Episode : Jangan Pernah Bernegosiasi, Fabian! Ingat itu!
Selintas kegentaran menyapa perasaan Fabian. Fabian berupaya semaksimal mungkin untuk menepisnya. Namun rasa gentar itu sungguh tak tahu diri dan justru berusaha untuk mengintimidasi Fabian lebih dalam lagi.
Demi menghalau rasa gentar itu agar tidak menguasai diri dan tindakannya lebih jauh lagi, Fabian terus membayangkan paras Sang Istri demi menyemangati dirinya.
Bisa, bisa! Aku bisa melalui semua ini dengan baik! Pasti! Aku sudah sejauh ini. Tidak ada istilah sia-sia! Batin Fabian penuh tekad.
Ia menarik napas dalam-dalam dan menahannya beberapa saat di rongga dadanya, untuk mengundang segenap ketenangan, sebelum mengembuskan napasnya dengan gerakan amat perlahan dan hati-hati, agar tidak mengundang perhatian Sang Ratu. Dia tidak mau Sang Ratu bebas membaca rasa cemas serta bimbangnya, lalu menjadikan hal itu sebagai sesuatu hal untuk mempermainkannya.
Fabian menatap lurus ke depan.
Saat inilah dia juga berusaha untuk tidak mempedulikan hal yang langsung mengusiknya. Penglihatannya. Ia sungguh hendak mengabaikan fakta bahwa di tangan kanan Sang Ratu, tergenggam sebuah tongkat besi dengan ujungnya yang berupa kepala monster kecil. Kepala monster kecil itu berputar-putar, bagai memiliki per saja. Sepasang mata monster kecil itu berwarna merah darah, dan menatap tajam tepat kepada Fabian. Seolah-olah dia hendak menusuk jantung Fabian lewat tatapan matanya.
Fabian terkesiap. Ia menelan ludahnya.
Astaga! Tempat macam apa ini? Benarkah ini kerajaan gaib yang didesas-desuskan oleh banyak Orang di kampungku? Jadi yang dibilang kerajaan gaib itu nyata keberadaannya? Bukan sekadar alasan para Orang tua untuk menjauhkan Anak-anak mereka agar tidak bermain di area danau? Dulu aku pikir, itu sekadar alasan yang dapat diterima oleh kami, yang masih kecil waktu itu, supaya kami tetap memelihara kebersihan danau saja dan menjaga ketenangannya. Sebab memang kami sering piknik di tepi danau dan meninggalkan sampah seenaknya. Mana aku tahu kalau ternyata begini cara aku diberikan jawaban atas rasa penasaranku yang dulu itu? tanya Fabian dalam hati.
Di kala Fabian sibuk dengan pemikirannya sendiri, ia melihat ada pergerakan di singgasana sana.
Di depan sana, Sang Ratu terlihat tengah memberi isyarat melalui tangannya, agar kedua Pengawal yang tadi mengiringinya menuju ke singgasana tersebut, segera meninggalkan dirinya dengan Fabian. Hanya dua Orang Dayang-dayang yang tertinggal di sisi kiri dan kanan Sang Ratu.
Kedua Pengawal tersebut langsung mengangguk patuh danmembungkukkan badan mereka. Dua detik kemudian keduanya berjalan mundur, menjauh dari posisi Sang Ratu. Seakan-akan, membalikkan badan dan memperlihatkan punggung mereka di depan Junjungan mereka adalah suatu perbuatan yang terlarang.
Ada sedikit jeda yang berupa hening, hingga Kedua Pengawal tersebut tidak terlihat lagi oleh pandangan mata Fabian. Beberapa lama setelah berjalan mundur, mendadak saja mereka lenyap dari pandangan mata Fabian. Padahal seingat Fabian, ia tidak mengedipkan mata sama sekali.
“Itu bentuk pengalih perhatian lagi. Aku nggak boleh memedulikannya,” gumam Fabian pelan.
Sepeninggal mereka, Fabian kembali berusaha untuk mengetuk hati Sang Ratu.
“Ratu Yang Terhormat, saya mohon dengan sangat, kembalikan Istri saya, Ratu,” pinta Fabian.
Ratu tidak menyahutinya.
Fabian tak patah arang, ia meneruskan usahanya.
“Mungkin secara tidak sengaja Istri saya sudah berbuat salah, dengan memasuki area kekuasaan Ratu. Akan tetapi saya dapat memastikan, dia sama sekali tidak bermaksud demikian. Dia pasti tidak sengaja melakukannya. Dan yang jelas, dia sama sekali tidak tahu. Dia bukan orang desa ini. Maafkan saya yang belum memberitahunya,” pinta Fabian lagi, dengan sopan.
Dua orang Dayang-dayang yang berdiri di sisi kiri dan kanan Sang Ratu, berjalan menghampiri Fabian.
“Berlutut! Tidak ada yang boleh menghadap dan berbicara dengan Ratu kami dalam posisi berdiri macam itu! Berlutut hai Orang asing!” suruh salah satu dari mereka sambil menyentuhkan sebuah tongkat ke d**a Fabian.
Fabian tidak menanggapi. Ini membuat kedua Dayang-dayang menjadi tak sabaran.
Mereka berdua akhirnya memaksa Fabian agar segera berlutut dan menyembah Ratu mereka. Tetapi kali ini Fabian tetap menolak mentah-mentah. Akhirnya mereka berdua marah besar dan mendorong tubuh Fabian dengan keras sehingga Fabian jatuh tersungkur dengan posisi wajah beradu dengan dasar danau.
Begitu melihat Fabian dalam keadaan demikian, kedua Dayang-dayang membenamkan wajah Fabian, menekan tengkuknya agar Lelaki itu tidak mampu menengadahkan wajahnya. Persis seperti yang dilakukan Para pengawal kepada Shania sebelumnya.
“Istrimu tidak ada di sini,” kini terdengar suara Sang Ratu.
Fabian terkejut luar biasa. Diingat-ingatnya, dia pernah mendengar suara semacam itu di masa kecilnya. Namun, buru-buru ditepisnya bayangan wajah Ibu tirinya yang melintas.
Ini pasti distraksi lagi. Tadi Nenek sudah memperingatkanku untuk berfokus kepada usaha penyemalatan Dik Shania. Bukan memeikirkan hal lain, kata Fabian dalam hati, memperingatkan dirinya sendiri.
Fabian berusaha meyakini bahwa Sang Ratu yang terus berdiri membelakanginya ini sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan Sosok Ibu tirinya. Dia juga sudah yakin, Ibu tirinya sudah pergi entah ke mana bertahun lalu, mungkin saja telah menikah dengan Pria lain, hidup berbehagia dengan Keluarga baru yang dibentuknya, memiliki lagi Anak-anaknya yang lain, sehingga mengabaikan kedua Saudara tirinya, Farah dan Fina, begitu saja.
“Istri saya ada di sini, Ratu. Saya melihatnya. Nenek, sepertinya memberikan kepada saya penglihatan itu,” kata Fabian mentap namun tetap sesopan semula. Namun kali ini, ada isyarat ia mendesak Sang Ratu.
Sesaat Sang Ratu terkejut mendengar Fabian menyebut kata ‘Nenek’.
Dia masih ingat benar, Orang yang disebut Nenek oleh Fabian, adalah Orang yang menentang keras ketika dirinya yang telah berhasil menggoda Pak Handara dulu, memaksa hendak tinggal di kediaman Keluarga Handara di desa Watu Dasa.
Entah ilmu apa yang dimiliki oleh Ibu kandung dari Pak Handara itu, dia bahkan dapat datang ke rumah perkebunan sesaat setelah dirinyaberhasil menggiring para Warga sekitar perkebunan untuk memergoki perbuatan terlarangnya dengan Pak Handara, yang berujung mereka berdua dinikahkan saat itu juga.
Sang Ratu ingat, hanya sesaat setelah itu, mendadak Sosok yang disebut ‘Nenek’ oleh Fabian itu juga berusaha membatalkan pernikahan mereka, dan mencoba menawarkan sejumlah harta. Jelas saja dirinya menolak mentah-mentah. Dia juga bertahan ketika Sang Nenek berusaha memisahkan dirinya dengan Pak Handara dengan jalan perceraian. Semua usaha Sang Nenek mental.
Huh! Dasar perempuan tua sialan! Ternyata sampai sekarang dia belum juga mau menerimaku sebagai Menantunya. Dia itu hanya menyayangi Mbak Endah dan selalu melindunginya dari jauh. Padahal waktu aku tahu bahwa dia meninggal, aku senang luar biasa. Tapi apa-apaan ini? Kenapa sampai sekarang dia masih saja membela garis keturunan yang dari Mbak Endah? Aku kan juga sudah memberikannya dua Orang Cucu! Batin Sang Ratu sedih. Hatinya sakit sekali.
Pun demikian, Sang Ratu buru-buru menenangkan perasaannya sendiri. Pantang baginya untuk terintimidasi. Dia tak mau membayangkan, harus berhadapan dengan Nenek Fabian lagi, meski bukan berhadapan secara fisik. Dia sibuk mencari akal.
“Begini saja, mungkin Istrimu tersesat di suatu tempat. Wilayah kerajaanku ini sangat luas, sehingga belum ada Pengawalku yang memberitahu mengenai masuknya Orang asing ke tempatku. Biar nanti aku suruh Para Pengawalku untuk mencari Istrimu, dan menemukan keberadaannya,” kata Sang Ratu.
Fabian hampir saja menarik napas lega. Ia berpikir, Sang Ratu sungguh tersentuh hatinya dan mau menolongnya. Diam-diam ia bersyukur di dalam hatinya.
Ternyata Sang Ratu mempunyai hati yang baik, pikir Fabian.
Tapi kemudian ia tersentak kala mendengar Sang Ratu melanjutkan ucapannya.
“Tetapi ada syarat yang harus kamu penuhi untuk itu,” tegas Sang Ratu.
Fabian menahan napasnya.
“Syarat? Syarat apa, Ratu?” tanya Fabian dengan hati bergetar.
Ia sudah pasrah dan mempersiapkan diri untuk mendengar apa syarat yang akan dikemukakan oleh Sang Ratu. Dan ia juga sudah bertkad untuk memenuhi syarat tersebut.
Tetapi mendadak ia teringat kembali pesan yang disampaikan Sang Nenek kepadanya.
“Jangan pernah bernegosiasi dengan Penguasa Kerajaan Gaib ini, Fabian!” perkataan Sang Nenek bagai terngiang kembali di telinganya.
Seketika perasaan Fabian menjadi bimbang.
* * Lucy Liestiyo * *