my past

1181 Kata
Sampai hari ini aku masih menjadi istri sah Raihan Al-Hakim, pengusaha muda keturunan Sultan yang begitu banyak uang dan kekuasaan. Aku berkenalan dengan keluarga Hakim sekitar empat tahun lalu. Pada keadaan terdesak, saat itu tiba-tiba ayah meninggal dan meninggalkan hutang bekas biaya kuliahku dan makan sehari-hari. Dengan terpaksa aku melamar menjadi asisten pribadi di rumah keluarga Tuan Hakim, meski banyak tetangga yang menghina karena pekerjaan yang ku dapatkan tidak sesuai dengan titel sarjana Ekonomiku. Aku masih mengingat hari itu, dimana antara aku dan Rai bertemu. Ia pulang dengan setelan jas berwarna biru Dongker, di sampingnya berdiri seorang wanita cantik dengan tinggi semampai. Rumor mengatakan kalau perempuan itu adalah pacar baru dari Rai, seorang model majalah fashion. Rai memandangku dengan tatapan menyelidik, jujur setelah lima bulan bekerja, ini pertama kalinya aku bertemu dengan anak Tuan Hakim yang di cap nya sebagai playboy. "Kamu karyawan baru?" Aku mengangguk cepat, semua kalimat yang ingin aku utarakan seolah tercekal di tenggorokan karena terkesima dengan ketampanannya. "Oh, jadi kamu yang di suruh papa untuk jadi asisten pribadiku?" Sebentar, asisten pribadi dia? Aku sedikit bingung dan mengernyitkan kening. "Papa belum mengatakan apa-apa?" Aku menggeleng, "Baiklah sekarang ikut aku, kita perlu bicara!" Titahnya dengan melewatiku begitu saja. Tanpa banyak berkomentar, aku mengekor sesekali melihat punggung Rai yang tegak sempurna. Dia begitu tampan, pantas saja banyak yang menyukainya. "Kamu tunggu di balkon, aku mau bicara dulu dengan dia." Dia menyuruh wanita itu untuk pergi terlebih dulu. Rai mengajakku te tempat kerjanya, aku berdiri dengan sedikit gugup. Dari awal tidak ada yang mengatakan kalau aku akan bekerja menjadi asisten pribadi Raihan. Dia terlihat membuka sebuah buku berukuran sedang, sepertinya buku harian. "Nama kamu?" Tanya Raihan tiba-tiba, membuatku mendongak dan memberikan pandangan bertanya, "Memangnya ada orang lain di sini selain kita berdua?" Aku menghela nafas pelan tanpa kentara, kalau bukan karena terdesak tidak mungkin aku bekerja di sini. "Dela," jawabku singkat. "Lengkapnya?" "Radela Lathifa." Dia mengangguk, "Sudah berapa lama kerja di sini?" "Lima bulan?" "Betah?" "Lumayan." "Kamu irit bicara ya!" Lah 'kan yang dia tanyakan juga hanya memerlukan jawaban singkat, aneh! Tiba-tiba saja wanita yang datang bersama Rai masuk, dia bergelayut manja dan membuatku menundukkan kepala. Sepertinya wanita ini memang tidak tahu malu, dia bersikap manja di hadapan orang lain malah membuatku malu sendiri. "Sayang, kita jadi liburan ke Paris bukan?" Tanya wanita itu. "Jadi." Jawab Rai singkat, aku bingung dengan nada tidak sabaran yang sangat kentara dari nada bicaranya, tapi si wanita sepertinya tidak menyadari itu. Entah dia bodoh atau memang pura-pura bodoh demi mendapatkan keinginannya padahal sangat jelas nada suara Rai yang datar. "Bener ya ...." Ucap wanita itu lagi, "Nanti aku mau beli ...." Wanita itu mulai mengucapkan barang-barang yang akan di belinya dengan brand ternama. Kakiku mulai pegal berdiri di sana dan akhirnya memberanikan diri pamit dan keluar dari ruang kerja Rai, setelah mengangguk sopan aku kabur setengah berlari menuju dapur. "Kamu kenapa, Del?" Tanya Bu Asih, yang bekerja di sana sebagai kepala asisten rumah tangga. "Gak apa-apa, Bu! Tadi aneh aja lihat perempuan yang di bawa Mas Rai, bergelayut manja di depanku. Padahal mereka belum menikah bukan?" "Ah, itu mah biasa Mba Dela. Malahan aku pernah memergoki Mas Rai sedang berciuman di balkon." Tutur Nisa, asisten paling muda keponakan Bu Asih. Aku menutup mulutku tidak percaya, rumor yang beredar di dalam rumah ini ternyata benar. Rai adalah playboy kelas kakap, apa karena dia tampan? "Hush, jangan kenceng-kenceng ngomongnya, nanti ketahuan sama Mas Rai bisa berabe tahu." Tegur Bu Asih. "Maaf, Bu! Habisnya Mas Rai tidak pernah memandangku, padahal aku mengaguminya. Dia itu tampan, baik, kaya tapi, sayangnya playboy." Ucap Nisa. "Sudahlah Nis, jangan terus membicarakan mas Raihan. Meski dia playboy, tapi dia baik 'kan sama kamu?" "Iya juga sih! Ah sudahlah aku kembali ke taman belakang saja, kasihan rumputnya minta di siram." Nisa pergi dengan langkah setengah di seret. Aku hanya tersenyum melihat Bu asih dan Nisa berbicara, "Omongan Nisa jangan di masukin ke hati, Mas Raihan itu baik sangat baik sekali, cuma mungkin dia belum mendapatkan wanita yang menurutnya tepat saja." Aku mengangguk paham, bukannya dimana-mana pria itu sama, suka berganti pacar, itu sebabnya aku memilih sendiri dibanding harus punya kekasih yang ujung-ujugnya makan hati. "Dela!" Panggil suara bariton yang berhasil membuat hatiku berdesir, aku menoleh dan membungkuk sopan. "Iya, Mas! Ada yang bisa saya bantu?" "Kamu bisa ikut saya, sebentar." "Baik, Mas!" Jawabku sopan. Aku kembali mengekor dengan menunduk, hanya sesekali mengangkat wajahku takutnya nyasar karena rumah ini begitu besar. "Aw!" Pekikku pelan, tanganku memegang keningku yang terbentur d**a Raihan. "Maaf, Mas!" Aku buru-buru meminta maaf, takutnya sikapku membuat dia murka. "Jalan itu pakai kaki bukan pakai mata, jadi yang digunakan itu kaki dan mata untuk melihat apakah di depan itu jalan yang luas atau tidak." Sialan, baru juga bertemu dengannya sudah membuat darahku mendidih. "Maaf, Mas!" Ucapku lagi dan berharap dia berhenti mengomel. Rai, menunjuk sebuah pintu kamar yang terbuat dari kayu jati dan terdapat ukiran seekor naga dia kedua sisinya. Ia memintaku untuk melihat deretan angka yang mulai ditekannya, "Perhatikan angka yang saya tekan. Saya berharap tidak perlu mengulangnya lagi itu akan membuang-buang waktu. "1834521," gumamku pelan. Pintu kamar terbuka, ia memintaku untuk mengikutinya kembali. "Ini kamar saya, nantinya apapun yang saya butuhkan kamu yang harus bertanggung jawab dengan semua itu." Aku menelan ludah, bagaimana mungkin aku bisa melakukan pekerjaan ini? Darimana juga aku tahu kebutuhan yang dia inginkan, ah otakku sepertinya berhenti berfungsi. "Kamu gak perlu bingung, saya sudah mencatat semua kebutuhannya di dalam buku itu." Tunjuknya pada sebuah buku yang kulihat tadi, seolah dia tahu apa yang aku pikirkan, aku segera mengambilnya dan mulai membuka lembar demi lembar. "Ini tulisan Mas Rai?" Tanpa sadar aku malah bertanya padanya. Dia mengangguk yakin, "Kenapa? Tulisannya bagus?" "Cantik sekali!" "Kamu adalah orang yang kesekian kalinya yang mengatakan bahwa tulisan saya cantik." Aku buru-buru menutup buku itu, kepalaku menunduk agar pandangan kami terjaga. Aku tidak ingin terpesona dengan pria yang ketampanannya di atas rata-rata. Suatu malam, keluarga Hakim makan malam bersama. Menurut Bu Asih, mereka sering melakukannya agar hubungan dengan keluarganya tetap terjalin harmonis. Mereka semua menyantap makan malam dengan hangat. Aku masih berdiri di samping Rai, sesuai permintaan dia. "Rai, siapa pacarmu yang sekarang?" Tanya Tuan Hakim. Rai memotong steaknya dengan pelan dan menjawab pertanyaan papanya dengan santai, "Enggak ada." "Kamu gak mau seriusin satu wanita saja, yang sering kamu ajak ke rumah?" "Enggak." "Baguslah, lagian papa juga kurang menyukai semua wanita yang sering kamu bawa ke sini, bukan karena mereka tidak cantik, tapi kamu sendiri tahu 'kan mereka sepertinya hanya memanfaatkan kamu. Tidak bisa 'kah kamu mencari wanita yang cantik, sederhana, menerimamu apa adanya, tidak perlu dari kelurga terpandang, yang dari keluarga sederhana pun papa tidak keberatan." "Mana ada, Pa, perempuan yang seperti itu, semuanya sama, awalnya saja yang baik, nanti ujung-ujungnya juga uang." Aku melongo tidak percaya mendengar ucapan Raihan, ingin rasanya aku memecahkan kepalanya mengeluarkan isi otaknya yang jahat itu. "Rai, perlu kamu tahu wanita itu masih ada. Buktinya itu ada di samping kamu berdiri, meski dia lulusan sarjana, dia tidak gengsi bekerja sebagai asisten pribadi kamu." Aku mendongak karena Tuan Hakim menyingung pekerjaanku, sedangkan Raihan menatapku dengan tatapan elangnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN