Kembali ke Bandung

2063 Kata
“Halo, Del? Udah selesai?” tanya Sarah sembari mendekatkan telingnya pada ponsel. Ia diam sejenak menyimak jawaban Adelio di seberang sana.   “Oh, oke. Kita di depan nih, di titik drop off. Mobil MUV putih gede,” ucap Sarah kemudian menutup sambungan teleponnya.   “Udah selesai si Adelio?” tanya Dio sembari menoleh ke belakang dari baalik kemudi.   “Udah. Lagi turun dia,” jawab Sarah.   Saat ini, Mayang, Dio, Sarah, Reindra, Dira, Sari, Indah dan Nurin sedang duduk di dalam mobil milik Dio yang akan membawa mereka ke Bandung. Sebuah mobil MUV yang sudah dimodifikasi dengan sepuluh tempat duduk termasuk driver dengan bagasi cukup luas di bagian belakang. Reindra bahkan membawa tiga buah tenda atap besar yang sudah ia pak dengan rapi, untuk mereka gunakan nanti untuk menonton meteor shower sekaligus untuk dekorasi pemotretan yang akan dilakukan oleh Sarah.   “Adelio lagi pemotretan apa sih, Sar?” tanya Indah penasaran sambil menjulurkan lehernya dari bangku belakang.   “Buat brand butik katanya, tapi gue lupa namanya. Punyanya artis siapa gitu,” jawab Sarah.   “Wow … keren,” komentar Indah kagum.   Seumur hidup Indah, Sari, Nurin dan Dira tak pernah punya teman seorang model atau selebritis di bidang apapun. Pertemanannya dengan Mayang yang seorang pemimpin redaksi di sebuah majalah fashion membuat dunia mereka terasa sedikit berbeda dari sebelumnya. Tadinya mereka berpikir orang-orang yang bergerak di bidang entertainment itu akan selalu glamour, bersosialisasi di tempat mahal dan eksklusif, dengan penampilan selalu stylish setiap hari. Ternyata tidak. Bahkan Adelio yang jelas-jelas seorang model saja terlihat santai seperti saat ini.   Laki-laki dengan tampilan setengah perempuan ini tampak melangkah keluar dari lobby samping gedung menuju ke arah mereka. Ia hanya mengenakan celana jeans ketat model slim dengan sepatu converse standar yang sudah sedikit belel, dan kaos oblong putih. Di bahunya tersandang ransel yang tampak sangat tidak baru, sepertinya berisi pakaiannya. Namun rambutnya yang tampak terawatt dan melambai dengan indah membuat orang yang melihatnya tetap akan tahu bahwa ia adalah ‘seseorang’ yang masuk dalam kalangan selebritas.   “Halo,” sapa Adelio saat membuka pintu mobil. “Maaf ya gaes, gue lama keluarnya,” ucapnya sembari mendudukkan diri pada kursi kosong di samping Sarah.   “Nggak apa-apa, Del,” sahut Dio, “lo di lantai atas ya tadi pemotretannya?”   “Iya.” Adelio mengangguk. “Di rooftop, ada studio foto sekaligus kafe outdoor gitu.”   “Pantesan lama turunnya,” ucap Sarah. “Ya udah yuk kita jalan sekarang.”   “Oke! On the way to Lembang!” ucap Dio yang langsung menjalankan mobilnya. “Oh iya, nanti kita langsung ke villa aja, ya. Nggak usah mampir dulu. Soalnya Mang Ujang sama istrinya katanya udah siapin masakan buat makan malam kita nanti. Makanan rumahan ala sunda gitu. Nggak apa-apa, kan?”   “Nggak apa-apa banget, doong!”   “Waah, asyiikk! Baik banget Mang Ujang sama istrinya!”   “Oke!”   “Siaapp!”   “Yaah denger makanan jadi keburu laper gue, nih!”   “Yee dasar perut karet!”   Selama perjalanan kesembilan orang yang mendadak menjadi sangat akrab itu banyak tertawa dan bercanda. Ada yang mempertengkarkan musik yang diputar, berebut camilan, sampai saling menggoda satu sama lain. Hingga tanpa terasa pukul dua belas malam lewat tiga puluh menit mereka telah tiba di villa Dio.   “Waaaw … keren banget villa lo, Dio!” puji Sari saat mobil yang mereka tumpangi sudah berhenti tepat di depan gerbang villa.   “Thanks,” ucap Dio, “sebentar ya, gue buka gerbang dulu.”   Namun baru saja Dio membuka pintu, dari arah samping villa tampak Mang Ujang tergopoh-gopoh keluar. Laki-laki paruh baya itu sepertinya sudah menantikan kedatangan Dio dan teman-temannya sejak tadi karena terlihat begitu sigap.   “Saya bukain, Mas Dio!” seru Mang Ujang sambil setengah berlari.   “Iya, Mang Ujang, makasih ya,” ucap Dio sembari masuk kembali ke dalam mobil.   Setelah gerbang villa dibukakan lebar-lebar oleh Mang Ujang, Dio melajukan mobilnya perlahan hingga memasuki area garasi di sisi paling ujung villa.   Setelah itu semua satu persatu turun dari mobil, menggeliat sesaat untuk melurukan tubuh yang duduk terus selama beberapa jam perjalanan tadi. Dio benar-benar tidak mampir sedikitpun bahkan di rest area. Mungkin karena tidak enak pada Mang Ujang yang menantikan kedatangan mereka atau karena jalanan memang tadi tidak terlalu macet seperti biasanya yang terjadi saat weekend pada jalur Jakarta ke Bandung.   “Saya bawakan barang-barangnya ya, Mas, Mbak,” ucap Mang Ujang ramah menawarkan diri.   “Oh ya Mang Ujang, kalau Mayang, Sarah sama Reindra kan udah kenal, ya. Nah, ini ada temen-temen baru saya. Adelio, Dira, Nurin, Indah, sama Sari,” ucap Dio memerkenalkan teman-teman barunya.   “Oh ya, kenalkan Mbak, Mas, saya Ujang. Kerja di sini udah sejak Mas Dio masih remaja,” ucap Mang Ujang sambil menyelami semua dengan ramah. “Mari, mari, masuk. Itu di dalam udah disiapkan makan malamnya sama istri saya.”   “Oke, Mang Ujang,” ucap Dio, “yuk gaes, kita sekalian bawa barang-barang kita ke kamar, yah.”   Dan semuanya mengikuti Dio masuk ke dalam villa. Dira, Sari, Nurin dan Indah tampak terkesima melihat halaman villa yang begitu luas dan tampak artistic dihiasi oleh lampu-lampu taman yang indah.   “Ya ampun Dio, villa lo cantik banget inii. Gemes gue, pingin foto-foto!” komentar Indah terkagum-kagum.   “Tenang, Ndah, masih banyak waktu,” ucap Reindra. “Sekarang kita makan dulu, laper nih!”   “Iya bener, perut gue udah bunyi kruyuk-kruyuk dari tadi,” komentar Sarah jujur, membuat Adelio tertawa.   Mereka pun memasuki ruang depan villa dan berhenti sesaat untuk mengagumi desain bagian dalamnya.   “Oh iya, ini kita tidurnya mau disatuin rame-rame atau sesuai jumlah tempat tidur dalam satu kamar aja?” tanya Dio. “Kan di lantai satu ada dua kamar, di lantai tiga ada tiga kamar. Terserah kalian mau gimana. Kalau mau pisah lantai, cowok-cowok bisa di bawah, terus cewek-cewek di atas. Tapi kalau mau disatuin, ini kasur-kasur yang di bawah bisa dibawa ke atas.”   “Naah, gitu aja!” ucap Sarah. “Enakan rame-rame. Yah paling tidak, kamarnya sebelahan. Kalau pisah lantai kan nggak enak, kejauhan.”   “Ciyeee … yang nggak mau jauh-jauhan,” ledek Sari pada Sarah sembari melirik Adelio. Sontak wajah Sarah dan Adelio sama-sama memerah, diikuti oleh kikik tawa yang lain.   “Bukan gitu maksud gueeee!” tukas Sarah kesal. Namun Adelio segera menanggapi dengan membelai lengan Sarah. “Gitu juga nggak apa-apa kok, Sar,” ucapnya tenang, membuat wajah Sarah semakin merah padam.   Sontak saja semuanya terbatuk-batuk sembari menolehkan kepala ke arah lain, seolah-olah merasa sungkan melihat keintiman Sarah dan Adelio. Padahal diam-diam mereka berusaha mengintip kelanjutan dari adegan membelai lengan tadi sembari menahan tawa. Mereka tahu dengan sikapnya yang tomboy dan cuek, Sarah pasti merasa risih dengan perlakuan Adelio yang cenderung lebih menunjukkan keromantisan. Sebuah keterbalikkan yang justru terlihat manis dan hangat di mata mereka.   “Mang Ujang, kami mau tidur di atas aja semuanya. Jadi tolong bawain kasur-kasur tambahan buat di atas, ya. Jangan lupa kamar satu dan kamar dua digabungkan,” ucap Dio pada Mang Ujang.   “Baik, Mas Dio,” ucap Mang Ujang.   “Kamar satu dan kamar dua itu yang mana, Dio?” tanya Mayang. “Emangnya bisa digabungin?”   Dio tertawa kecil. “Waktu itu kalian nggak nyadar yah, kalau kamar yang kalian tempati itu sebenarnya bisa digabungkan?” tanyanya.   Mayang menggeleng. Sementara Reindra dan Sarah tercengang.   “Emang ada pintu penghubungnya ya? Kok gue nggak tau, ya?” tanya Reindra heran.   “Iya, ada,” ucap Dio. “Dinding di belakang meja cermin itu bisa dilipat sebenarnya. Cuma karena memang kami nggak pernah menggabungkan dua kamar jadi akhirnya ditaruh meja rias di depannya.”   “Ooh … gitu,” ucap Sarah dan Mayang sembari mengangguk-angguk.   “Ya udah, sekarang kita makan dulu aja yuk,” ajak Dio, “itu istrinya Mang Ujang udah siapin makan di ruang makan.”   Kemudian semuanya mengikuti Dio menuju ruang makan lantai satu yang lebih besar dibandingkan lantai dua. Sampai di ruang makan sudah tampak meja makan yang besar itu dipenuhi oleh berpiring-piring makanan. Semuanya menu ala rumahan khas sunda.   “Silakan Mas, Mbak,” ucap istri Mang Ujang mempersilakan Dio dan teman-temannya duduk di kursi yang sudah disiapkan.   “Woww … kayak lagi di restoran sunda aja, nih,” ucap Sarah terkagum-kagum. “Teteh masak sendiri ini semua?” Sarah bertanya pada istri Mang Ujang.   “Iya, Mbak, saya yang masak sendiri,” jawabnya sopan, “maaf kalau nanti rasanya kurang cocok sama selera Mbak dan Mas semua.”   “Pasti cocok Teh,” ucap Mayang ramah pada istri Mang Ujang. “Kan, Teteh yang waktu itu bikin kecimpring, kan? Enak loh, kecimpringnya. Jadi masakan yang lainnya pasti enak juga.”   “Oo … ini Teteh yang bikin kecimpring yang waktu itu lo bawain buat kita, May?” tanya Nurin antusias. “Enak banget loh, Teh. Renyah dan gurih!”   “Terima kasih, Mbak,” ucap istri Mang Ujang yang tampak tersipu-sipu mendapatkan pujian langsung dari tamu-tamunya.   “Ya udah sekarang yuk kita makan,” ucap Dio. “Mang Ujang sama Teteh udah makan belum? Ayo, kita makan sama-sama,” ajak Dio.   “Wah, terima kasih Mas Dio,” jawab istri Mang Ujang. “Saya sama Mang Ujang mah sudah makan tadi jam tujuh. Jamnya makan malam.” Ia tertawa kecil, membuat Dio dan yang lainnya sadar bahwa saat ini sudah lewat tengah malam.   “Oh, iya juga ya,” ucap Dio. “Nggak nyadar udah jam satu pagi. Ini makan malam atau makan dini hari, nih?”   “Makasih loh, Teteh dan Mang Ujang udah nyiapin makan malam buat kami tengah malam begini,” ucap Mayang. “Maaf udah ngerepotin.”   “Ah, nggak apa-apa, Mbak,” ucap istri Mang Ujang. “Saya malah senang. Silakan dinikmati.”   Kemudian setelah istri Mang Ujang meninggalkan ruang makan, kesembilan orang yang sudah lapar itu langsung saja duduk di kursi-kursi yang mengitari meja dan mulai menyantap makan malam mereka yang sudah sangat terlambat itu. Menu yang disediakan oleh istri Mang Ujang sangat lengkap. Nasi hangat, ikan bakar, ayam goreng, tahu dan tempe goreng, bakwan jagung, pepes tahu, sayur asem, tumis sayuran dan tak lupa sambal. Persis seperti menu di warung makan lesehan yang banyak terdapat di daerah Jawa Barat.   Mereka bersembilan sangat menikmati makan malam yang kemalaman itu. Semuanya merasa rugi jika tidak menghabiskan masakan istri Mang Ujang yang tak kalah dengan restoring sunda terkenal di kota Bandung.   “Wuiih … gila! Gue nggak sadar loh, gue udah makan sampe tiga piring!” ucap Reindra sembari menggeleng-gelengkan kepala menatap piringnya yang telah kosong.   “Emang biasanya lo makan berapa piring, Rein?” tanya Adelio ingin tahu.   Reindra mengerutkan dahi sejenak. “Mmm … yah, kira-kira dua setengah piring, deh.”   “Ya elah dikit amat bedanya. Ngapain kaget,” tukas Adelio pura-pura kesal.   Reindra tertawa terbahak-bahak melihat Adelio yang sudah banyak berekspresi itu. Sejak menjadi teman seperjalanan dengan delapan orang yang berisik dan banyak drama, Adelio menjadi tampak lebih hidup dalam berinteraksi.   “Biasa makan banyak, tapi kok lo nggak gemuk sih, Rein?” tanya Nurin yang tampak senang duduk di sebelah Reindra sejak tadi.   “Soalnya dia banyak tingkah, jadi kalorinya langsung kebakar lagi,” ucap Sarah menyambar, membuat Reindra tak jadi menjawab dan mendelik padanya.   “Waah, bagus dong!” komentar Nurin sambil menatap Reindra, sama sekali tidak berusaha menutupi ekspresi tertariknya pada Reindra.   “Ya udah, kalau udah pada selesai makan, kita siap-siap istirahat, yuk,” ajak Dio. “Nanti yang mau mandi, sebagian di bawah aja. Kalau di atas semua nanti antrinya lama. Di kamar bawah ada dua kamar mandi, terus ada kamar mandi luar juga, di sebelah ruang makan. Di kamar atas totalnya ada empat kamar mandi.”   “Oke, siap. Cewek-cewek di atas aja mandinya, biar nggak repot naik turun. Kita yang cowok yang di bawah aja,” ujar Reindra yang diangguki oleh semuanya.   Malam itu, setelah mandi dan berganti pakaian, kesembilan sahabat itu masuk ke kamar untuk beristirahat. Dio, Reindra dan Adelio tidur di dalam kamar paling ujung yang biasa ditempati Dio setiap menginap ke villa. Dio dan Reindra tidur di tempat tidur utama, sedangkan Adelio memilih untuk tidur di kasur tambahan yang diletakkan di bawah. Sementara para cewek yan berada di dalam sebuah kamar besar yang digabungkan, telah menurunkan semua kasur ke lantai dan memilih untuk tidur bersama. Sarah, Mayang, Dira, Indah, Sari, Nurin terlelap dalam formasi barisan yang tidak rapi setelah sebelumnya saling bercanda hingga tanpa sadar telah tertidur.      
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN