Circle Yang Melebar

1533 Kata
Sarah membelalakkan matanya ke arah Mayang dan teman-temannya. “Heh! Kalian kok di sini? Nggak ngajak-ngajak, ih!” Dan dengan gerakan cepat, Sarah langsung menghampiri meja Mayang diikuti oleh Adelio di belakangnya. “Curang!” ujar Sarah kesal sambil menunjuk bergantian Mayang dan Reindra dengan wajah galak. Teman-teman Mayang yang belum mengenal Sarah sedikit terkejut melihat gaya Sarah yang urakan dan terlihat galak. Sementara Mayang dan Reindra malah tertawa terbahak-bahak. Sementara Adelio hanya mengangguk sopan, khususnya pada Mayang dan Reindra yang sudah dikenalnya. “Bukannya curang,” ujar Reindra, “gue tadi tuh ke sini sendirian mau beli kopi sekalian nonton live music, soalnya gue gabut di rumah. Eh, nggak taunya ada Mayang sama temen-temennya di sini. Ya udah gue gabung. Ada Dio juga tuh, di dapur.” “Iya, Sar, gue nggak janjian kok ama Reindra,” timpal Mayang. “Gue cuma sama temen-temen kost gue aja. Oh ya, kenalin nih gaes, ini Sarah fotografer di majalah Style. Nah ini Adelio, model yang udah beberapa kali difoto buat majalah Style.” Dan segera saja semuanya saling bersalaman. Setelah saling bertegur sapa, teman-teman Mayang melihat kalau Sarah ternyata memang ramah, hanya saja ekspresi wajahnya yang galak dan gayanya yang tomboy membuat first impression orang menjadi berbeda. Adelio juga meskipun wajahnya tampak angkuh ternyata cukup ramah. Mungkin karena terbiasa berjalan di catwalk dengan ekspresi datar, garis wajahnya menjadi seperti itu. “Duduk sini, Sar, Del,” ucap Mayang mempersilakan, “nanti gue minta dua kursi lagi.” “Eh, kalian kan tadi mau mojok di sana,” ujar Reindra menunjuk ke meja kosong di seberang sembari nyengir usil, “silakan loh, dilanjutkan. Kita nggak mau ganggu.” “Rese lo Rein!” tukas Sarah galak meskipun wajahnya sedikit memerah. “Gabung di sini juga nggak apa-apa,” ucap Adelio yang tak disangka oleh Mayang dan teman-temannya. Sikap Adelio yang cool membuat mereka mengira kalau Adelio akan menolak atau merasa terpaksa untuk bergabung dengan mereka. Tapi ternyata bahkan Adelio sendiri yang menjawab seperti itu. “Eng … nggak apa-apa gabung sama orang-orang nggak jelas ini?” tanya Sarah sembari menunjuk ke arah semua yang ada di meja itu. “Nggak apa-apa, kan lebih enak kalau rame,” ucap Adelio sambil tertawa kecil, membuat teman-teman Mayang terkesima. Wajah Adelio yang campuran antara tampan dan cantik itu tampak sangat memesona saat tertawa. “Oh, oke, gue ambilin kursi,” ucap Reindra yang segera bangkit untuk mengambil kursi ekstra. “Eh, nggak apa-apa, gue aja,” ucap Adelio yang ternyata cukup gentle dan memosisikan dirinya sebagai laki-laki. Dan akhirnya kedua laki-laki itu pergi mengambil kursi berbarengan. “Cie cieeeee …!” seru Mayang tertahan sembari mendorong bahu Sarah sambil tertawa. “Kencan nih ceritanya? Bukannya waktu itu katanya nggak mau karena agak melambai?” “Siapa yang kencan? Orang cuma mau nongkrong,” tukas Sarah. “Ya nongkrong berdua kan, sama aja kencan,” timpal Mayang lagi. “Iih, nggaaakk. Gue tuh ke sini mau ngenalin Adelio ke Dio. Dia nanya kemarin gue ke Bandung nginap di villa siapa, gitu,” ucap Sarah. “Ooo … Adelio cemburu sama Dio?” tanya Mayang sembari nyengir. “Nggak gituuu! Cuma mau kenalan aja!” tukas Sarah. “Pantesaaan kemarin di Bandung beli kemeja size besar banyak gitu!” ujar Mayang lagi. “Iiih, berisik lo May!” Sarah mendelik pada Mayang dengan wajah merah padam. “Dia itu nitip. Nitip! Bukan oleh-oleh!” “Apa bedanya nitip sama oleh-oleh?” tanya Nurin bingung. “Beda dong,” ujar Sarah yang langsung menoleh pada Nurin. “Kalau oleh-oleh kan gue beli dengan inisiatif sendiri. Kalau nitip kan dia yang mau.” “Ohh … iya ….” ucap Nurin baru sadar. “Dia tinggi banget, ya?” ucap Dira kagum. “Model catwalk emang tinggi-tinggi semua, ya.” Mayang mengangguk. “Tapi Adelio emang jangkung banget dibanding model lainnya. Berapa ya tingginya waktu itu ….” “Seratus sembilan puluh koma tiga sentimeter,” jawab Sarah cepat. “Eciyeee … hapal bangat tinggi badannya Adelio,” ledek Mayang lagi, membuat tubuhnya terdorong ke samping oleh Sarah yang semakin malu. “Eh serius nih gue nanya,” Mayang mengulangi pertanyaannya, “bukannya waktu itu lo bilang nggak mau sama dia? Udah sempet lo tolak, kan?” “Iya, tapi … dia ngajak ketemu terus, chat tiap hari, katanya kalau gue nggak mau pacaran, temenan aja juga boleh,” jelas Sarah malu. “Dengan harapan ke depannya akan timbul benih-benih cinta, ya?” ujar Indah sembari cekikikan. “Nggak gitu jugaaaa!” bantah Sarah kesal. Kemudian Adelio dan Reindra kembali ke meja mereka dengan membawa dua buah kursi tambahan. Mereka segera menempatkan kedua kursi itu di ujung meja yang masih kosong. “Ayo, ayo, kalian pesen makanan. Kita udah mau makan nih,” ucap Reindra. Segera saja Sarah dan Adelio memesan makanan dan minuman pilihan mereka dan meyampaikannya pada seorang waiter. “Eh, Dio mana?” tanya Sarah. “Di dalam, lagi sibuk dia tadi. Live musicnya kan sebentar lagi main. Jadi tamunya makin ramai,” ucap Reindra. “Ada live musicnya juga, ya?” tanya Adelio sembari menoleh ke sekelilingnya. “Ada. Tuh, panggungnya. Asyik kok bandnya, kayak yang biasa di kafe-kafe gitu, lah,” ucap Reindra. “Gue jarang banget nongkrong di kafe,” ucap Adelio, “jadi kurang paham soal band-band kafe.” “Masa sih, Del?” tanya Mayang tak percaya. “Emangnya lo biasanya kalau nongkrong di mana?” Adelio menggeleng. “Jarang nongkrong. Habis kerja biasanya langsung pulang aja,” jawabnya. “Kenapa emangnya? Nggak boleh nongkrong sama nyokap bokap lo?” tanya Sari sembari terkekeh. Adelio ikut tertawa. “Gue tinggal sendiri kok, di apartemen. Orang tua gue sih nggak akan ngelarang. Boro-boro mau ngelarang, mereka juga udah nggak nganggap gue anak,” ucap Adelio kalem. Seketika semua menoleh ke arahnya. “Maksudnya …?” tanya Indah. “Ya … mereka malu punya anak kayak gue gini,” ucap Adelio sembari menunjuk ke arah dirinya sendiri. “Nggak jelas jenis kelaminnya, katanya.” Dan semua semakin bengong melihat keterbukaan Adelio yang sangat mendadak itu. Sesaat semuanya terdiam, bingung hendak berkata apa. Namun kemudian Reindra memecah kebekuan. “Tapi … sebenernya jenis kelamin lo jelas, kan?” tanya Reindra sembari mencondongkan tubuh ke arah Adelio agar suasana kembali santai. “Jelas lah. Iya kan, Sar?” tanya Adelio yang langsung menoleh pada Sarah, membuat wajah Sarah kembali merah padam. Seketika semuanya tertawa tergelak-gelak. Dialog terakhir Reindra dan Adelio berhasil membuat suasana kembali mencair setelah keterkejutan semua orang melihat kejujuran Adelio tadi. Dengan ini circle Mayang menjadi melebar dengan penggabungan beberapa teman-temannya. “Gimana, Sar? Ditanya tuuh sama Adelio. Jelas, nggak?” tanya Nurn mengompori. “Tergantung, waktu itu Sarah pakai kacamata atau nggak. Kan mata dia plus, kalau liat deket jadi buram,” timpal Reindra. “Sialan lo semua!” maki Sarah dengan wajah memerah yang tak bisa dinormalkan lagi saking malunya. Tak lama kemudian berbarengan dengan dimulainya live music di panggugn, pesanan Sarah dan Adelio datang. Dan semuanya kembali sibuk dengan makanan dan minuman masing-masing. “Loh, Sarah? Ke sini juga?” Tiba-tiba terdengar suara Dio di belakang mereka. Semuanya menoleh ke arah Dio yang tampil lengkap dengan celemek berlogo Kafe Daun. “Hei, Dio!” sapa Sarah. “Iya gue ke sini sama Adelio. Nih, kenalin.” Adelio dan Dio berjabat tangan dan saling menyebutkan nama masing-masing. “Waah, jadi rame banget. Mejanya sempit, ya? Mau gue ambilin tambahan meja buat disambungin ke sini?” tanya Dio menawarkan. “Alaa, nggak usah Dio. Gini juga cukup kok, biar lebih akrab,” ucap Reindra sembari melambaikan tangan, mencegah Dio mengambil meja lain lagi. “Lo masih sibuk ya, di dapur?” Dio mengangguk. “Sebentar ya, gue cek dapur sekali lagi, habis itu gue gabung sama kalian,” ucapnya. Dan tak lama kemudian Dio sudah datang lagi membawa satu buah kursi dan segelas minuman dingin di tangannya. “Fiuuh, selesai juga,” ucap Dio sembari menempatkan kursinya di antara Mayang dan Dira. “Kalau weekend gini tutupnya jam berapa ni Kafe Daun?” tanya Dira. “Resminya sih jam satu, tapi kadang kalau tamunya masih berdatangan dan bahan-bahan di dapur masih lengkap, ya kita fleksibelin aja,” ucap Dio. “Kalau gitu nanti kalau lagi insomnia gue ke sini aja yah, nongkrong ngeliatin orang-orang. Gue kan sering nggak bisa tidur,” ucap Dira. “Iya, datang aja,” sahut Dio. “Mau numpang kerja juga bisa, wifi kita lancar kok. Di dalam sana, di deket kasir juga ada buku-buku dan majalah buat dibaca-baca kalau mau.” “Kalau yang di Bandung persis kayak gini juga ya, kafenya?” tanya Sari. “Sama desain dan konsepnya, tapi area outdoornya jauh lebih luas, bisa buat small party kapasitas sekitar seratus orang,” jelas Dio. “Dan udaranya jauh lebih enak, soalnya kan di arah Lembang. Sejuk, viewnya juga bagus,” ucap Reindra. “Waah, asyik banget ya!” komentar Nurin. “Eh iya, gimana kalau akhir bulan ini kita semua ke sana aja?” tanya Dio. “Ke mana?” tanya semuanya bingung. “Ke Kafe Daun yang di Bandung. Nanti kita nginap lagi di villa gue. Gimana?” tanya Dio. “Haaa? Serius lo, Dio?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN