“Serius, Dir?” tanya Mayang tak percaya.
Dira mengangguk. “Jadi waktu itu, gue pura-pura udah tidur di kamar,” cerita Dira. “Sementara itu, bokap gue ngobrol sama nenek dan kakek gue di ruang tamu. Dari apa yang mereka bicarakan, gue bisa ambil kesimpulan kalau sejak awal bokap udah tau kalau nyokap gue dikatakan sebagai pembawa kutukan sengkolo bahu laweyan. Nenek dan kakek gue juga udah tau, karena desa tempat kelahiran nyokap gue itu letaknya nggak terlalu jauh dari desa bokap. Masih berada di lokasi yang sama, di kaki gunung. Cuma posisinya aja berbeda. Nah, awalnya nenek sama kakek kayaknya nggak setuju dengan pernikahan ini, sehubungan dengan kutukan itu. Terus untuk bisa mendapatkan izin dari kakek dan nenek, bokap bilang bahwa nyokap gue udah pernah menikah sebanyak tujuh kali sebelumnya. Antara percaya dan tidak dengan mitos tersebut, akhirnya nenek dan kakek gue menyetujui, asalkan bokap dan nyokap pergi dari desa.”
“Hah? Bokap lo diusir sama nenek dan kakek lo?” tanya Sari tak percaya.
Dira menggeleng. “Sepertinya bukan itu maksud nenek dan kakek gue. Mereka itu cuma nggak mau kalau setelah bokap menikahi nyokap, mereka nantinya akan diserang atau paling tidak digunjingkan oleh orang-orang di desa karena dianggap sengaja mengorbankan tujuh orang laki-laki dulu sebelum mereka bisa menikah. Hal seperti itu memang nggak bisa dibuktikan, tetapi kepercayaan yang kuat tentang mitos tersebut pasti akan membuat masyarakat mengambil kesimpulan seperti itu. Apalagi bagi keluarga dari suami-suami nyokap gue yang terdahulu, pasti akan marah dan benci sama mereka. Makanya akhirnya bokap setuju dengan syarat tersebut dan mengajak nyokap untuk merantau ke Jakarta.”
“Berarti hal ini mirip dengan apa yang dikhawatirkan oleh Mayang. Ya kan, May?” Nurin menoleh ke arah Mayang. “Lo nggak percaya dengan mitos itu, tapi lo mengkhawatirkan akan reaksi orang-orang di sekitar lo, kan?”
Mayang mengangguk. “Iya. Itu persis seperti yang gue rasakan saat ini,” sahutnya.
“Tapi Dir,” sela Indah, “kok waktu nyokap lo meninggal, tetangga bisa pada tau kalau sebelumnya nyokap lo udah pernah menikah sebanyak tujuh kali?”
Dira mengangkat bahu. “Nggak tau deh. Bisa aja kan, ada orang dari desa yang sama dengan bokap atau nyokap yang pergi ke Jakarta juga dan bertemu kembali dengan mereka lalu berada di dalam sebuah circle yang sama? Atau bisa aja mungkin bokap atau nyokap sendiri yang tanpa sengaja pernah mengatakan hal itu kepada para tetangga saat sedang arisan atau kumpul warga misalnya, tanpa ada maksud apa-apa. Hanya sekadar bercerita tentang masa lalu aja,” ucap Dira.
“Bener juga,” ucap Indah sembari mengangguk-angguk.
“Ya sama kayak gue,” sahut Mayang. “Gue juga nggak nyangka kalau waktu di Bandung kemarin gue bisa ketemu Dea, adiknya Mas Ridho. Kebetulan banget kan, Dea ternyata temennya Mbak Shita kakaknya Dio.”
“Iya yah, nggak ada yang tau kita suatu hari akan ketemu siapa dan berhubungan dengan siapa,” gumam Nurin.
“Terus, setelah lo menguping pembicaraan bokap lo dengan nenek dan kakek lo, gimana, Dir?” tanya Mayang pada Dira yang sepertinya belum menuntaskan ceritanya.
“Yah gue diem aja sampai waktunya pulang,” jawab Dira. “Bokap memutuskan untuk kembali tinggal di desa karena sedih mikirin nyokap. Bokap juga sakit hati karena semua orang jadi menuduh nyokap seperti perempuan jahat yang mengorbankan nyawa tujuh orang laki-laki sebelum menikah dengan bokap. Gue juga kasihan sama bokap, makanya gue biarkan aja bokap tinggal kembali ke kampung. Toh gue udah kerja dan udah bisa hidup sendiri.”
“Sebentar, Dir,” sela Nurin, “lalu mengenai tujuh orang suami nyokap lo yang udah meninggal itu, apakah mereka adalah orang-orang yang tinggal satu desa dengan nyokap lo juga? Apa sebelum mencapai angka ketujuh para penduduk desa nggak pada curiga dan menuduh nyokap lo adalah pembawa kutukan? Mayang aja baru dua kali kehilangan suami udah diomongin yang nggak-nggak.”
Dira mengangkat bahu. “Gue juga nggak tahu.”
“Mungkin yang tujuh orang laki-laki itu nggak berasal dari desa yang sama. Dari desa lain kan juga bisa,” ucap Indah. “Di kaki gunung memang biasanya dikelilingi oleh banyak desa-desa kecil. Beda kelompok masyarakat. Mungkin berita yang tersebar nggak secepat kita di kota yang bisa ngeviralin apa aja dengan secepat kilat.”
“Iya, betul. Bisa jadi begitu,” ucap Dira. “Ya setelah beberapa kali terjadi kematian, pasti lah beritanya menyebar juga. Tapi kan, mungkin namanya juga udah saling jatuh cinta, pasti bersikeras untuk tetap menikah meskipun udah mendengar dugaan soal kutukan itu.”
Nurin mengangguk-angguk mengerti.
“Terus, soal perempuan di desa bokap lo yang pernah melakukan hal itu juga, sekarang masih ada orangnya?” tanya Mayang penasaran.
Dira menggeleng. “Soal itu nggak dibahas lebih lanjut lagi. Tapi dari yang gue tangkap, itu kejadiannya udah lama banget. Mungkin waktu nenek dan kakek gue masih kecil,” jawab Dira. “Yang jelas, mereka semua percaya akan adanya kutukan bahu laweyan itu karena memang pernah ada bukti nyatanya.”
“Hmm … gitu, yah,” gumam Mayang sembari berpikir.
“May, lo tetep nggak percaya kan, kalau lo ini pembawa kutukan?” tanya Sari dengan sangat skeptis. “Hal kayak gini masih sulit untuk gue percaya, sih.”
Mayang menggeleng. “Yah, gue memang masih nggak bisa percaya. Gue anggap ini suatu kebetulan. Begitu juga yang dialami oleh mendiang ibunya Dira,” jawab Mayang. “Belum bisa gue cerna di otak gue, yang namanya kutukan itu bentuknya seperti apa. Dan kalau memang nggak berbentuk, lalu kenapa bisa membuat manusia kehilangan nyawa ….” Sekilas Mayang kembali teringat bagaimana Ridho dan Bayu meregang nyawa di hadapannya. Ia sedikit menggigil.
“Nah, itulah,” ucap Dira. “Gue juga sebenernya bingung, penjelasannya gimana soal hal mistis seperti ini. Tapi … gue setengahnya percaya juga sih, setelah mendengar obrolan bokap dan kakek nenek gue malam itu. Entah kenapa. Mungkin karena suasana di rumah nenek gue itu, atau suasana pedesaan di sekeliling gue, jadinya gue terpengaruh. Coba deh kalian kumpul di rumah sendiri lalu cerita horror, bandingkan dengan kumpul di rumah kosong lalu cerita horror. Efek sugestinya sangat berbeda, kan?”
“Bener juga, ya,” ucap Sari.
“Oh iya, Dir, nama desa lo itu apa?” tanya Mayang.
Dira mengerutkan dahi sedikit sebelum menjawab, “Desa Tentrem kalau nggak salah. Letaknya tepat di kaki Gunung Puncak.”
Mayang membelalakkan mata. “Gunung … Puncak ….?”
“Kenapa, May? Lo tau?” tanya Dira.
Mayang menatap Dira dengan wajah bingung. “Kayaknya … gue inget banget nama gunung itu ….”
“Gue kok belum pernah denger nama Gunung Puncak, yah ….” guman Indah.
“Memang nggak terkenal gunungnya. Tapi banyak desa-desa di kaki gunungnya,” jawab Dira.
“May?” panggil Nurin melihat Mayang yang diam saja menatap kosong ke depan. “Lo kenapa?”
“Lo tau Gunung Puncak, May?” tanya Dira sekali lagi.
Mayang menoleh menatap Dira dengan ekspresi tak terjelaskan. “Dir, kayaknya … desa gue dulu di Gunung Puncak juga, deh ....”
Semua menatap tercengang ke arah Mayang.
“Maksud lo, lo lupa sama letak desa lo sendiri, May?” tanya Indah. “Baru inget sekarang?”
Mayang mengangguk. “Kan nyokap gue memang selalu menolak untuk bicara soal masa lalu,” jelas Mayang. “Itu termasuk menyebutkan nama desa dan lokasinya. Tapi sekarang … sekarang gue inget, gara-gara lo nyebutin nama gunung itu, Dir.”
“Terus, kalau nama desa lo? Inget juga?” tanya Dira.
Mayang menggeleng. “Belum,” jawabnya.
“Mungkin, mitos soal kutukan bahu laweyan ini memang udah turun temurun jadi legenda di daerah itu, makanya semua desa sekitar gunung itu percaya terhadap hal itu,” ucap Indah.
“Yah, mungkin juga. Termasuk gue juga jadi terpengaruh,” ucap Dira yang kemudian menoleh ke arah Mayang. “Maaf ya, May, gue jadinya malah ikutan percaya kalau lo itu pembawa kutukan.”
Mayang tersenyum dan menggeleng. “Nggak apa-apa, Dir. Gue maklum kok, kan lo jadi berpendapat begitu karena lo sendiri pernah mengalami hal seperti itu di hidup lo.”
“Iya, sih ….” desah Dira. “Gue juga sebenernya bingung. Gue marah dan sakit hati nyokap gue diomongin jelek sama orang-orang, tapi setelah gue pulang ke desa, gue jadi percaya bahwa nyokap gue memang pembawa kutukan. Dan itu membuat gue jadi makin marah. Gue marah, kenapa nyokap gue harus membawa kutukan kayak gitu sehingga membuat dia sengsara.”
Mayang kembali menggenggam tangan Dira. “Kita doain aja ya, semoga mendiang nyokap lo selalu tenang di alam sana.”
Dira mengangguk.
“Ya udah, sekarang jadi gimana nih soal Mayang sama Dio?” tanya Nurin berusaha mengalihkan pembicaraan tentang mitos yang sepertinya kalau dilanjutkan juga tidak akan menghasilkan apa-apa. Ia juga tidak tega melihat Dira yang biasanya ceria menjadi sedih dan murung karena teringat akan ibunya yang sudah meninggal.
“Nah iya. Lo jadinya mau nerima Dio atau nggak, May? Sayang loh, cute gitu. Tajir pula,” ucap Sari.
Mayang tertawa kecil. “Gue pikir-pikir dulu, deh.”
“Ih, sok jual mahal banget ni anak,” gerutu Indah.
Mayang tertawa tergelak. “Bukannya jual mahal, gue cuma nggak mau buru-buru aja. Lagian kan kalian denger sendiri tadi, Dio bilang apa. Dia nggak nyuruh gue buru-buru jawab, dia cuma mau menyatakan perasaannya aja, supaya gue tau.”
“Iya juga sih, kenapa jadi gue yang buru-buru, ya?” ucap Indah heran pada dirinya sendiri.
Semuanya tertawa melihat Indah.
“Ya udah, jadi akhir minggu ini, kita nongkrong di Kafe Daun, ya?” tanya Dira mengonfirmasi. Sepertinya rasa sedihnya sudah teralihkan untuk saat ini.
“Yess!” ucap yang lainnya menyetujui.