“Iya.” Dio mengangguk. “Eh, gimana May, Sar, Rein?” tanyanya pada ketiga temannya yang sudah lebih dulu janjian untuk pergi ke Bandung lagi akhir bulan ini.
“Gue sih terserah lo aja, Dio,” ucap Reindra. “Kan lo yang punya tempat?”
“Iya, gue sih aman aja,” sahut Sarah.
“Terserah lo Dio,” ucap Mayang. “Gue sih seneng aja kalau rame.”
“Ya udah kalau gitu,” ucap Dio sambil tersenyum pada yang lain, “gimana, kalian mau ikut, kan?”
“Mauuuuu!” sorak Dira, Indah, Sari dan Nurin kompak.
“Gue diajak juga?” tanya Adelio yang tampak sedikit bingung.
“Ya iya lah,” sahut Dio, “ikut juga ya Del, biar cowoknya nggak cuma gue sama Reindra, nih.”
“Iya, Del, ikut lah,” dukung Mayang, “biar Sarah semangat.”
“Rese lo!” tukas Sarah malu sembari menonjok lengan Mayang.
“Aduuh! Ampun!” ujar Mayang pura-pura kesakitan.
Adelio tersenyum malu-malu melihat Sarah yang terlihat malu. “Eh, tapi … hari apa ya, berangkatnya? Hari Jumat malam gue ada pemotretan di studio.”
“Pemotretan buat majalah Style?” tanya Dio.
“Bukan, buat majalah lain,” jawab Adelio.
“Jam berapa?” tanya Dio.
“Jam tujuh,” jawab Adelio. “Yah, mungkin jam sembilan udah selesai.”
“Yang lain gimana? Jumat malam bebas?” tanya Dio.
“Bebas,” jawab yang lain serempak.
“Ya udah kalau gitu kita fleksibelin aja jam berangkat kita dengan jam pemotretannya Adelio,” ucap Dio. “Dia selesai, kita berangkat.”
“Oke! Siiip!” Semua mengangkat ibu jarinya tanda setuju.
“Eh, nggak apa-apa kayak gitu? Gue jadi nggak enak ….” ujar Adelio tampak sungkan.
“Udaaah, enakin aja Bro. Kan kita memang cuma mau jalan-jalan aja. Lagian puncak meteor showernya itu malam Minggu, kok,” ucap Reindra.
“Ha …? Meteor shower?” tanya Nurin bingung.
“Oh iya, kalian pada belum tau ya,” sahut Mayang. “Kita tuh rencananya mau ke villanya Dio akhir bulan ini karena mau liat meteor shower. Jadwalnya akhir bulan ini, menurut informasi dari badan astronomi.”
“Oooh … gitu ….” ucap Nurin sembari membulatkan bibirnya.
“Sekalian mau pemotretan buat majalah Style. Iya kan, May?” tanya Sarah.
“Iya.” Mayang mengangguk.
“Yang mau difoto siapa?” tanya Dira.
“Dio,” jawab Sarah.
“Eh, kan ada Adelio nih, sekalian aja ya, Del. Mau?” tanya Mayang pada Adelio. “Nanti bikin suratnya dulu di kantor.”
“Oke, boleh,” ucap Adelio.
“Oh iya, teleskopnya gimana? Jadi beli hari Jumat?” tanya Sarah pada Dio.
Dio berpikir sejenak. “Kayaknya terlalu mepet waktu kalau Jumat. Kalau besok aja gimana, Sar? Lo bisa nemenin gue?” tanya Dio.
“Bisa. Oke, besok,” jawab Sarah.
“Mayang ikut, ya,” ucap Dio sedikit memaksa sembari tersenyum.
“Oke. Gue ikut,” sahut Mayang. Dan wajah Dio tampak senang sekali.
Keesokan harinya, Dio, Sarah dan Mayang pergi bertiga untuk membeli teleskop. Reindra dan Adelio tidak bisa ikut karena sedang ada urusan masing-masing. Sementara keempat teman kost Mayang dengan penuh kesadaran tidak ada yang meminta ikut karena tidak ingin dianggap tidak tahu diri atau ngelunjak. Mereka sudah cukup senang akan diajak ke Bandung untuk menginap di villa Dio minggu depan.
Mayang, Dio dan Sarah sudah berada di sebuah toko yang menjual peralatan foto dan teleskop di dalam sebuah mall besar. Toko yang terletak di lantai tujuh gedung mall itu terlihat lengkap sekali. Sarah sibuk berbicara dengan si pemilik toko tentang spesifikasi dan kualitas masing-masing perangkat yang ditawarkan. Sementara itu Mayang dan Dio yang kurang mengerti tentang hal seperti itu, melihat-lihat semua peralatan yang didisplay di sana. Beberapa teleskop diletakkan di sisi dinding toko di mana terdapat jendela-jendela lebar yang mengarah ke luar. Hal ini disengaja agar para pengunjung atau pembeli bisa melihat kapasitas teleskop yang hendak mereka beli.
“May, May, sini deh,” bisik Dio sembari melambai pada Mayang, menyuruhnya mendekat.
“Apa?” sahut Mayang sembari bergerak mendekati Dio.
“Ini cobain, deh,” ucap Dio sembari menunjuk pada teleskop di depannya. “Keren banget, kita sampai bisa liat orang yang lagi ada di gedung yang jauh di sana itu. Tadi gue bisa liat dia pakai baju petugas keamanan, ada name tagnya di d**a. Namanya Sugiono, loh.”
Sontak Mayang tertawa cekikikan, mengerti maksud Dio. Dio ikut terkekeh.
“Parah lo, Dio. Ngintipin orang,” ucap Mayang geli.
“Ya kan gue niatnya mau ngeliat ke langit, tapi kan masih siang. Cuma silau aja jadinya. Makanya gue arahin ke puncak gedung di sana itu. Eh, malah ketemu Pak Sugiono,” ucap Dio sembari cengengesan. “Nih, cobain lo lihat. Ini kayaknya bagus, tapi gue sih terserah Sarah aja. Biar dia yang pilihin.”
“Oke, coba gue liat,” ucap Mayang sembari mendekat pada teleskop yang ditunjuk oleh Dio, lalu membungkuk di atasnya untuk mengintip melalui lubang lensa.
Selama beberapa detik Mayang berusaha memfokuskan pandangannya untuk melihat ke kejauhan. Setelah ia mendapatkan fokus, ia dapat melihat puncak gedung di seberang. Tetapi tidak tampak security bernama Sugiono yang disebutkan oleh Dio tadi. Mayang menggeser-geser sedikit teleskop itu ke kanan dan ke kiri untuk mencarinya di balik pilar-pilar bagian dalam gedung.
Dan tiba-tiba saja, sepasang mata merah menyala menatapnya dari balik salah satu pilar.
Mayang terpekik, dan langsung melompat mundur. Tubuhnya menubruk Dio yang berdiri di belakangnya.
“May! Kenapa?” tanya Dio yang langsung memegangi tubuh Mayang yang limbung.
“May, ada apa?” tanya Sarah yang bergegas mendekati mereka.
“Eh … oh … ng … nggak, nggak ada apa-apa, hehehe ….” jawab Mayang, menyadari tatapan si pemilik toko yang heran melihatnya dari kejauhan.
Dio yang mengerti situasinya, langsung mengalihkan pembicaraan. “Eh, jadi gimana, Sar? Yang paling bagus yang mana?” tanya Dio sembari menepuk pelan lengan Mayang, memberi isyarat agar Mayang tenang dan mereka akan membahasnya nanti saja.
“Oh, iya,” ucap Sarah yang juga mengerti kondisinya. “Jadi, katanya yang paling bagus itu yang ini,” ucap Sarah sembari menunjuk sebuah teleskop yang ada di dekatnya. “Kualitas daya tangkap gambar pada lensanya paling bagus dan jernih, terus juga bisa melakukan perekaman sampai berjam-jam, terus mode auto zoom in dan zoom outnya halus dan mulus banget perpindahannya. Bodynya juga ringan, lebih nyaman untuk dibawa ke mana aja meskipun ukurannya agak besar.”
“Hmm ….” Dio memerhatikan teleskop itu. “Desainnya juga keren, ya.”
“Iya. Tapi ... harganya emang mahal banget sih, ini ….” ucap Sarah yang merasa ragu Dio akan membeli teleskop seharga dua puluh juta lebih itu.
Dio menunduk dan meraih label harga yang tergantung pada teleskop tersebut. “Ya udah, gue beli yang ini.”
Sarah bengong. “Serius lo mau beli yang ini? Nggak beli yang biasa aja?” tanyanya sembari menunjukkan teleskop lain yang ada di ruangan itu.
Dio menggeleng. “Ngapain tanggung-tanggung. Lagipula kalau untuk jangka panjang, kan lebih baik beli yang bagus sekalian. Fenomena alam selain meteor shower kan ada banyak. Lagipula, biarpun nggak ada fenomena alam istimewa, melihat langit di malam hari adalah hal yang menyenangkan untuk dilakukan setiap saat. Iya kan, May?” tanya Dio sembari menoleh pada Mayang.
“Ha … ng … iya, bener,” ucap Mayang sambil mengangguk. Selain masih kaget dengan sepasang mata merah yang menatapnya dari dalam gedung di ujung sana tadi. Mayang juga merasa malu mendengar ucapan Dio tentang ‘pemakaian teleskop jangka panjang’ tadi. Seolah Dio sudah menentukan plot bahwa dirinya dan Mayang akan menggunakan teleskop itu setiap hari setelah mereka sudah hidup bersama nanti. Namun Dio tampak senang Mayang mengiyakan ucapannya.
“Ya udah Sar, gue beli yang ini aja,” ucap Dio.
“Oke, kalau emang udah yakin. Sebentar ya, gue urus dulu,” ucap Sarah sembari berbalik kembali menemui si pemilik toko untuk mengambilkan teleskop yang mereka inginkan di dalam gudangnya. Sekalian Sarah akan melakukan pengecekan menyeluruh terhadap barang yang hendak mereka beli itu.
Dio kemudian melingkarkan lengannya di punggung Mayang dan menoleh menatap wajah Mayang.
“May, lo nggak apa-apa?” tanya Dio pelan.
Mayang mengangguk. “Iya nggak apa-apa,” jawab Mayang.
“Tadi lihat apa, sih?” tanya Dio penasaran.
“Itu loh ... yang gue liat waktu di villa lo malam itu,” bisik Mayang, sembari melirik takut-takut ke arah gedung di seberang sana.
“Hah … mata yang warna merah itu …?” tanya Dio ikut berbisik juga. Mayang mengangguk.
Dio segera berbalik dan mendekat kembali ke lubang lensa teleksop tersebut, lalu menempelkan matanya dan mengamati sesaat.
“Nggak ada apa-apa, May. Si Pak Sugiono juga udah nggak kelihatan lagi,” ucap Dio. “Lo mau lihat lagi, nggak? Biar gue temenin di sini.”
Mayang menatap gedung di seberang sana dengan perasaan was-was, kemudian melirik teleskop di depannya dengan gugup. Lensa teleskop yang sangat canggih membuatnya bisa melihat terlalu jelas, bahkan hal yang tidak ingin dilihatnya.
“Kalau lo takut, ya udah nggak usah. Nggak apa-apa, May. Jangan dipaksain,” ucap Dio.
“Tapi … gue penasaran ….” desah Mayang.
“Ya udah, liat lagi aja. Pelan-pelan aja biar lo nggak kaget,” ucap Dio. “Gue pegangin biar nggak terlalu takut.” Dio meraih satu tangan Mayang dan menggenggamnya dengan erat.
Mayang langsung merasa tubuhnya seperti dialiri oleh listrik bertegangan rendah. Kehangatan tangan Dio terasa melindungi, membuatnya merasa berani untuk kembali melihat melalui lubang teleskop. Kemudian Mayang menunduk dan perlahan menempelkan matanya pada lubang. Ia menahan napas, menunggu fokus matanya selaras dengan lensa teleskop.
Mayang dapat melihat sebuah ruang kosong di dalam gedung di seberang sana. Namun tak terlihat apapun lagi selain. Sepasang mata merah yang bersembunyi di balik pilar tadi sudah tidak ada. Petugas security bernama Sugiono juga tak tampak di manapun. Mayang kembali mengangkat wajahnya dari lubang teleskop dan menoleh menatap Dio.
“Nggak ada apa-apa,” ucapnya sambil menggeleng.
“Ya udah, mungkin tadi lo salah lihat. Mungkin itu cahaya lampu atau apa,” ucap Dio menenangkan, walau dalam hati ia menjadi sedikit cemas dengan kondisi Mayang. Ia khawatir jika suatu saat Mayang sedang berada di tempat umum lalu terkejut oleh sesuatu yang dilihatnya, entah itu nyata atau tidak, dan menyebabkan ia bergerak secara reflek tanpa kendali, dan bisa celaka.
“Iya … mungkin ….” sahut Mayang ragu.
“Oke, udah!” ucap Sarah yang tiba-tiba saja sudah berada di sebelah mereka. “Tinggal pembayarannya aja di kasir sana.”
Sontak Dio dan Mayang melepaskan pegangan tangan mereka yang tanpa sadar belum dilepaskan sejak tadi.
“Oh, oke,” ucap Dio dengan wajah sedikit tersipu. “Gue ke kasir dulu ya, May, buat bayarin.”
“Iya,” jawab Mayang.
Setelah Dio pergi, Sarah segera mendekati Mayang. “Tadi ada apa sih, May? Lo kenapa?” tanya Sarah penasaran.
“Tadi itu ….” Mayang kemudian menceritakan pada Sarah, apa yang dilihatnya di dalam gedung jauh di seberang sana.
“Tapi barusan lo liat udah nggak ada?” tanya Sarah.
“Iya. Udah nggak ada.” Mayang mengangguk.
“Matanya persis sama kayak yang lo lihat di villa Dio waktu malam itu?” tanya Sarah.
Mayang kembali mengangguk. Kemudian Sarah segera beringsut ke depan Mayang untuk melihat melalui teleskop yang dimaksud oleh Mayang. Selama beberapa detik Sarah membungkuk di atas teleskop itu, menggerakkannya ke kiri dan ke kanan untuk mencari sepasang mata yang dikatakan oleh Mayang, tetapi tidak menemukannya di mana-mana.
“Nggak ada, May,” ucap Sarah sambil kembali menegakkan tubuhnya. Ia menoleh menatap Mayang dengan bingung. “Lo tadi nggak sedang ngebayangin hal yang serem-serem kan, May?” tanya Sarah.
“Nggak.” Mayang menggeleng yakin. “Tadi itu gue malah lagi becanda sama Dio. Waktu Dio lihat ke gedung seberang sana, dia lihat security yang name tag dibajunya tulisannya ‘Sugiono’. Jadi kita ketawa-ketawa berdua. Setelah itu pas gue ngeliat lewat teleskop, si Pak Sugiono itu nggak ada. Yang ada malah mata merah itu. Ngintip dari balik pilar yang di sebelah kanan.”
“Hmm ….” Sarah mengerutkan dahi. “Kalau gitu ... itu bukan halusinasi yang disebabkan oleh rasa takut yang ditanamkan oleh seseorang atau kondisi sekitar pada saat itu,” ucapnya. “Kalau waktu di puncak, kan suasananya emang agak creepy karena udah malam hari. Jadi masih ada kemungkinan lo halusinasi karena terpengaruh suasana luar ruangan yang gelap dan dikelilingi pepohonan dan semak-semak.”
Mayang mengangkat bahu. “Gue sih waktu itu nggak ngerasa ketakutan sama sekali, ya. Malah waktu itu kita lagi ketawa-ketawa sambil berenang. Kayaknya aneh kalau gue tiba-tiba ketakutan tanpa alasan.”
“Iya, sih ….” ucap Sarah menyetujui.
“Udah gaes,” kata Dio yang sudah kembali dari kasir. “Tinggal kita angkut aja ke mobil nanti. Oh iya, mau ngopi-ngopi dulu nggak, sambil makan siang? Kalau mau, barangnya kita titip dulu di sini. Nanti kalau udah mau pulang baru kita ambil lagi. Gimana?”
“Boleh tuh,” sahut Mayang. “Gue juga udah mulai laper, nih.”
“Sama,” ucap Sarah.
“Oke. Kita ke kafe yang di lantai atas aja biar enak pemandangannya,” ucap Dio yang diangguki oleh Mayang dan Sarah.
Ketiga orang itu tiba di kafe lantai paling atas gedung mall. Dengan ruangan outdoor berbentuk sedikit melingkar, area tempat duduk kafe tersebut menyajikan pemandangan kota Jakarta yang penuh dengan bangunan dan kemacetan jalan raya.
“Yuk, langsung pesen aja,” ucap Dio sambil mengangsurkan buku menu di atas meja kepada Mayang dan Sarah. Segera saja kedua perempuan itu menyimak daftar menu untuk menentukan pesanan masing-masing.
Setelah mereka memesan makanan dan minuman kepada waitress yang sedang melayani, ketiganya duduk santai bersandar pada kursi masing-masing sambil menikmati pemandangan kota di luar kafe.
“Ngomong-ngomong, Sar,” ucap Dio, “lo udah jadian sama Adelio?”
Sontak wajah Sarah memerah. “Belum,” jawabnya singkat.
“Bukannya waktu itu udah pernah lo tolak, kata Mayang?” tanya Dio usil. Mayang terkikik geli.
“Sialan lo May, pake diceritain ke Dio pula,” maki Sarah pura-pura kesal. “Iya sih, waktu itu emang udah pernah gue tolak. Tapi Adelio bilang, kalau nggak mau pacaran juga nggak apa-apa. Asal masih boleh jalan dan nongkrong bareng. Soalnya katanya dia ngerasa nyaman sama gue,” jelas Sarah.
“Dia nyaman sama lo karena lo nggak pernah ngejudge atau ngebully dia karena tampilannya, kan,” ucap Mayang.
“Iya, sih. Yah gue kan, tukang foto. Kalau tukang foto hobinya julid, semua foto model gue pasti udah gue julidin, deh,” seloroh Sarah sembari tertawa. Dio dan Mayang ikut tertawa.
“Tapi … kenapa waktu itu lo tolak, Sar?” tanya Dio penasaran.
“Yah … gue ngerasa Adelio itu nggak kaya cowok,” jawab Sarah. “Maksud gue, kalau dijadiin pacar, kurang gimanaaa gitu.”
“Terus sekarang? Lo udah berubah pendapat tentang Adelio?” tanya Dio.
“Kayaknya sih gitu, gara-gara dia nih, sama Reindra,” ucap Sarah sembari menunjuk ke arah Mayang.
“Lah, kok gue?” tanya Mayang heran.
“Iya, kan waktu itu lo sama Reindra bilang, dalam sebuah hubungan antar sepasang manusia itu, yang penting ada porsinya masing-masing, nggak perlu terlalu berpatokan sama tugas masing-masing jenis kelamin. Inget kan, kalian ngomong gitu?” tanya Sarah pada Mayang.
“Ooh … iya,” sahut Mayang yang sudah ingat kembali kata-katanya saat itu pada Sarah. “Menurut gue sama Reindra, kalian itu klop. Yang satu kuat, jago bela diri dan tegas. Yang satu lagi lembut, cenderung mengalah, dan perlu dilindungi. Pas, kan? Nggak perlu dilihat siapa yang harus melindungi dan siapa yang harus dilindungi. Yang penting di antara dua orang yang berpasangan itu udah ada porsinya masing-masing.”
“Ooh … I see ….” Dio mengangguk-angguk mengerti. “Nggak harus cowok yang melindungi cewek, dan nggak harus cowok yang selalu mengambil keputusan akhir. Difleksibelin aja. Misalnya gitu, kan?” tanya Dio mengonfirmasi pada Mayang.
“Bener,” ucap Mayang sambil mengangguk. “Yang penting kan, kalian yang ngejalanin ngerasa bahagia.”
Sarah menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. “Tapi masalahnya … masih banyak orang yang menganggap aneh hal kayak gitu. Gue kasian sama Adelio kalau nanti banyak orang yang akan lebih ngebully dia. Masa ceweknya lebih kuat dari cowoknya, misalnya kayak gitu,” keluh Sarah.
Mayang tersenyum melihat Sarah. Sekarang ia sudah tahu pasti bahwa Sarah memang menyukai Adelio. Dan Sarah tidak merasa malu dengan kondisi Adelio, ia justru mencemaskan perasaan dan kenyamanan Adelio jika berpasangan dengannya. Terlihat dari cara Adelio menceritakan tentang orang tuanya yang tidak mendukung penampilan dan bahkan kariernya, Sarah hanya tidak mau Adelio lebih banyak lagi diejek bahkan dihujat oleh orang lain nantinya.
“Ya udah dicoba aja dulu dijalanin, Sar. Nggak usah mikir pandangan orang lain. Pikirin diri kita sendiri dulu aja. Oke,” ucap Mayang.
“Lagipula orang-orang di sekeliling lo nggak semuanya berpikir negatif, kan?” ucap Dio. “Contohnya gue, Mayang, Reindra dan temen-temen kost Mayang, kemarin kami asyik-asyik aja tuh, liat kalian berdua. Kalau sekadar kaget atau heran saat awal sih, masih wajar. Tapi kan setelah itu kita bisa berbaur dengan baik. Nggak ada yang judging kalian.”
“Hmm … bener juga,” ucap Sarah sembari nyengir. “Semalam juga waktu pulang dari kafe Daun, Adelio bilang dia suka sama kalian semua. Kalian asyik, katanya. Santai semua.”
“Tuh, kan,” ucap Dio dan Mayang berbarengan.
Tak lama kemudian makanan dan minuman yang mereka pesan telah datang. Mayang, Sarah dan Dio langsung mengisi perut mereka yang telah lapar. Sarah berkali-kali tersedak dan melempar tisu bekas kepada keduanya saat Mayang dan Dio iseng meledeknya tentang Adelio dan bagaimana gaya pacaran mereka jika sudah jadian nanti. Mereka sibuk bercanda dan heboh sendiri sampai tak sadar ada seseorang yang telah berdiri di samping mereka.
“Halo, Dio,” sapa suara perempuan di belakang Dio.
Semua serempak menoleh, dan terkejut melihat sosok Dea tiba-tiba sudah berdiri di dekat mereka. Tangannya yang satu menjinjing beberapa tas kertas bermerek mahal. Pakaian dan dandanannya terlihat sangat glamour, bahkan terlalu berlebihan untuk ukuran mall besar seperti ini.
“Eh, Mbak Dea,” sapa Dio datar. Sementara Mayang dan Sarah hanya diam saja, karena memang yang disapa hanya Dio saja.
“Lagi ngapain di sini?” tanya Dea tak bermakna, karena sudah jelas Dio sedang makan.
“Lagi makan,” jawab Dio singkat. Ia semakin tak suka dengan ketidaksopanan Dea yang mengabaikan Mayang dan Sarah yang padahal ada di depan matanya. Kemudian dengan tidak tahu malunya, Dea langsung duduk pada kursi kosong yang ada di sebelah Dio.
“Oooh … lagi makan,” ucap Dea sambil tersenyum manis. Terlihat sekali ia berusaha menarik perhatian Dio dengan senyumya, meskipun Dio tidak melihat ke arahnya melainkan tetap sibuk dengan makanan di piringnya. “Eh, Dio, aku weekend ini mau ada perlu ke Bandung. Boleh mampir ke villa kamu yang di Lembang, nggak?” tanya Dea.
Kali ini Dio menoleh, menatap Dea. “Maaf, villanya mau dipakai untuk acara,” jawab Dio datar.
“Oh, ada acara apa?” tanya Dea ingin tahu.
“Barbeque party sama temen-temen gue,” ucap Dio asal.
“Ohh … waah, gue boleh gabung nggak? Biar tambah rame,” tanya Dea frontal, dengan nada suara digenit-genitkan.
“Kalau mau gabung, izin dulu sama Mayang,” ucap Dio dengan nada tegas, “soalnya barbeque party itu acara kantornya Mayang, majalah Style. Yang datang teman-temannya Mayang semua, dan mereka udah jadi temen gue sekarang. Kan villa itu udah gue sewain ke majalah Style.”
Seketika wajah Dea merah padam. Ia melirik sekilas pada Mayang yang duduk tenang di hadapannya, tampak asyik sendiri dengan makanannya dan tak menggubris keberadaan Dea. Padahal jelas-jelas Dea meminta untuk ikut bergabung dalam pestanya. Dan sikap Mayang yang seperti itu berhasil membuat Dea kesal dan merasa tersinggung.
“Oh, gitu. Ya udah kalau gitu. Nggak usah, deh. Gue nggak jadi ke Bandung. Gue balik dulu ya, Dio. Sampai ketemu,” ucap Dea dengan kalimat beruntun, dan langsung bangkit lalu meninggalkan meja mereka.
Setelah beberapa detik hening, terdengar suara benturan keras. Dio dan Mayang menoleh ke arah Sarah, melihat gadis itu sedang mengadu tinju dengan kedua tangannya.
“Iiih, gemes gue! Pingin gue tonjok mukanya!” geram Sarah emosi.
“Sabar, sabar, Sar,” ucap Dio. “Dia udah malu sendiri kok, tadi. Makanya dia langsung pergi. Oh iya, maaf ya, May, gue jawabnya asal-asalan tadi. Gue sengaja nyebut nama kantor lo biar dia nggak bisa ngomongin macam-macam tentang pribadi lo dan lebih fokus ke profesionalisme kerja aja.”
Mayang tersenyum. “Nggak apa-apa. Thanks ya, Dio,” ujar Mayang.
“Hiihh! Dea itu jelas-jelas naksir lo Dio! Dia usaha banget mau ngedeketin lo!” tukas Sarah yang masih merasa gusar.
“Ya biarin aja. Yang penting kan gue nggak naksir dia,” ucap Dio kalem sembari melirik ke arah Mayang yang langsung menunduk menatap piringnya yang telah kosong dengan pipi bersemu merah.