Episode : Dilema Itu Bernama ‘Hubungan Rahasia’ (7)
Dua Insan itu sama-sama berdiam diri.
Masing-masing dari mereka, tidak ada satu pun yang tergerak untuk mencairkan suasana yang mendadak terasa beku di antara mereka.
Hanya beberapa detik sesudah itu, Windy mendengar embusan napas panjang dari Bagas. Embusan napas yang terkesan demikian berat, seolah Cowok itu harus melepaskan bebannya sesegera mungkin lantaran sudah tak dapat lagi menanggungnya lebih lama.
Windy mengerling dengan ekor matanya.
Lantas terlihat olehnya, Cowok itu tengah memejamkan mata sesaat, sebelum kemudian Ia menggelengkan kepalanya beberapa kali. Windy menangkap dan mengira-ngira, seperti ada seuatu keadaan dan situasi di luar kendali Cowok itu, yang ia senidiri juga tak paham apa. Yang Windy tahu, air muka Bagas sudah lebih dari cukup untuk menyiratkan bahwa ada sesuatu yang tengah disesali oleh Cowok itu.
D penat yang tergambar di raut wajah Cowok itu, bak menyampaikan betapa pikirannya teramat lelah. Entah memikirkan apa.
Perasaan Windy jelas terusik karenanya.
Tetapi apa daya, Windy tak tahu harus mengatakan apa menyaksikan hal yang demikian.
Hatinya sendiri juga bertanya-tanya, mengapa mereka berdua harus berada dalam situasi yang kurang mengenakkan begini dan mengapa ia merasa seolah dirinya bukanlah Windy yang biasanya. Ya, Gadis ini merasa terheran dan malah berpikir seakan-akan ada sesuatu kekuatan yang entah apa, yang menguasai diri dan tindakannya. Selaksa pertanyaan yang tidak sanggup untuk dijawabnya barang satu saja.
Uh, padahal ... Aku merasa ingin sekali berbagi tentang hubungan yang aku jalani dengan Bagas ini kepada Yeslin karena seolah ada desakan yang penting di dalam hatiku. Ya, desakan yang sulit untuk aku terjemahkan. Atau memang..., karena biasanya saat aku dekat dengan Seorang Cowok, aku kan meminta pendapat Yeslin? Ah! Nggak tahu deh! Herannya, pada saat yang sama, aku begitu takut kalau Bagas tahu keinginanku ini lalu marah dan langsung memutuskan untuk mengakhiri hubungan ini. Ya aku tahu, Orang kalau sedang jatuh cinta itu memang perasaannya nggak karuan. Campur aduk bak gado-gado. Tapi jujur saja, aku nggak pernah merasakan serumit ini sebelumnya, kata Windy di dalam diamnya. Di satu sisi ia membenarkan dirinya, sedangkan di sisi lain, ia juga meragukan perasaannya sendiri.
Bagas menyapu paras Windy dengan sorot mata yang dalam.
Tatapan mata yang membuat getaran di hati Windy terasa begitu kuat.
“Windy Sayang...,” ucap Bagas, lembut lagi pelan.
Windy sampai menahan napas mendengarnya. Ia sungguh-sungguh berusaha meredakan debaran-debaran di dadanya yang kian kencang dan mulai tidak beraturan.
Bagas masih saja menatapnya lekat-lekat.
“Win..., aku nggak tahu harus bicara dari mana dulu. Yang jelas, aku nggak mau masalahnya jadi melebar kemana-mana. Oke, aku rasa pangkal permasalahannya karena rasa ketidaknyamanan kamu menjalani hubungan kita ini? Apa benar begitu?” tanya Bagas pelan.
Hati Windy bagai dicubit keras mendengar pilihan kata Bagas.
Maka Gadis ini buru-buru menggoyang-goyangkan telapak tangannya.
“Enggak gitu juga Bagas..,” sahut Windy, mengoreksi anggapan Bagas.
Bagas manggut kecil.
“Oke..., kalau bukan itu masalahnya. Tapi apa? Soal trauma masa lalu lagi? Win, kita sudah beberapa kali ngomongin hal ini. Dan bukankah kesepakatannya justru...,” Bagas menggantung kalimatnya di sana. Ada gurat kecewa di wajahnya.
Windy tercenung.
Dia tahu akan kemana arah pembicaraan Bagas. Dia juga tersadar, dirinya dan rasa takutnya mengambil porsi terbesar dalam pembicaraan yang kurang menyenangkan ini. Karenanya, Windy merasa perlu untuk sekadar meluruskannya.
