Weekend di Kafe Daun

1689 Kata
Hari Sabtu malam, sesuai yang dijanjikan, Mayang mengajak Dira, Indah, Nurin dan Sari nongkrong di Kafe Daun. Dio dengan senang hati menerima kedatangan mereka berlima dan sudah menyiapkan sebuah meja besar berkapasitas enam orang.   “Kalian pesan dulu aja, ya,” ujar Dio. “Gue mau bantu di dapur dulu, rame soalnya.”   “Oke, Dio! Kalau udah nggak sibuk, gabung yah sama kita!” pesan Indah sembari tersenyum manis.   “Oke,” jawab Dio sambil balas tersenyum dan meninggalkan tamu-tamunya.   “Heh,” tegur Dira sembari mendelik pada Indah. “Nggak usah godain Dio lagi lo, nggak liat tuh ada Mayang.”   “Hahaha! Sori, sorii,” ucap Indah sembari cengar cengir. Sementara Mayang malah tertawa melihat kegalakan Dira.   “Gue sama Dio belum ada ikatan apa-apa, kok,” ucap Mayang kalem. “Kalau mau godain ya silakan aja.”   “Yaaayy!” sorak Indah tak tahu malu.   “Buset, bakalan ngelunjak deh ni anak,” gerutu Dira sembari menarik telinga Indah.   “Woi, emangnya gue anak SD, dijewer?” tukas Indah sembari mengusap-usap daun telinganya yang sakit.   “Lo berdua emang kayak anak SD,” timpal Sari.   “Eh, eh, udahan dulu berkelahinya. Ayo kita pesen dulu, nanti keburu rame ni kafe,” potong Nurin sembari melambai-lambaikan buku menu di tangannya.   “Oh iya,” ucap Dira yang langsung mencondongkan tubuhnya ke depan untuk ikut melihat buku menu yang ada di tangan Nurin.   “Lo kasih rekomendasi dong, May,” pinta Indah. “Kan, lo yang udah pernah cobain menu di sini.”   Mayang kemudian ikut mencondongkan tubuh untuk memberikan rekomendasi menu yang pernah ia rasakan untuk teman-temannya. Setelah memutuskan pesanan masing-masing, mereka menyampaikannya pada waitress yang kebetulan sedang berada di dekat mereka.   “Si Dio rajin banget ya, May,” komentar Sari, “dia mau ikut repot di dapur. Padahal kan dia owner, ya.”   Mayang mengangguk. “Iya, emang gitu, dia. Katanya, lebih enak kalau terjun langsung ke lapangan, jadi bisa lihat sehari-harinya gimana, kesulitannya gimana, terus workflow anak buahnya gimana. Gitu,” jelas Mayang.   “Keren.” Indah menggeleng-gelengkan kepala. “Jarang loh ada cowok yang kayak gitu. Mana ganteng. Pokoknya kalau lo batal jadian sama dia, buat gue aja ya, May,” ucap Indah.   Mayang terkikik. “Kue kaliii, nggak jadi dimakan, kasih ke orang lain,” selorohnya.   “Tau nih, dasar jomlo akut!” maki Nurin.   Sementara Indah yang memang pada dasarnya adalah seorang yang jujur dengan perasaan dan tidak ragu menyatakan pendapat, hanya cengengesan saja. Yang lain pun sudah memaklumi sikapnya, termasuk Mayang. Menurut mereka, lebih baik orang yang terang-terangan seperti Indah daripada yang suka bersandiwara dan menusuk dari belakang.   “Loh, Mayang? Lo di sini?” Tiba-tiba terdengar suara dari arah belakang mereka. “Huuu, nongkrong nggak ngajak-ngajak!”   Mayang menoleh, dan mendapat Reindra berdiri di belakangnya sedang tersenyum lebar. “Loh, Rein! Sama siapa? Sarah?” tanya Mayang yang terkejut melihat Reindra ada di situ.   “Nggak, sendiri. Gue bete di rumah, jadi ke sini mau beli kopi. Tadi niatnya sampai sini gue mau telepon lo ngajakin nongkrong, kan kosan lo deket. Eh, nggak taunya lo udah ada di sini,” ucap Reindra.   “Ehem! Ehem!” Terdengar deheman keras dari tenggorokan Nurin, yang membuat Mayang tersadar.   “Eh, iyaa. Gaes, kenalin ini temen kantor gue. Dia reporter di majalah Style,” ucap Mayang pada keempat temannya. “Rein, ini semua temen kosan gue.”   “Halo! Gue Reindra,” ucap Reindra ramah sembari menyalami satu persatu teman-teman Mayang. Nurin yang tampak antusias melihat Reindra segera buru-buru berdiri untuk bisa menyalaminya paling dahulu. Mayang tampak menahan tawa melihat kehebohan teman-temannya. Saking akrabnya ia dengan Reindra, sampai ia lupa bahwa Reindra sebenarnya cukup tampan dan menarik. Pantas saja teman-temannya langsung heboh.   “Sini, sini, Rein, duduk. Masih kosong, kok!” ajak Nurin bersemangat menarik Reindra untuk duduk di sebelahnya.   “Kalian udah lama di sini? Atau baru datang?” tanya Reindra ditujukan pada semuanya.   “Baru sekitar sepuluh menit,” ucap Dira kalem.   “Kok lo nggak ngajak-ngajak sih, May?” gerutu Reindra. “Gue padahal bengong dari sore nggak tau mau ngapain.”   Mayang tertawa. “Maaf, maaf. Soalnya kami berlima tuh emang udah janjian sama Dio sejak awal minggu kemarin, mau nongkrong di sini pas weekend. Jadi ya gue nggak kepikir ngajak lo atau Sarah. Kan, beda circle. Khawatir nanti malah ada yang nggak nyaman.”   “Ah, lo May,” tukas Nurin mendelik. “Kalau yang model kayak Reindra gini mah, masukkin aja ke circle kita. Nggak usah pake nggak enak-nggak enakan segalaaa!”   Reindra terkekeh. Mayang kembali terkikik. “Ya maaf, kan gue nggak tau,” ucapnya.   “Ya udah Rein, lo pesen makanan atau minuman gih, kita udah duluan soalnya,” ucap Mayang sembari menyodorkan buku menu di atas meja.   “Eh, gue mau ke Dio dulu, deh,” ucap Reindra sembari menoleh ke belakang, mencari sosok Dio di balik meja kasir. “Mau say hello sama say something dulu.”   “Kayak lagu aja, ‘say something’,” celetuk Nurin yang sepertinya senang sekali bisa duduk bersebelahan dengan Reindra.   “Dio lagi di dapur katanya tadi,” ucap Mayang.   “Ya udah, gue ke dapur dulu. Nanti gue pesen makan langsung di kasir aja. Sebentar ya gaes, nanti gue ke sini lagi,” ucap Reindra.   “Okeee!” sahut semuanya serempak.   Setelah Reindra pergi, Nurin dengan bersemangat langsung mengguncang-guncang lengan Mayang yang duduk di sebelahnya. “May, May, Reindra udah punya pacar belum? Lo akrab sama dia? Orangnya kayak gimana?” tanyanya berturut-turut.   Mayang menoleh dengan takjub melihat semangat Nurin dan merasa geli. Namun melihat keseriusan di wajah Nurin, Mayang menjawab, “Reindra lagi nggak punya pacar. Terakhir sih dia pacaran sama Sarah, fotografer majalah Style, tapi nggak berhasil karena emang nggak cocok. Nah, akhirnya setelah itu kita malah temenan akrab bertiga. Eh, sekarang jadi berempat sama Dio.”   “Wah … bisa gitu ya. Temenan sama mantan yang kerjanya satu kantor, dan malah sahabatan?” tanya Sari heran. “Jarang loh ada yang bisa kayak gitu.”   “Iya, yah. Biasanya kalau mantan itu pasti ada rasa dendam atau rasa ingin membalas atau ingin pamer kehidupan setelah putus. Jadi susah mau bersahabat,” komentar Dira.   Mayang mengangguk. “Gue juga heran ngeliat mereka. Tapi faktanya mereka bisa, tuh. Nggak ada keterpaksaaan. Ngalir aja gitu. Malah kejadian waktu pacaran dulu sering mereka jadiin bahan bercandaan.”   “Eh, yang namanya Sarah cantik nggak, May?” bisik Nurin.   Mayang mengerutkan dahi. “Sebenernya kan cantik itu tergantung selera aja, ya. Sarah itu cantik, tapi gayanya tomboy banget, bahkan cenderung urakan. Kadang malah suka agak kasar. Tapi dia baik banget orangnya, care sama temen,” jelasnya.   “Ooh, gitu ….” ujar Nurin.   “Kalau Reindra, kayaknya sih bukan tipe liat tampang kalau naksir cewek. Dia itu lebih mementingkan kenyamanan,” ucap Mayang.   “Tenang, Nur, lo itu kan cantik. Sayang aja kurang beradab. Makanya yang kalem dikit, jangan kecentilan, nanti si Reindra malah kabur,” ucap Dira.   