yang dilihatnya ini sangat di luar perkiraannya.
Sial! Sial! Sial! Umpat Sang Ratu di dalam hatinya.
Rasa panik menguasai benak Sang Ratu. Ia berpikir keras.
“Ratu..,” mendadak terdengar suara Fabian.
Sang Ratu berusaha keras untuk menenangkan hatinya yang dilanda rasa gelisah, menyadari bahwa Fabian tanpa ragu menggendong Si Kambing. Ia menyaksikan sendiri, betapa Fabian melindungi Kambing itu dengan kedua lengannya yang kokoh. Dalam waktu singkat, timbul rasa sayang dan dorongan untuk melindungi Kambing tersebut di hati Fabian.
“Ijinkan saya untuk membawa Kambing ini. Bukankah tadi Ratu sendiri yang menyuruh saya untuk membawanya?” tanya Fabian.
Sang Ratu merasa seperti tersedak karena perkataannya justru dibalikkan kepadanya. Diam-diam dia setengah menyesali apa yang telah diucapkannya tadi. Namun untuk segera menarik perkataannya itu, ia takut wibawanya akan turun. Ia mencari akal.
Saat itulah, Fabian melanjutkan perkataannya.
“Lihat, Ratu, dia terlihat sangat nyaman saya gendong begini. Saya..., akan pulang sambil mencari keberadaan Istri saya. Jika Ratu tidak bersedia membantu saya, tidak mengapa,” mendadak Fabian berkata-kata seperti ini.
Kini Sang Ratu terkejut luar biasa. Ia tak menyangka Fabian bisa memutuskan hal macam itu dalam waktu singkat.
“Tidak boleh! Ini kerajaanku! Jangan membawa apa-apa dari sini tanpa seijinku! Ucapanku tadi itu belum lengkap! Kamu boleh membawanya, tetapi tidak dengan cara itu!” bentak Ratu. Wajahnya merah padam saking murka.
Fabian terkaget mendengar suara keras itu, demikian pula si Kambing. Reaksi Fabian adalah mendekap tubuh si Kambing dengan lebih erat. Sang Kambing memejamkan matanya, seperti menikmati dekapan Fabian. Sang Kambing seperti pasrah dan merasa terlindungi.
“Sabar ya Kambing. Tidak apa-apa. Kita akan segera pergi dari sini. Nanti di perjalanan, semoga aku juga dapat bertemu dengan Istriku. Dia akan menyayangimu juga, sama seperti aku. Hati Istriku itu sangat lembut,” bisik Fabian.
Sang Kambing mengembik panjang, seolah tahu apa yang diucapkan oleh Fabian kepadanya.
Tetapi tanpa belas kasihan, seorang Pengawal mendadak muncul dan merebut Kambing itu dari dekapan Fabian.
Tubuh Kambing itu terhempas ke dasar danau. Dan sebelum ia dapat berdiri dengan tegak, Sang Pengawal telah menebaskan pedangnya.
Tebasan pedang itu menyebabkan kaki kanan depan kambing terpotong. Darah segera mengucur deras dan kambing itu terkulai lemas.
“Kalian benar-benar keterlaluan. Kalian semua jahat! Tega-teganya kalian menyiksa dia. Dia bisa mati kehabisan darah!” maki Fabian.
Fabian begitu marah dan hampir mengamuk. Hatinya sungguh sedih, karena merasa telah gagal melindungi Kambing tersebut.
Fabian langsung menggendong Kambing yang kini pincang itu. Dengan penuh perhatian, Fabian membisikkan kata-kata penghiburan yang menegaskan bahwa Kambing itu akan baik-baik saja, dan dia akan mengobatinya setibanya di darat nanti.
“Tenang saja. Kamu akan baik-baik saja. Bapak punya kenalan dokter hewan yang bagus. Kamu akan pulih dengan cepat. Tidak ada yang perlu kamu khawatirkan. Kamu hanya perlu bertahan,” hibur Fabian dengan segenap hatinya.
Walau tampaknya keadaannya semakin melemah dari detik ke detik, kambing itu seperti mengerti semua perkatan yang diucapkan oleh Fabian. Kambing itu mengangguk meski matanya tetap terpejam.
Mendadak Ratu terlihat kembali. Ia demikian murka, hampir saja dia membalikkan badannya sehingga berhadapan dengan Fabian sebelum sempat memberikan isyarat kepada dua ekor ular kobra di atas kepalanya untuk menutupi sebagian mukanya. Untung saja, dia lekas mengurungkan niatnya. Diangkatnya sebelah tangannya ke atas, lalu mengayunkan tangan itu ke samping, seperti sebuah isyarat agar Pengawalnya bertindak.
Kali ini isyarat sang Ratu tampaknya ditangkap sempurna oleh para Pengawalnya. Salah satu Pengawal segera merenggut dengan kasar tubuh kambing dari gendongan Fabian. Sia-sia Fabian mempertahankannya, kekuatan Para Pengawal itu lebih kuat darinya.
Lalu sebagai gantinya, mereka menyerahkan potongan kaki kanan Kambing ke tangan Fabian.
Tentu saja Fabian menolak keras.
Tetapi Pengawal itu memaksanya membawa kaki kanan depan sang kambing. Pengawal Ratu mengikatkan kaki kanan kambing itu ke perut Fabian, lalu menendang Fabian dengan keras, seperti mengerahkan segenap tenaga dalam yang ia miliki.
Akibatnya sungguh fatal.
Fabian merasakan sekelilingnya berubah menjadi gelap dan pekat. Dia tak dapat melihat apa pun lagi. Yang terdengar olehnya kemudian adalah embikan kambing yang sangat lemah, dan kian jauh terbawa angin. Embikkan kambing yang seperti tangisan menyayat dan mengiris perasaan, layaknya Orang yang kehilangan dan tak rela berpisah. Lantas, embikan itu segera berganti dengan suara tawa yang nyaring serta menyeramkan dari Sang Ratu.
Ketika membuka matanya, Fabian menyadari dirinya terbaring tepat di sisi danau.
Ia berusaha mengingat-ingat apa yang telah terjadi.
Dalam keremangan senja yang hampir purna, dia melirik ikatan di perutnya dan terkaget. Tidak ada kaki kanan kambing di sana.
Yang ada di atas perutnya adalah sepenggal tangan kanan seorang Wanita. Tangan itu masih berdarah-darah.
Perasaan Fabian terguncang seketika.
Fabian melepaskan ikatan di perutnya, mendekatkannya ke matanya yang masih agak buram. Ia mengamati dengan sesama tangan kanan itu. Tangan yang sepertinya amat ia kenal. Diperhatikannya jemari yang lentik itu. Jemari yang serasa akrab dengan dirinya.
Di jari manis tangan kanan itu, ia mendapati ada sebuah cincin yang melingkar. Diperhatikannya dengan saksama. Ia terkesiap kala melepaskan cincin itu dan meraba graviran yang ada di sana. Cincin itu bertulisan namanya. Fabian ingin berteriak, apa daya suaranya bagai tertahan di tenggorokan. Air mata Fabian tumpah. Penyesalan yang hebat menderanya. Terlebih kala terkenang kembali semua perkataan Sang Nenek.
Fabian menciumi tangan kanan Shania, mendekapnya ke dadanya.
“Aku sungguh bodoh! Nenek sudah berulang kali mengatakan kepadaku agar jangan bernegosiasi. Nenek juga sudah bilang, aku harus ikhlas menerima apa saja yang diebrikan si Ratu. Andai saja tadi aku nekad dan membawa pergi saja Kambing yang ternyata adalah ujud Istriku sendiri, Dik Shania,” ratap Fabian penuh kesedihan.
Sementara di bawah sana, di Kerajaan Gaib, terdengar suara nyaring Seorang Wanita.
“Biarpun tidak seperti yang aku harapkan, akhirnya sebagain dendamku terlampiaskan. Biarpun aku tidak bisa kembali ke darat, tetapi aku sungguh menikmati bagaimana si Fabian bodoh itu akan menangis. Kalau perlu, akan kubuat dia gila dan tidak bisa jatuh cinta lagi untuk selamanya. Dengan begitu..., garis keturunan si Handara punah, buat selamanya! Ha ha ha! Sekarang rasakan, sakitnya kehilangan apa yang kalian sayangi! Itu hanya sebagian kecil dari yang aku rasakan!” kata Sang Ratu.
Para Pengawal di sekitarnya hanya diam.
Sementara Kambing yang gagal dibawa oleh Fabian, tampaknya telah pingsan.
Sang Ratu memaki, “Dasar bodoh! Aku mau menjadikanmu sebagai Ratu di sini, sebagai Penggantiku, tapi kamu malahan menolak. Ujungnya toh tetap kamu akan di sini. Hanya saja, kamu akan menjadi Hamba Sahaya. Mana ada Seorang Ratu yang tangannya buntung?”
Lalu ditatapnya Para Pengawalnya.
“Lekas seret dan obati dia pakai ramuan kita! Lalu masukkan dia ke sel khusus. Biarkan dia meratapi hari-harinya yang sepi di sini. Biarkan dia menyesali apa yang terjadi dengannya. Bahkan kalau mungkin, biarkan dirinya menyesal pernah menjalin hubungan dengan keturunan dari Mbak Endah, yang artinya adalah musuhku,” suruh Sang Ratu.
Baru membayangkan betapa akan merana dan nelangsanya hati Shania saja, Sang ratu sudah disapa rasa puas.
Dua Orang Pengawal yang terdekat dengan posisi Sang Ratu segera merespons. Mereka membungkuk serempak dan melakukan apa yang diperintahkan oleh Junjungan mereka. Mereka tidak ingin mendapat murka Sang Ratu, terlebih setelah insiden kecil tadi.
Dengan gagalnya usaha penyelamatan yang dilakukan oleh Fabian, setidaknya para Pengawal di Kerajaan berharap, itu dapat sedikit mengurangi tingkat kemurkaan dari Sang Ratu yang bakal ditujukan kepada mereka nanti.
“Sekalipun aku tidak dapat membalas dendam kesumatku secara langsung kepada Mbak Endah, setidaknya aku puas dengan apa yang barusan terjadi! Anaknya akan menderita, putus asa dan menyesal. Sementara Menantunya di sini, akan aku jadikan b***k abadi,” kata Sang Ratu lalu melangkah menuju kamarnya.
Setibanya di kamarnya, Sang Ratu segera mengempaskan badannya ke peraduan mewahnya.
Ia menatap langit-langit kamar, mengamati dengan saksama apa yang tengah terjadi di pinggiran danau.
Senyum kemenangan tak lekang dari bibir Sang Ratu.
“Merataplah sampai kamu merasa sangat ingin mati, Fabian! Kamu nggak akan pernah bertemu dengan Istrimu lagi! Kesempatan Istrimu untuk kembali ke darat amat tipis dan mendekati mustahil. Itu hanya bisa terjadi apabila Fabian menikah lagi dan mempunyai niat untuk sengaja membebaskan Istrinya ini. Istrinya yang sudah kehilangan tangan kanan ini. Dan Istri Keduanya belum tentu akan merelakannya. Dan pada saat itu, tentu saja Si Shania bodoh ini akan merasakan dirinya telah diduakan oleh Fabian. Aku merasa penderitaan si Shania bodoh ini adalah penderitaan Mbak Endah! Biarkan dia juga merasakan getaran penderitaan Shania di sini! Aku bisa mengirimkannya kepadanya, supaya dia juga merasa bersalah dan menyesal, karena tidak mendesak Suaminya itu untuk serius mencariku. Ha ha ha!” Sang Ratu terbahak-bahak.
Sementara di atas sana, permukaan danau Ariya terlihat begitu tenangnya. Tidak ada kesan mencekam. Tidak ada riak sama sekali. Seolah-olah, tidak pernah terjadi sesuatu yang menyedihkan, menyeramkan, dan bahkan akan membawa prahara yang baru dan lebih besar lagi ke kediaman serta Keluarga Pak Handara.
***
$ $ Lucy Liestiyo $ $