“Aku..., bukan itu maksudku. Cuma..., ah! Aku nggak tahu Bagas. Maaf kalau aku terlihat naif dan impulsif. Aku hanya..., ya kamu tahu maksudku, kan? Sangat wajar buat Seorang Cewek untuk berbagai cerita kepada Sahabat akrabnya.” Windy setengah berbisik.
Bagas mengangguk maklum.
“Percayalah, windy Sayang. Aku paham soal itu. Aku juga sedang berusaha memahami segala ketakutanmu. Yang mana, kurang lebih sama dengan rasa takut yang aku alami. Kita sama-sama nggak mau gagal lagi, kan? Hanya saja..., kemungkinan reaksi kita saja yang berbeda. Aku..., benar-benar minta maaf kalau terkesan egois, mementingkan pemikiranku sendiri dan memaksakannya kepadamu,” ujar Bagas dengan nada rendah.
Windy mengibaskan tangannya.
“Enggak, kok. Bukan kamu yang salah. Kayaknya memang aku deh..., yang salah dalam hal ini. Aku..., aku nggak tahu. Kadang-kadang aku merasa sangat takut kehilangan kamu dan terpaksa harus merelakan kedekatan kita. Tapi pada saat yang beramaan, aku juga kerap meragukan..., apakah aku sanggup menjalani hubungan ini? Kamu..., jujur saja..., kamu itu, seperti banyak menyembunyikan tentang jati dirimu. Kamu misterius. Aku hanya..., nggak mau salah melangkah..,” ungkap Windy. Lancar serta jujur.
Gadis itu tampak pasrah kala mengucapkannya, dan takmau menyesali apa yang telanjur ia katakan. Ia juga sudah siap, jika Bagas akan marah dan tersinggung.
Nyatanya, Bagas justru melakukan tindakan yang di luar dari perkiraan Windy.
Mendadak saja, Bagas berlutut di depan Gadis itu.
Windy terperangah.
“Eh! Apa-apaan nih? Bagas Sayang, kamu ngapain pakai berlutut begitu? Nggak harus begini juga! Bangun, Bagas! Jangan begini!” suruh Windy sembari meredakan rasa kagetnya yang luar biasa.
Bagas tidak menuruti permintaan Windy.
Cowok itu hanya menengadahkan wajahnya dan menatap Windy. Ia menggelengkan kepalanya beberapa kali.
“Aku nggak pernah menyangka, kalau aku harus membuat dirimu sesusah ini. Aku menyesal membuat perasaanmu nggak karuan, Sayang. Bahkan menurutku..., jika kita melibatkan banyak Orang lain, untuk masuk, mendengar dan mengomentari tentang hubungan ini..., akan menambah beban pikiran saja. Aku nggak tahu kalau kamu mungkin berpikir sebaliknya dan akhirnya kita jadi berselisih paham,” ucap Bagas.
Hati Windy tersentuh.
“Sudah. Sudah. Aku yang salah, Bagas. Aku tahu sekarang. Kita berdua ini sama-sama Orang yang pernah terluka. Dan mungkin saja kita membawa perasaan insecure melebihi batas. Tapi ya..., aku yang keterlaluan sih. Aku minta maaf. Tadi itu maksudku..., barangkali Yeslin sahabatku itu, bisa membantu untuk membuat semacam artikel yang memuat profilmu atau usaha kamu. Kan, bisa membantu kamu,” kata Windy, mengemukakan pemikiran di kepalanya.
“Aku nggak pernah menyangka kalau kamu bakal menanggapi hal itu secara berbeda,” sesal Windy pula.
“Aku tahu niat baikmu. Aku sangat menghargai idemu. Kamu itu baiknya kebangetan, sampai sejauh itu kamu memikirkan tentang aku. Aku sangat berterima kasih karenanya. Tapi Windy..., terus terang saja, belum saatnya. Aku tahu apa yang aku butuhkan untuk diriku dan usahaku. Jadi...,” Bagas menjeda kalimatnya.
“Jadi apa? Kamu bangun dong, jangan berlutut begini. Nggak enak tahu, dilihatnya!” pinta Windy serius.
“Aku akan bangun, kalau kamu sudah memaafkan aku karena sudah membuat hati kamu susah,” kata Bagas.
“Nggak ada yang salah dan nggak ada yang perlu dimaafkan. Kalaupun ada, ya itu gara-gara kita berdua. Tapi aku lega, setidaknya, baik aku maupun kamu, sama-sama nggak ragu mengungakapkan apa yang menjadi ganjalan di hati kita. Jadi masalahnya nggak berlarut dan menjadi besar, lalu meledak seperti bom waktu. Lebih baik begini, ada apa-apa kita bicarakan segera,” balas Windy.
“Artinya? Kamu masih mau, berjuang untuk menjalani hubungan yang menurutmu sulit ini, dengan cara yang sudah kita sepakati bersama?” tanya Bagas.
“Aku akan jawab pertanyaan kamu, kalau kamu mau bangun dulu,” kata Windy yang didera rasa mulai rikuh. Seolah mereka berdua tengah mempertengkarkan seuatu yang berat saja.
“Hm. Sebaliknya, sebelum kamu jawab, aku mau tetap berlutut seperti ini saja,” sahut Bagas keras kepala.
Windy mengeluh dalam hati.
Baru sekali ini aku ketemu Cowok yang lebih dominan dari pada aku. Sudah begitu, di awal hubungan lagi. Biasanya kan Para Cowok itu lebih banyak mengalah ke Cewek. Tapi mau bilang apa? Ya sudahlah, ya... nggak ada ruginya juga! Kata Windy dalam hati.
Akhirnya Windy mengangguk.
“Oke. Aku coba ya. Tapi tolong ingatkan aku kalau sesekali aku salah dan mencetuskan persoalan yang sama lagi. Maklum, pemikiran Cowok dengan Ccewek kan pasti berbeda,” kata Windy.
“Pasti. Kamu juga tolong ingatkan aku kalau sikap aku terlalu keras ke kamu, ya,” kata Bagas.
Windy menangkap adanya kesungguhan di sana.
Terlebih saat Cowok itu menambahkan, “Maklum. Sepertinya ku ini terlalu lama sendiri.”
Windy menelan ludah.
Hm. Masuk akal. Sampai ada lagunya pula. Dan aku sendiri toh juga merasakan, pikir Windy, yang meraskaan kesamaan posisinya dengan Bagas.
“Nah, sekarang kamu jangan berlutut lagi,” pinta Windy.
Bagas menganggukinya, lalu segera bangkit berdiri.
Lantas Bagas memeluk erat tubuh Windy dan berbisik lembut di telinga Gadis itu, “Win. Aku sayang banget sama kamu. Aku benar-benar nggak mau mengambil resiko kehilangan kamu. Aku..., nggak mau gagal lagi. Maukah kamu berusaha memahami aku, sebagaimana aku juga berusaha untuk memahami kamu?”
Ucapan yang sungguh menyentuh hati Windy, bahkan sampai ke palung hati Gadis itu. Nyaris Gadis itu menangis saking terharu.
Pun begitu, tak urung mata Gadis itu terasa memanas.
Bagas memergoki hal itu. Ia disapaoleh sebuah perasaan bersalah. Disadarinya, betapa pekanya Gadis di hadapannya ini. Betapa mudah tersentuhnya perasaan Windy.
“Hei..., kenapa mata kamu malah jadi berkaca-kaca begitu? Aku ini Cowok yang benar-benar kaku dan jahat ya, sampai nggak memperhitungkan perasaan kamu. Nih akhirnya, aku sampai bikin kamu sedih dan tertekan begini, padahal ini sama sekali bukan yang aku inginkan,” tanya Bagas di kala jemarinya membelai paras Windy.
Posisi mereka berdua begitu dekat saat ini.
Saking dekatnya sampai-sampai Windy dapat merasakan embusan napas Bagas serta detak jantung Cowok itu.
Windy menggeleng lemah.
Matanya terpejam kala ia menundukkan wajahnya.
Ia menyerah dan pasrah tatkala bibir Bagas mencium kelopak matanya yang tertutup, lantas meluncur turun ke bibirnya. Tidak ada sedikitpun keinginannya untuk menghentikan aksi Bagas kepadanya.
Dan pada saat Bagas memagut bibirnya, Windy segera membalasnya.
Beberapa saat Windy membiarkan Bagas melumat bibirnya. Pun kala Cowok itu mulai mulai memainkan lidahnya di dalam mulutnya.
Windy sungguh menikmati sensasi indah yang telah sekian lama tidak dirasakan olehnya.
Tepatnya semenjak..., terakhir kalinya dia melakukan hal serupa dengan Mantannya yang terakhir. Ya, semenjak itu pula dia mematikan rasa dan keinginan tersebut.
Bahkan ketika tangan Bagas mulai meraba lehernya secara perlahan lantas terus turun dan menjamah dadanya, Windy sudah merasa sulit untuk menahan diri. Dia mulai meragukan kewarasannya.
Gairah yang demikian lama tak menyapanya, kini mencuat dengan demikian bebas. Apalagi kala Bagas juga menciumi lehernya secara terus-menerus.
Ia dapat merasakan betapa napas Bagas mulai terengah sekarang.
Di detik ini Windy sudah tak tahan lagi. Bibir ranumnya mengeluarkan desahan kecil.
*
$ $ Lucy Liestiyo $ $