Nurin terkekeh sembari menggaruk-garuk kepalanya. “Gitu, yah? Oke, oke. Gue kalem mulai detik ini,” ucapnya serius, membuat yang lainnya tertawa.   Tak lama kemudian Reindra sudah kembali lagi ke meja mereka, diikuti oleh seorang waiter yang membawakan baki berisi pesanan mereka semua. Sementara Reindra tampak membawa satu buah piring dan satu buah gelas di tangannya yang sepertinya adalah pesanannya sendiri.   “Wih, self service lo, Rein,” komentar Sari.   Reindra tertawa sembari meletakkan pesanannya sendiri di atas meja. “Bantuin masnya, kasian kalau bakinya kepenuhan. Kan mending gue bawa sendiri aja,” ucapnya ringan.   Dan tak lama kemudian semuanya mulai asyik menikmati makanannya. Mereka saling bertukar menu dan mencicipi makanan satu sama lain. Reindra dengan mudah langsung berbaur dengan teman-teman Mayang, dan tak keberatan digoda oleh semuanya karena ia laki-laki sendiri di meja itu.   “Eh, eh, liat deh. Itu … cewek atau cowok, sih ….?” bisik Sari tiba-tiba sembari melirik ke satu arah.   Semua ikut menoleh dan melihat seseorang sedang berjalan memasuki Kafe Daun. Tubuhnya tinggi semampai, dengan rambut sebahu berpotongan bob lurus. Wajahnya cantik dan tidak memakai make up. Ia memakai kemeja longgar berwarna salem polos dengan dua kancing di bagian atas yang terbuka. Celana panjang hitamnya yang ketat membungkus kedua kakinya yang jenjang beralaskan sepatu boots dengan heels sekitar tiga sentimeter. Caranya melangkah dan bergerak tampak seperti seorang model yang sedang berjalan di atas catwalk. Ia tampak menoleh ke kiri dan ke kanan seperti sedanng mencari seseorang.   “Itu ….” Reindra memicingkan mata memperhatikan sosok tersebut. “May, itu bukannya Adelio?” desis Reindra pada Mayang.   Mayang mengamati sesaat kemudian mengangguk. “Iya bener. Itu Adelio. Agak pangling ya, kalau lagi nggak pakai make up.”   “Hah? Adelio? Dia cewek atau cowok, sih?” tanya Sari bingung. Sosok Adelio yang percampuran antara perempuan dan laki-laki itu membuat beberapa mata pengunjung lainnya juga ikut melirik ke arahnya dengan penasaran.   “Dia cowok. Dia itu model androginy. Udah beberapa kali difoto sama Sarah buat majalah Style,” ucap Mayang.   “Oooh … iya, iya,” sambar Dira tiba-tiba. “Pantesan kayaknya pernah liat. Kan gue langganan majalah Style. Tapi selama ini gue kira dia cewek!”   Mayang tertawa kecil. “Iya, model androginy emang gitu. Bisa jadi cewek, dan bisa juga jadi cowok. Mereka fleksibel, nggak bisa dibatasin oleh porsi feminine aja atau maskulin aja. Dua-duanya bisa diperankan dengan baik.”   “Tapi … aslinya cowok?” tanya Indah yang merasa takjub karena memang baru kali ini melihat langsung sosok androginy seperti itu.   Mayang mengangguk. “Iya, cowok.”   “Lo tau dari mana? Kok, yakin banget?” tanya Nurin.   “Soalnya dia naksir ….” Dan kalimat Mayang langsung terputus saat melihat sosok seseorang yang muncul di belakang Adelio. Adelio berbalik dan bicara pada gadis itu, menunjuk ke arah meja yang masih kosong di sisi seberang, kemudian keduanya melangkah bersama masuk ke dalam kafe.   “Sarah??” seru Mayang dan Reindra bersamaan. Dan mereka sontak menutup mulutnya berbarengan saat menyadari bahwa suara mereka terlalu keras. Mereka juga sadar, bahwa tidak semestinya mereka mengganggu Sarah dan Adelio yang sepertinya sedang dalam 'mode kencan' itu. Tetapi terlambat, Sarah dan Adelio terlanjur menoleh kepada mereka.    
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN