bc

My Perfect Love

book_age18+
897
IKUTI
3.4K
BACA
contract marriage
sweet
another world
chubby
wife
like
intro-logo
Uraian

Aku memegang tangan laki-laki itu secara tak sengaja di sebuah Restoran cepat saji langgananku saat membeli kopi sebagai penghilang penat. Entah kenapa tiba-tiba perutku melilit membuatku terpaksa memegang dan meremas jari-jemarinya dengan keras.

Sepertinya ia tidak keberatan dengan apa yang kulakukan, buktinya saja dia malah memandangku dengan penuh kekhawatiran.

"Kamu baik-baik saja?" Tanyanya padaku tanpa melepaskan pandangannya, matanya yang sedikit kebiruan membuatku berfikir bahwa dia bukan orang asli Indonesia. Ah, sial perutku semakin sakit, ini bukan waktunya untukku terpesona pada pria tampan yang ada di hadapanku.

chap-preview
Pratinjau gratis
My Angel
Aku memegang tangan laki-laki itu secara tak sengaja di sebuah Restoran cepat saji langgananku saat membeli kopi sebagai penghilang penat. Entah kenapa tiba-tiba perutku melilit membuatku terpaksa memegang dan meremas jari-jemarinya dengan keras. Sepertinya ia tidak keberatan dengan apa yang kulakukan, buktinya saja dia malah memandangku dengan penuh kekhawatiran. "Kamu baik-baik saja?" Tanyanya padaku tanpa melepaskan pandangannya, matanya yang sedikit kebiruan membuatku berfikir bahwa dia bukan orang asli Indonesia. Ah, sial perutku semakin sakit, ini bukan waktunya untukku terpesona pada pria tampan yang ada di hadapanku. "Sedikit!" Jawabku singkat, aku mencoba untuk tidak bersikap norak dan pura-pura baik-baik saja, tapi itu hanya angan-anganku, karena satu menit kemudian perutku kembali melilit. "Kita ke rumah sakit sekarang! Aku tidak ingin orang lain menyalahkan ku karena kamu sedang berdiri di dekatku." Ucapnya tanpa ragu, ia membopongku untuk di bawa ke dalam mobilnya di ikuti oleh seorang pria paruh baya yang memakai seragam, mungkin dia seorang supir. Selama perjalanan ke rumah sakit, ia tidak pernah melepaskan genggaman tangannya, matanya yang sendu membuatku merasa nyaman, kalau saja pertemuan ini bukan dalam keadaan seperti ini bisa saja aku akan mengajaknya mengobrol panjang lebar, memintanya nomer telepon dengan tak tahu malu. Keringat dingin mulai membasahi telapak tanganku, dan genggaman tanganku semakin kuat. "Sakit?" Tanyanya dengan penuh kekhawatiran. Aku hanya mengangguk sambil meringis, ia mengusap punggung tanganku dengan lembut, rahangnya yang tegas membuat ketampanannya sempurna, di tambah hidungnya yang Bangir khas keturunan orang luar membuatku tak tahu malu malah menaksirnya. Tiba di unit gawat darurat, ia masih setia menemaniku. Aku pikir dia akan pergi begitu saja setelah aku tiba di rumah sakit, ia terlihat cemas yang kentara sekali dari raut wajahnya. "Apa yang anda rasakan?" Tanya suster yang menghampiri kami dengan matanya yang mencuri pandang pada pria yang berdiri di sampingku. Dasar suster mata jelalatan, kayak gak pernah lihat pria tampan saja. "Perutnya yang sakit." Jawab laki-laki itu, sikapnya seperti suami siaga yang istrinya sedang kesakitan, kalau saja mereka tahu jika kami berdua hanyalah dua orang asing yang berada dalam tempat yang sama, mereka akan mengira bahwa aku adalah perempuan murahan yang memanfaatkan kesempatan demi berkenalan dengan pria tampan. "Apa anda suaminya?" Tanya si suster lagi. "Bukan." Jawabnya singkat. "Kalau Anda bukan wali resminya, Anda harus ...." "Tapi saya tunangannya, saya yakin orang tuanya tidak akan keberatan jika saya yang mengurus dan menjaganya." Potongnya halus, membuat si suster menahan nafas sebentar, karena merasa kecewa pria incarannya ternyata tunangan sang pasien. "Isi formulir pendaftaran pasien dulu, silahkan diisi." Kata suster tadi dengan nada datar. "Dokternya kapan tiba? Kasihan tunangan saya kesakitan." "Sebentar lagi." "Baiklah, di percepat ya, Sus!" Ia duduk menyilang kan kaki seraya menunduk membaca setiap kalimat yang ada di dalam kertas tadi. "Nama kamu?" Tanyanya tanpa mendongak. "Hah?" Jawabku karena memang pertanyaannya terdengar sedikit samar karena sakit yang aku rasakan. "Nama kamu?" Ulangnya lagi dengan lembut, kali ini dia melihat ke arahku, "Ah, lupakan saja! Kamu membawa tanda pengenal?" "Ada di dalam dompet, di dalam tas." Laki-laki itu membuka tas kecil yang ku bawa, ia membawa dompet dan mencari tanda pengenal, semoga saja dia tidak melihat isi dompetku yang lain, bisa-bisa aku terlihat miskin di matanya. Tak berselang lama, sang Dokter pun datang lalu tersenyum pada kami. "Apa yang sakit, Nona?" Tanyanya lebih sopan dari si suster tadi. "Perutnya, Dok!" Jawab laki-laki itu. "Apa anda makan sesuatu sebelum datang ke sini?" Laki-laki itu melihat ke arahku dengan pandangan bertanya, aku menggeleng lemah. "Tidak!" Jawabnya mewakili ku. "Apa Anda alergi terhadap sesuatu, makanan misalnya?" Aku menggeleng, kalau saja aku terkena alergi makanan, mungkin sudah sedari dulu aku mati. "Coba katakan pada Saya, dari tadi Pagi sampai siang ini Anda sudah makan apa saja?" Ia menatapku lagi, dengan susah payah aku mencoba menjawab pertanyaan Dokter. "Tadi pagi, saya hanya makan dua lembar roti tawar. Tapi saya tidak alergi Roti, Dok!" "Mungkin ada makanan lain yang Anda makan selain Roti?" "Tadi hanya pakai selai blueberry, tapi saya juga tidak alergi selai. Karena sudah lama Saya sering mengkonsumsi itu." "Baiklah, Saya akan periksa dulu." Sang dokter mulai memeriksa perutku di tekan-tekannya simetris, tak lupa tekanan darahku juga di periksa. Lalu memberiku pandangan yang tidak aku suka, sepertinya banyak pertanyaan yang ingin diutarakan, tapi ia ragu. "Untuk pemeriksaan lebih lanjut, kami akan mengambil darah anda untuk di periksa di laboratorium agar kami bisa memastikan penyakit apa yang Nona derita." "Bisa 'kah anda memberinya obat pereda sakit, Dok?" Celetuk laki-laki itu. "Maaf, Tuan, saya tidak bisa. Kami tidak akan sembarangan memberikan obat tanpa kami tahu penyakit apa yang di derita pasien, anda tenang saja Nona ini akan baik-baik saja." Laki-laki itu mengangguk ragu, karena melihat wajahku yang sudah memucat, mungkin. "Apa mungkin gara-gara dia meminum kopi, Dok?" Kata laki-laki itu tiba-tiba. Aku dan si dokter melihatnya dengan pandangan bertanya. "Tadi dia minum kopi lebih dari satu gelas." Tambahnya lagi. "Apa benar tadi Nona minum kopi?" Kali ini si Dokter bertanya padaku dengan tatapan menyelidik. Aku hanya mengangguk karena sudah kepalang basah, aku pikir laki-laki itu tidak memperhatikanku saat di Restoran cepat saji tadi. Ah, sial aku pasti di omeli oleh seluruh rumah sakit. Mana kopinya dua cangkir pula. Sang Dokter menyuruh suster untuk mengambil darahku, jujur aku sedikit takut jarum suntik. Laki-laki itu mendekat, kembali menggenggam tanganku lembut. "Masih sakit?" Tanyanya lagi. "Sedikit berkurang dibanding tadi." Terdengar nafas lega dari dia, tangannya mengelus punggung tanganku. Perhatian dia membuatku yakin bahwa di dunia ini masih ada orang baik yang peduli pada orang lain meski orang itu jelas orang asing. "Namaku, Rakana Daniyal. Panggil saja Raka." Ucapnya. "Oh iya, namaku Dela!" Dia tersenyum, padahal tanpa menyebutkan namaku dia sudah tahu dari kartu pengenal yang tadi dia pinta. "Kalau misalkan kamu sibuk, kamu bisa kok tinggalin aku, takutnya ...." "Gak apa-apa, aku gak sibuk. Lagipula aku yang bertanggung sebagai walimu di selembar kertas tadi." Perutku sedikit bisa diajak kompromi kali ini sehingga aku bisa mengobrol dengannya dengan tenang, semua orang menatap ke arah kami. Entah apa yang di pikirkan oleh mereka, entahlah satu yang pasti para suster malah mencuri pandang pada laki-laki yang duduk di sampingku, sepertinya dia jauh lebih menarik dibanding dengan aku. "Kamu tinggal di sini?" Tanyaku setelah beberapa saat kami terdiam. "Belum terlalu lama juga, mungkin baru satu tahun lebih." "Sebelum tinggal di Indonesia, kamu tinggal di mana?" "Di Amerika. Kebetulan ibuku asli sana." "Oh, enak ya bisa hidup di Amerika. Semua fasilitas tersedia dengan mudah." "Begitulah. Kamu pernah ke luar negeri?" Tanya Raka. "Aku pernah tinggal di Singapura selama tiga tahun dan baru pulang sekitar satu bulan yang lalu." "Nanti kapan-kapan aku ajak kamu ke Amerika. Kamu juga bisa tinggal di rumah orang tuaku, lumayankan menghemat biaya hotel." Aku mengangguk antusias seolah apa yang di tawarkannya akan menjadi sebuah kenyataan, padahal setelah keluar dari sini, aku tidak yakin dia akan mengingatku. Kebiasaan orang tampan memang suka begitu, awalnya saja memang manis ke sananya malah semakin pahit. Raka adalah sosok yang sempurna dimataku, di balik wajahnya yang rupawan dia juga baik. Tapi, tunggu! Dia memang dasarnya baik atau mungkin hanya baik pada wanita saja, ah entahlah otakku sudah tidak bisa berpikir lebih jauh lagi. "Di Singapura kamu bekerja atau kuliah?" Tanyanya lagi. "Lebih tepatnya bekerja, kebetulan aku lulus kuliah di Indonesia dan mengadu nasib di negeri orang. Kamu di sini kerja?" "Aku mengurus perusahaan kecil di bidang ekspor dan impor, terus ada cafe juga dan yang lainnya." "Yang lainnya?" "Ya, semacam kerja sambilan lumayanlah buat nambah uang jajan." Jawabnya dengan nada sedikit tak enak hati dan membuatku berhenti bertanya tentang pekerjaannya, lagipula siapa aku yang harus tahu semua seluk beluk dia. "Kamu punya pekerjaan setelah pulang dari sana?" "Ada usaha kecil-kecilan sih sebuah butik kecil, tapi mungkin lebih tepatnya toko baju." Raka mengangguk, ia sedikit berpikir seperti melupakan sesuatu. "Tunggu, kamu bilang tadi belum makan selain makan roti?" Aku mengangguk yakin, akhirnya dia peka juga. Perutku sepertinya memang minta di isi. Ia memanggil suster yang sedang tidak sibuk, "Sus, bisa tolong jaga dia sebentar? Saya mau membeli makanan dulu di depan." "Baik, Tuan." Raka tersenyum padaku, apa mungkin dia akan kembali? Atau memang alasannya saja untuk membeli makan agar bisa keluar dari sini, ah sudahlah aku harus tahu diri memangnya aku siapa dia? Teman bukan, saudara bukan apalagi kekasih. Setengah jam berlalu, aku masih saja melihat ke arah pintu masuk UGD, Raka belum juga kembali. Aku tersenyum sinis, mungkin dia sudah meninggalkanku sendiri ternyata semua pria sama saja. Ponselku berdering, untung saja ada Suster yang memang di tugaskan Raka untuk menemaniku. Dia mengambilnya dan memberikannya padaku, panggilan dari ibuku. Aku bingung harus menjawab apa? Kalau aku jujur berada di Rumah Sakit, gak terbayang bagaimana khawatirnya beliau. Maaf, Bu! Aku tidak bisa mengangkatnya sekarang. "Kenapa tidak diangkat?" Tanya suster yang diam-diam memperhatikanku. "Nanti saja." "Oh iya, laki-laki tadi suami Nona?" "Bukan." "Masa sih? Dia terlihat khawatir melihat kondisi Nona tadi, semua orang yang melihat perhatiannya akan menyangka bahwa kalian berdua suami istri." Aku hanya tersenyum saat Suster itu memuji kebaikan Raka. "Kalau memang bukan suami Nona, lalu dia siapanya Nona?" "Saya tunangannya!" Potong Raka dengan tegas. "Eh, Tuan sudah kembali. Maaf tadi saya hanya sedang mengajak Nona ini berbincang, takutnya dia bosan karena menunggu lama." "Terima kasih, Sus!" Suster tadi pamit, ia merasa bersalah karena mengajakku bicara banyak. Aku pikir Raka juga tidak akan kembali, tapi dia kembali dengan membawa beberapa kantong kresek. Ia membuka plastik bening berisi bubur ayam, dia juga membawa sebuah mangkok yang entah dari mana dia mendapatkannya. Ia mengambil setengah sendok bubur lalu mendekatkannya padaku, jujur bubur ayam ini terlihat seperti tidak enak. Perlahan mulutku di buka, rasa asin membuatku semakin mual. Bagaimanapun aku harus menelannya, aku tidak mau membuat Raka tersinggung. "Enak?" Tanyanya. Aku mengangguk ragu, padahal mulutku terasa pahit. "Kamu harus makan banyak biar bisa cepat sembuh. Oh iya, keluargamu sudah tahu kalau kamu di Rumah sakit?" "Belum." Dia menatapku dengan penuh tanda tanya, aku mengangkat bahuku bingung dengan tatapannya saat ini. Aku hanya memakan tiga suap bubur, itupun terpaksa. Rasanya perutku menolak semua bubur itu. "Maaf, lama menunggu!" Ucap Sang Dokter yang menghampiri kami. "Tidak apa, Dok! Oh iya bagaimana keadaannya?" "Sebelumnya saya perlu memastikan ada hubungan apa antara kalian berdua? Suaminya kah? Kekasihnya atau apanya?" "Saya tunangannya, Dok!" Jawab Raka tegas, sementara aku meringis membenarkan. "Sudah lama hubungannya?" Tanya dokter itu. Ini aneh. Aku bingung dengan pertanyaan sang Dokter, apa penyakitku serius dan aku akan segera meninggal? "Baru enam bulan yang lalu, memangnya kenapa Dok?" "Baiklah, saya akan mengatakannya terbuka pada kalian berdua." Dokter berhenti sesaat, lalu melanjutkan, "Selamat Anda sedang mengandung!" Aku dan Raka serentak saling berpandangan dengan tatapan yang berbeda, ia dengan pandangan bertanya sedang aku dengan pandangan panik. Kemanapun aku pergi ternyata masa lalu itu terus saja menghantuiku.

editor-pick
Dreame-Pilihan editor

bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Tentang Cinta Kita

read
193.7K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
210.7K
bc

Siap, Mas Bos!

read
15.5K
bc

My Secret Little Wife

read
104.9K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
4.1K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
16.0K

Pindai untuk mengunduh app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook