CERITA MISTERI 2 : KEBUN BUNGA SANG FLORIST (23)

1531 Kata
Episode : Gairah Yang Menuntut Untuk Dipenuhi   Desahan yang kian memancing gairah Bagas untuk naik ke permukaan. Bagas tidak melawannya. Ia membiarkan gairah itu mencuat, walau tetap dikendalikannya.               Dan ketika Bagas menyudutkan dirinya ke salah satu sisi dinding, d**a Windy benar-benar bergemuruh. Windy merasakan tubuhnya bagai melunglai, sampai-sampai ia takut kalau dirinya bakal terjatuh saat ini. Kemudian entah bagaimana, mendadak tangan Bagas yang semula menjelajahi area d**a Windy, sekarang telah berpindah melingkari pinggang ramping Gadis itu. Windy tidak dapat mencerna semua detail serta urutannya satu demi satu karena perasaannya sudah mengawang-awang, diterpa rasa nikmat yang sekian lama tak menghampirinya. Rasa nikmat yang begitu saja muncul dan mengalir tanpa hambatan ke seluruh sel-sel tubuhnya dengan lancarnya, tanpa dapat ia cegah. Bagas masih menciumi leher Windy. Windy memekik kecil, meski sempat terlintas di pikirannya, apa jadinya jika mendadak ada Salah Satu Pegawai Bagas yang mengetuk pintu lalu masuk dan memergoki apa yang tengah mereka lakukan. “Ah...! Bagas...! Uhh...,” desah Windy pelan. Bagas menanggapi dengan cara mengetatkan lingkaran tangnnya pada pinggang Windy, lalu membimbing Gadis itu mendekat ke sofa di mana Gadis itu duduk tadi, tanpa sedikit pun melepaskan tangannya dari sana. Windy setengah mengeluh, sebab gerakan itu membuat ciuman Bagas di lehernya terhenti. Sesaat kemudian, Bagas membaringkan Windy di sofa. Dan Windy sama sekali tak menolak. “Bagas..., pintunya..!” desah Windy. “Nggak ada yang berani ke ruangan kerjaku kalau bukan lantran aku panggil,” kata Bagas dengan napas memburu. Windy tak tahu harus merasa lega atau bagaimana. Yang pasti, ketika Bagas bagai mengulang apa yang mereka lakukan beberapa saat lalu, ia merespons. Sewaktu Bagas menciumi lagi wajahnya, dengan sadar tangan Windy juga membelai wajah Cowok itu.  Ketika Bagas menempelkan lagi bibir di atas bibirnya, ia segera menyambut dan mereka saling melumat. Waktu seolah berhenti bergerak kala Bagas menjilati leher Windy dan Windy berusaha keras untuk tidak mengerang. Ia takut, suaranya terdengar hingga ke luar ruangan kerja Bagas dan menjadi bahan pergunjingan di antara Para Pegawai Bagas. Ah! Dia tak dapat membayangkan akan seperti apa wajahnya di kala menghadapi mereka semua nanti. Bisa jadi semerah kepiting rebus saking malunya. Namun ketika Bagas menindih badannya, jantung Windy serasa hendak meloncat dari tempatnya. Dia paham sekali, ada sesuatu yang terbangun di bawah sana. Secara spontan, tangan Windy menyentuh benda yang mulai mengeras itu. “Ooooh..., Win..., aaah!” desah Bagas. Dahi Cowok itu terlihat berkerut-kerut dan matanya memejam. Seolah menahan rasa nikmat yang sangat. Windy terdorong untuk mengelusnya, sehingga desahan Bagas terdengar lagi. “Sayang... uuh... Sayang..,” ucap Bagas dengan napas memburu. Ada gelora yang melingkupi mereka berdua. Dan saat Bagas menyingkirkan dengan perlahan tangan Windy dari benda miliknya yang telah mengeras itu, Windy tidak mapaham maksudnya. Ia segera paham setelahnya. Yakni saat Bagas dengan nekad menggesekkannya ke tubuhnya, bahkan ke bagian yang paling ia jaga dari tubuhnya. Windy mengerang kecil, merasakan siksaaan kenikmatan. Tetapi baru beberapa saat melakukan hal itu, mendadak Bagas menghentikannya. Lantas dengan gerakan super cepat, Bagas bangkit dari sofa sambil memegangi miliknya, dan setengah berlari menuju kamar mandi yang terletak di sudut ruangan kerjanya. Ia meninggalkan Windy begitu saja. Windy menggigit bibirnya, dan mencoba memahami apa yang baru saja terjadi. Dia tidak habis pikir, mengapa ia tidak mampu mencegah, tadi itu. “Astaga, Windy! Kamu..., murahan sekali! Kamu itu baru saja dekat dengan Cowok ini! Untung saja masih tahu diri dan dia nggak melanjutkannya tadi. Apa jadinya kalau sampai kejadian? Kamu bahkan nggak tahu Siapa dia sebenarnya, di mana dia tinggal! Mau mencari pertanggung jawaban ke mana kalau kamu sampai hamil?” gumam Windy lirih, memarahi dirinya sendiri. Windy menggoyang-goyangkan kepalanya. Ia merasa malu dengan apa yang barusan terjadi. Parasnya memanas. Segera dia duduk dan merapikan pakaian yang ia kenakan serta rambutnya. Lalu secara tak sengaja, telapk tangannya mengusap ke arah bagian bawah dari celananya. Uh. Untung saja nggak sempat meninggalkan jejak, pikir Windy, yang merasakan selintas rasa aman menyelinap ke benaknya. Gadis itu menghirup napas dalam-dalam, menahannya untuk sekian detik sebelum mengembuskannya secara amat perlahan. Windy meraih tasnya dan mengambil cermin, meneliti tampilan wajahnya. Lantas matanya melirik ke arah kamar mandi di sudut ruangan. Dia dapat mengira-ngira apa yang tengah dilakukan oleh Bagas di dalam sana. Dan secara diam-diam, sebuah perasaan membuncah di dalam hati Windy. “Untung saja Bagas bisa mengendalikan diri. Aku nggak tahu, apakah itu bisa aku perhitungkan sebagai salah satu hal yang patut aku apresiasi dari dirinya, ataukah....? Ah! Aku nggak tahu pasti,” kata Windy lirih bak gumaman. Sementara di dalam kamar mandinya, Bagas yang merasakan lelah setelah apa yang ia lakukan, menyandarkan punggungnya ke salah satu dinding kamar mandi. “Tadi itu apa? Aku merasakan itu bukanlah nafsu belaka. Itu bukanlah semacam gairah yang menuntut untuk dilepaskan karena telah sekian lama aku bekap. Tapi setiap kali aku melihat ke bola matanya..., juga saat mendengarkan suara desahannya, aku merasakan hal yang berbeda. Gawat! Sepertinya aku sudah mulai terbawa perasaan. Dan sepertinya aku mulai jatuh hati sungguhan kepadanya. Aku merasakan gadis ini tulus, polos dan bahkan apa adanya. Dia bahkan mnanggalkan kecerdasannya karena membiarkan perasaan tertariknya kepadaku lebih menguasai sikap dan tindakannya. Dan jujur saja aku terusik karenanya. Oh! Ini akan membuat semuanya semakin sulit saja bagiku ke depannya nanti,” keluh Bagas sendirian. “Enggak. Enggak boleh! Aku harus mampu menahan diri, jangan sampai aku terlarut telalu dalam. Sementara aku belum menemukan cara paling jitu untuk menuntaskan semuanya ini,” kata Bagas lagi. Saat akhirnya terdengar suara guyuran air dari hand shower di kamar mandi, Windy yang mendengarnya dari luar meraskaan kegelisahan lagi. Aduh. Aku malu sekali. Nanti kalau dia keluar dari kamar mandi, aku harus bagaimana? Aku nggak yakin aku masih punya muka untuk menatap wajah dia tanpa disiksa sama perasaan grogi dan sikap gugup, pikir Windy dalam resah. Windy meremas-remas kedua tangannya. Pikirnya, hal itu dapat membantunya untuk mengurangi sedikit resah. Kenyatannya tidak. Sama sekali tidak. Dia malah semakin bingung saja. “Apa sebaiknya..., aku diam-diam pulang saja selagi dia masih di dalam sana? Atau..., aku berpura-pura tidak pernah terjadi apa-apa, dan sebaiknya melihat-lihat tanaman bunga di luar sampai dia keluar dari ruangan ini dan menemukanku di luar? Ya, mungkin itu akan lebih baik, sehingga kami berdua nggak akan menjadi canggung satu sama lain. Ah! Tapi itu riskan. Dia akan mempunyai penilaiaan yang super negatif kepadaku. Bisa-bisa dia menyangka aku ini Cewek gampangan, dan telah terbiasa melakukan hal macam tadi kepada Cowok manapun, bahkan di awal-awal perkenalan begini. Mau ditaruh di mana mukaku? Bisa-bisa dia merendahkan aku ke depannya! Aduh! Aku jadi pusing sendiri! Aku harus bagaimana?” Windy setengah bergumam, menanyai dirinya sendiri. Ia sudah kebingungan oleh pemikiran yang saling bertentangan di dalam dirinya.  Di saat Windy sedang terpekur sendirian, terdengar bunyi daun pintu kamar mandi yang terkuak. Jantung Windy memompa lebih cepat lagi. Gadis itu melawan keinginannya untuk menoleh ke arah daun pintu yang telah terkuak itu.  Ia lebih memilih untuk menundukkan wajahnya dalam-dalam. Dan ia mempertahankan posisinya yang demikian, untuk beberapa saat lamanya. Ia juga membiarkan langkah-langkah kaki yang terus mendekat ke arahnya. Malahan, bernapas saja dilakukan oleh Windy secara amat berhati-hati. Bak Seorang Anak kecil yang tengah bermain petak umpet dan tak ingin Kawannya mengendus dimana keberadaannya.  Hingga akhirnya Windy merasakan kehadiran Seseorang di dekatnya. Begitu dekat. Bahkan Sosok itu langsung mengambil duduk tepat di sebelahnya. Perasaan Windy kembali campur aduk.  “Win..,” panggil Bagas lembut. Windy tidak berani menoleh sedikit pun. Mengangkat wajahn saja dia merasa tak sanggup. Seakan-akan, kepala merupakan sebuah beban yang demikian berat untuk disangga oleh lehernya. Gadis itu masih sibuk mengomeli dirinya dan kelemahan yang Ia tunjukkan tadi, di dalam diamnya. Sekarang apa? Dia pasti akan mencemoohkan aku! Dia pasti akan menghinaku! Cewek lain, pasti reaksinya akan menampar Cowok yang melecehkan dirinya.  Lantas secepatnya berlari meninggalkan tempat ini. Tapi aku? Apa yang tadi aku lakukan? Alangkah bodohnya! Aku ini nggak sekadar membiarkan dia beraksi lebih jauh lagi, melainkan juga dengan kesadaran penuh membalas apa yang ia lakukan padaku. Aku  jelas-jelas memperlihatkan minatku kepadanya. Aku bahkan sempat mengingatkan dia untuk mengunci pintu ruangannya. Ya ampun, murah sekali! t***l! t***l! t***l! Maki Windy dalam hati, kepada dirinya sendiri. Ya, Windy benar-benar menyesali kelemahan hatinya.  Di atas semuanya, yang lebih ia sesali adalah, karena kelemahan hatinya itu diketahui oleh Orang lain, yakni Bagas. Terdengar helaan napas Bagas. Hati Windy berdebar.  Walau tanpa mengucapkan apa-apa, sejatinya Windy menerka-nerka, apa gerangan yang akan diucapkan oleh Bagas kepadanya saat ini, setelah momen yang begitu berkesan buat mereka tadi. Momen di atas sofa yang kini tengah ia duduki. “Windy Sayang..., aku benar-benar minta maaf atas apa yang tadi aku lakukan ke kamu, ya. Itu pasti..., membuat kamu jadi makin takut ya sama aku? Dan mungkin juga, membuat kamu memberikan penilaian yang buruk ke aku. Maafkan aku. Bagaimanapun juga..., aku ini Cowok biasa, Win. Aku Cowok normal, yang tentunya lemah kalau berada dalam posisi macam tadi. Tadi itu..., aku hampir-hampir nggak bisa menahan hasratku. Aku..., aku benar-benar minta maaf, ya Win. Semoga kamu masih mau memberikan aku kesempatan untuk memperbaiki yang satu itu. Windy Sayang..., aku..., aku sangat mencintai kamu. Dan aku..., Ah! Andai saja mungkin, ingin benar aku menikahi kamu dan membawa kamu pergi bersamaku kemana saja, saat ini juga,” ucap Bagas tersendat. Windy langsung melongo dibuatnya. * $  $    Lucy Liestiyo   $  $ 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN