Episode : Dilema Itu Bernama ‘Hubungan Rahasia’ (6)
“Hallo, Nek,” sapa Windy.
Suaranya beraada di antara gembira dan tertekan, karena merasa tidak bebas berbicara di dekat Bagas. Terlebih, mendadak dia teringat lagi akan ‘perjanjian’ mereka. Ya, perjanjian untuk menyembunyikan ‘hubungan rahasia’ ini.
“Hei..., elo lagi di rumah nggak sekarang Nek?” tanya Sang Penelepon, yang tak lain adalah Yeslin.
“Eng..., kenapa memangnya?” tanya Windy.
“Kok tumben tanya kenapa? Pakai belibet deh. Bukan langsung iya atau enggak. Jangan-jangan elo lagi sama si.... Siapa tuh, Pemilik toko bunga? Lagi pacaran ya?” tanya Yeslin.
Hampir Windy menjawab, “Ah, elo tahu saja!”
Beruntung, saat itu tatap matanya bersirobok dengan tatap mata Bagas.
Tatap mata yang agak ganjil. Seperti menyelidik. Tidak, bukan sekadar menyelidik saja, melainkan sudah semacam tatapan memperingatkan. Entah apa yang diperingatkan. Hati Windy diterpa kegundahan.
“Eng... enggak. Gue nggak lagi di rumah,” sahut Windy.
“Oh...! Tapi kenapa seperti mikir begitu jawabnya. Elo nggak lagi ada masalah sehingga harus menyepi, kan? Nek, elo baik-baik saja?” tanya Yeslin. Tersirat rasa khawatir yang terkirim dalam suaranya.
“Gue..., baik-baik kok. Gue cuma lagi jalan-jalan keluar,” kata Windy.
Bagas terus menatap Windy.
Dan Windy seolah mendapatkan kesan bahwa Bagas terganggu oleh percakapan via teleponnya.
“Ya sudah Nek, santai aja. Tadinya kalau elo lagi di rumah, gue mau mampir sebentar. Kebetulan posisi gue dekat banget sama rumah elo. Ini gue drop kue moci sama gemblong ya. Gue titip sama Nyokap elo,” kata Yeslin santai.
“Moci sama gemblong? Elo..., dari Puncak, Nek? Ada kerjaan? Atau...?” tanya Windy antusias, sampai lupa mengucapkan terima kasih.
“Iya. Saudara Sepupu gue minta ditemani lihat taman bunga, tadi pagi. Oke nanti gue titip deh,” kata Yeslin.
“Hah? Lihat taman bunga di Puncak? Niat amat? Eh by the way, terima kasih ya pakai repot-repot segala sih,” sahut Windy.
“Yaaa..., namanya juga Orang luar pulau. Dia datang, terus ada baca-baca artikel. Terus minta diajak ke sana. Ya sudahlah, berhubung dekat ya gue antar. Eh elo sendiri..., gimana? Masih berhubungan sama si Tukang Bunga? Sudah sempat diajak ke kebun bunganya belum?” tanya Yeslin kemudian.
Windy tergeragap.
Bagas mencermati hal itu.
Tatap mata mereka berdua kembali tertaut. Seolah Bagas tahu apa yang sedang diperbincangkan oleh Dua Sahabat itu.
“Eng..., soal itu. Nanti deh lain kali gue ceritain ke elo,” kata Windy.
Diam sejenak.
“Nek..., nanti gue malam gue telepon elo deh. Ini hape gue sudah rada kritis bateray-nya,” ujar Windy.
Di seberang sana, Yeslin mengernyitkan keningnya sembari mengetuk-ngetuk kemudi mobilnya.
Alih-alih melontarkan perkataan yang ada di pikirannya, “Nek...? Is everything ok? All good?” Yeslin jadi berbalik mengucapkan, “Oke deh kalau begitu. Take your time ya Nek. Daagh!”
“Ya, ya. Semua baik-baik saja. Sampai nanti ya. Daagh Nek!” sahut Windy, lantas cepat-cepat mengakhiri komunikasi melalui sambungan telepon tersebut.
Dia tak tahu saja, di tempat yang berbeda, Yeslin mengerutkan keningnya. Dia merasa terheran.
“Hei, kenapa Kak?” tanya Sang Saudara Sepupu yang duduk di sebelahnya.
Yeslin menoleh dan berkata, “Itu. Teman gue kok aneh. Seperti Orang yang lagi tertekan begitu. Nggak tahu tuh kenapa dia. Aduh, mendadak firasat gue jadi nggak baik nih tentang dia.”
“Kak Yeslin! Nggak boleh ngomong begitu!” kata Sang Saudara Sepupu.
Yeslin tak bereaksi.
Tumben dia rada aneh. Tapi kalau diingat-ingat, anehnya dia bukan cuma sekarang deh. Kelihatannya kok jadi rada berjarak sama gue ya, semenjak dia ngomong mau diajak ke kebun bunga si Cowok kenalan barunya itu di Puncak. Apa jangan-jangan mereka sudah jadian? Aduh! Kenapa perasaan gue jadi gelisah begini ya? Semoga dia baik-baik saja. Semoga memang mood dia lagi kurang baik, dan nggak ada urusannya sama masalah Percowokan. Si Windy kan memang suka mendadak aneh kalau lagi ada masalah sedikit saja. Itu dulu waktu ada kles sama Orang kantor, terus mendadak dia minta cuti dan pergi dadakan menyepi di Gili. Kadang-kadang kalau error-nya kumat, dia belanja-belanja nggak jelas. Sudah, gue kasih dia waktu sebentar deh. Entar pada saatnya juga dia bakalan cerita, pikir Yeslin akhirnya, sembari berusaha menentramkan perasaannya sendiri dan berharap Sang Sahabat dalam keadaan baik-baik saja.
“Hei..., Kak Yeslin! Jangan ngelamun begitu! Lagi nyetir juga! Itu, lampunya sudah hijau!” senggolan di lengan Yeslin menyadarkannya.
Yeslin menepuk jidatnya lalu menoleh ke samping.
Ya ampun! Bisa-bisanya aku seceroboh ini! Umpat Yeslin dalam diam, kepada dirinya sendiri.
“Sorry,” ucap Yeslin.
“Kak Yeslin tuh jangan begitu lagi. Bahaya, tahu!” kata Sang Saudara Sepupu.
“Iya. Iya, Sayangku. Itu tadi cuma kepikiran sama Teman saja,” kata Yeslin beralasan.
“Mending Kak yeslin doakan yang terbaik buat Temannya. Jangan mikir yang enggak-enggak,” kata Sang Saudara Sepupu, memperingatkannya.
Yeslin tersenyum kecil dan menyahut pendek, “I... yaaa!”
Sementara di ruangan kerja Bagas, Windy tampak agak ragu mendekati Bagas.
“Sorry, tadi kamu terganggu ya, sama panggilan telepon dari Temanku? Eng itu..., sebetulnya bukan sekadar Teman buatku. Dia itu Sahabat karibku. Dia Jurnalis yang hebat.”
Windy sengaja mendahului berbicara, demi mencairkan kebekuan di antara mereka berdua.
Tapi sungguh tak dinyana, tanggapan Bagas adalah...
“Apa? Dia itu Jurnalis? Sahabat karibmu itu Seorang Jurnalis?”
Windy sedikit bingung dengan nada suara Bagas yang meninggi kala mengucapkan kata ‘Jurnalis’. Namun dalam bingungnya, dia tidak dapat berpikir jernih dan membedakan, apakah itu ungkapan keterkejutan, rasa gamang, ataukah luapan antusias.
Maka ia menduga, yang ketiga. Dipikirnya, ada baiknya memperkenalkan Bagas dengan Yeslin.
“Aaaah yaa! Dia seorang Jurnalis. Kamu juga senang menulis, kan? Aku kepengen memperkenalkan kalian berdua secepatnya deh. Ini lebih besar dibandingkan keinginanku untuk memperkenalkan kamu sama Mama aku. Aku pikir, kalian berdua pasti bakalan nyambung dan asyik ngobrolnya. Wawasan dari Orang yang senang menulis kan luas. Kalian berdua itu pasti terbiasa membaca, melakukan riset. Jadi pasti seru deh. Mungkin bisa bertuar informasi,” papar Windy dengan semangat.
Jurnalis? Wah! Bisa rumit. Aku harus putar otak untuk menghadapi semua ini. Aku harus menyusun rencana yang terbaik, pikir Bagas.
“Enggak usah. Kita kan sudah sepakat nggak perlu membicarakan tentang hubungan kita ke Siapa-siapa dulu,”sahut Bagas dingin setelahnya.
Windy terkejut.
“Eh, kenapa? Kok kelihatannya kamu nggak suka sama Sahabatku?” tanya Windy. Ia tak dapat menyembunyikan rasa tersinggungnya. Dan itu sungguh mencuat dalam anada suaranya.
Aku mengenal Yeslin jauh lebih dulu ketimbang mengenalmu. Kenapa belumkenal sama Yeslin saja reaksimu seudah nggak ramah begini? Batin Windy jengkel.
Bagas mengembuskan napasnya. Diamatinya mimik muka Windy yang jelas menampakkan ketersinggungannya. Dia langsung berubah sikap.
Bagas bangkit dari duduknya, lantas menghampiri Windy. Direngkuhnya bahu Gadis itu begitu jarak mereka sudah semakin dekat.
Suara Bagas terdengar sangat lembut kala mengucapkan, “Maaf, Windy Sayang. Itu tadi reaksi spontan. Aku nggak ada maksud apa-apa. Dan bukan aku nggak suka sama Sahabat karibmu. Tapi aku mau mengingatkan ke kamu bahwa kita harus menjaga...”
“Hubungan rahasia ini kan? Sampai kamu merasa sudah lebih settle dengan hubungan ini? Ya ampun Bagas! Aku bukan pelupa. Aku ngerti kok. Tapi reaksimu tadi sangat berlebihan menurutku,” ketus Windy.
Bagas terdiam.
Windy tak mau menyia-nyiakan kesempatan itu. Dipikirnya, Bagas harus tahu batasan dan tidak seenaknya mengatur-atur dirinya seenaknya.
“Bagas. Nggak terlalu paranoid dong. Biasa saja. Aku tahu, maksudmu itu mengingatkan aku. Tapi aku ini bukan Seorang Anak kecil yang harus terus diperingatkan. Kamu jangan bikin aku berpikir negatif dan kembali ke prasangkaku semula deh,bahwa sebenarnya kamu itu sudah mempunyai Istri...,” kata Windy.
Bagas menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Windy! Kenapa sih itu lagi yang kamu curigai? Kamu mau aku membuktikannya dengan cara apa? Kamu mau tanya sama Orang-orang toko? Tanya saja sekarang! Atau..., kamu perlu untuk tahu tempat tinggalku dan mencari jejak yang kamu curigai di sana? Silakan. Kapanpun kamu mau aku ajak ke tempat tinggalku, kamu bisa bilang. Atau kalau perlu, sekarang?” sahut Bagas.
Windy sedikit gamang. Dia melihat rahang Bagas mengeras. Sepertinya Cowok itu menahan jengkel. Namun tawaran yang terlontar dari celah bibir Bagas, sungguh tak mau ia sia-siakan.
“Boleh! Untuk membuktikan. Ayo, ajak aku ke tempat tinggalmu sekarang. Selagi kamu belum sempat untuk mengatur dan memberikan kesan bahwa dirimu itu adalah benar Seorang Pria lajang. Karena bagaimanapun, jika Seorang Cewek terlibat hubungan dengan Seorang Pria beristri, baik setahu dirinya atau tanpa ia ketahui, tetap saja yang dipersalahkan dan dirugikan adalah dirinya. Bukan Cowok itu,” tantang Windy.
Usai mengatakan itu, Windy baru tersadar betapa emosionalnya perkataannya barusan. Dan alangkah kurang pantasnya untuk sebuah awal hubungan.
Bagas melirik arlojinya lalu menyahut, “Oke. Ayo kita pergi sekarang. Kamu boleh bertanya apa saja soal aku, kalau itu membuat perasaan kamu lebih nyaman dan membuatmu yakin aku bukan mau mempermainkan perasaanmu dan menganggap hubungan ini sebagai selingan semata.”
Usai berkata begitu, Bagas lekas mematikan laptopnya dan meraih kunci mobilnya.
Kini gantian Windy yang merasa gentar. Dia merasa apa yang dia ucapkan tadi sungguh tidak tepat.
“Eng..., Bagas, nggak usah begitu juga,” kata Windy pelan.
Bagas mengembuskan napasnya.
“Jadi? Mau sekarang inspect ke tempat tinggalku atau bagaimana?” tanya Bagas datar.
Di saat yang sama, hati Bagas berbisik, “Cewek ini tidak secerdas yang aku sangka. Ataukah..., dia begitu terlarut dalam perasaannya sehingga membuat daya pikirnya terganggu?”
Windy menelan ludah yang terasa pahit.
“Maksudku begini Bagas. Iya, aku kepengen dan merasa perlu membuktikan yang satu itu. Soalnya itu penting banget buat aku. Terus terang..., aku..., aku itu juga berusaha menelusuri profil kamu di internet. Juga profil toko bunga ini. Tetapi hasilnya..., nihil. Ngomong-ngomong, memangnya toko bunga ini baru?” tanya Windy polos.
Bagas tertegun.
Astaga! Ini lebih gawat dari yang aku duga! Pikir Bagas.
“Dan aku juga nggak mungkin kan, untuk minta tolong ke Sahabat karibku yang jurnalis itu. Biarpun dia pasti akan lebih mudah untuk mendapatkan informasi. Kan..., kata kamu, kita jalani dulu hubungan ini,” kata Windy setengah bergumam.
Kini hati Bagas kebat-kebit. Ia dilanda perasaan panik yang besar. Dan sebagai reaksinya untuk menutupi hal itu, tentu saja dengan berlagak berang yang dibalut dengan nada sedih.
“Terserah kalau kamu masih nggak percaya sama aku, Windy. Padahal..., aku itu hanya meminta hal yang aku lakukan juga untuk kamu. Yaitu..., memberikan diri kita berdua waktu untuk membuat hubungan ini mantap dulu. Aku nggak pernah menyangka akan sesusah ini menjalin kembali sebuah hubungan percintaan dengan Seorang Gadis. Huft! Benar-benar lebih sulit dibandingkan dengan memikirkan bagaimana caranya agar usaha yang aku miliki tetap bertahan walau banyak saingan,” keluh Bagas.
Hati Windy mencelos.
“Padahal..., bukannya semestinya Yeslin, Sahabat karibku yang Jurnalis itu bisa membantumu mempromosikan usahamu ini?” gumam Windy lirih.
Bagas kembali bungkam.
Windy jadi serba salah.
*
$ $ Lucy Liestiyo $ $