Cerita Dira

2239 Kata
“Nyokap lo … punya tanda sengkolo juga …?” tanya Mayang tak percaya.   Dira mengangguk. Ia kemudian membuang wajah ke samping, menghindari tatapan Mayang. Matanya menatap kosong ke arah tanaman-tanaman hijau yang berjajar di sepanjang tepi teras rumah kost itu.   “Eh, sebentar, sebentar,” sela Nurin. “Ini ada apa sih sebenarnya?”   “Iya, gue bingung. Kok tiba-tiba pembicaraan kita jadi bertema mistis gini, sih?” Sari melipat kedua lengannya di depan d**a menuntut penjelasan dari Dira dan Mayang.   “Sebenarnya gimana sih, yang kena kutuk itu siapa?” tanya Indah menatap bergantian antara Mayang dan Dira.   Mayang melirik ke arah Dira yang masih saja terdiam. Sepertinya Dira tidak akan menjawab pertanyaan itu untuk sementara waktu, sehingga Mayang perlu memberikan beberapa penjelasan kepada teman-temannya.   “Jadi gini loh gaes,” ucap Mayang, memutuskan untuk menjelaskan saja sejak awal kepada teman-temannya. Namun matanya masih mengawasi Dira yang kini tampak sedih. “Di kepercayaan masyarakat Jawa, ada yang namanya sengkolo, atau kutukan. Jenis sengkolo ada bermacam-macam, dan biasanya disebabkan oleh atau diturunkan dari orang tua sendiri, atau dari leluhur entah keturunan yang keberapanya. Salah satu jenis kutukan itu ada yang namanya Sengkolo Bahu Laweyan. Kutukan Bahu Laweyan ini katanya membuat si pembawa kutukan akan selalu kehilangan nyawa pasangannya setiap menikah.”   Mayang berhenti sejenak, menatap ketiga temannya yang masih kebingungan dan Dira yang kini menunduk dengan dahi berkerut.   “Sengkolo Bahu Laweyan ini ada tandanya pada tubuh seseorang. Biasanya tandanya berupa lingkaran atau bulatan di bahu sebelah kiri berwarna hitam. Dan gue punya tanda lahir yang berbentuk seperti itu di bahu kiri gue,” jelas Mayang.   Kini Indah, Nurin dan Sari menatap lekat-lekat.   “Di bahu lo ada tanda kayak gitu, May?” tanya Sari tercengang.   Mayang mengangguk. Ia kemudian menurunkan sedikit kerah bajunya untuk memperlihatkan pada teman-temannya. Sari, Nurin dan Indah segera beranjak memutari tubuh Mayang untuk melihatnya.   “Wah, iya … ada loh ….” gumam Nurin.   “Hmm … ini bukannya tanda lahir biasa, ya? Bukannya orang lain banyak yang punya tanda lahir?” tanya Indah.   “Coba gue pegang, May,” ucap Sari dan menyentuh tanda lahir di bahu Mayang itu. “Keliatannya biasa aja. Ini bukannya semacam tahi lalat atau apa gitu yah? Hiperpigmentasi yang berlebihan mungkin? Semacam dark spot tapi ukurannya lebar?”   Mayang kemudian menarik kembali bajunya hingga rapat. Kemudian ia menatap teman-temannya. “Memang benar, banyak orang yang punya tanda lahir. Bentuknya juga bisa bermacam-macam dan letaknya bisa di mana aja. Tapi masalahnya … gue udah dua kali kehilangan suami gue. Dua orang suami gue meninggal setelah menikah. Pas setelah malam pertama,” ucap Mayang.   Sontak Nurin, Indah dan Sari kembali memutar ke depan dan duduk di hadapan Mayang.   “Lo … udah jadi janda dua kali, May?” tanya Indah kaget.   “Suami-suami lo meninggal … pas setelah malam pertama?” tanya Nurin tak percaya.   “Tapi lo nggak percaya kan, tentang kutukan ini, May?” tanya Sari. “Soalnya lo bisa menceritakan hal seperti ini dengan sangat ringan tanpa beban, makanya gue pikir lo pasti nggak percaya.”   Mayang tersenyum. “Bener, Sar, gue memang nggak percaya. Kedua suami gue itu teridentifikasi oleh dokter visum bahwa mereka kena serangan jantung mendadak. Kasus orang meninggal setelah atau saat berhubungan intim sudah sering terjadi, jadi sebenarnya bukan hal yang aneh. Masalahnya, dengan adanya tanda lahir di bahu gue, dan meninggalnya dua orang suami gue dengan cara yang sama, semuanya itu mendukung teori kutukan Bahu Laweyan. Beberapa orang yang mengerti soal kutukan ini, lalu melihat kasus yang terjadi pada diri gue, pasti akan menghubung-hubungkannya dan berpikir ke arah itu. Bahkan, nyokap gue sendiri percaya kalau gue ini pembawa kutukan. Beliau sampai meminta agar gue nggak usah menikah lagi,” jelas Mayang.   “Haaa? Nyokap lo ngelarang lo nikah lagi?” tanya Nurin menolak percaya.   Mayang mengangguk. “Makanya … soal Dio tadi, gue nggak bisa ngasih jawaban dulu. .Gue masih bingung gimana caranya menjalin hubungan dengan seseorang kalau nyokap gue aja ngelarang.”   “Tapi … kutukan ini, kalau memang ini adalah sesuatu yang benar adanya,” sela Indah, “bisa dihilangkan, nggak? Maksud gue, ada penangkalnya, nggak?”   “Ada,” jawab Mayang, kembali tersenyum. “Kutukan ini bisa gugur kalau si pembawa kutukan udah menikah sebanyak tujuh kali.”   “Whattt! No way!” seru Sari.   “Gila! Masa orang harus nikah dulu tujuh kali baru akhirnya bisa hidup tenang dengan pasangannya yang ke delapan? Itu sama aja ngorbanin nyawa orang, dong!” protes Nurin.   Mayang tersenyum. “Ya memang begitu menurut kepercayaan masyarakat Jawa. Makanya nyokap gue ngelarang gue nikah lagi karena nggak mau suami-suami gue berikutnya kehilangan nyawa. Akan tidak baik untuk psikologis gue. Selain itu, nyokap juga nggak tega ngeliat gue terus diserang oleh keluarga mantan suami gue,” ucap Mayang tersenyum pahit teringat Jennifer dan Dea.   “Emang … keluarga suami lo pada nyerang lo soal apa?” tanya Indah penasaran.   “Biasanya soal harta,” ucap Mayang. “Suami gue yang pertama, Mas Ridho, dulu beliin rumah buat gue sebelum kita menikah. Lalu setelah Mas Ridho meninggal di malam pertama, gue diminta untuk pergi meninggalkan rumah itu karena gue dianggap nggak berhak untuk dapat warisan dari Mas Ridho karena usia pernikahan yang nggak sampai sehari semalam. Begitu juga dengan suami kedua gue Mas Bayu. Setelah empat puluh hari meninggalnya, gue langsung disuruh angkat kaki dari rumah yang padahal udah atas nama gue itu. Mereka semua benci sama gue, bahkan ada yang menuduh kalau gue sengaja mau menyingkirkan suami gue karena pingin menguasai hartanya. Hal-hal seperti inilah yang dikhawatirkan nyokap akan mengganggu ketenteraman hidup gue, makanya menurut beliau lebih baik gue nggak usah nikah aja.”   “Tapi … kok nyokap lo yakin banget sih kalau lo itu bawa kutukan?” tanya Sari.   Mayang mengangkat bahu. “Gue sendiri masih bingung soal itu. Nyokap pernah bilang, katanya ini semua ada hubungannya dengan bokap gue. Tapi waktu gue tanya soal bokap, nyokap nggak mau jelasin, malah nangis. Jadi yah, sampai sekarang gue nggak tau alasan tepatnya kenapa nyokap yakin banget kalau di tubuh gue ada kutukan.” "Bokap lo udah nggak ada, May?" tanya Sari. Mayang mengangguk. "Gue nggak pernah ingat bokap gue. Sejak kecil gue udah dibawa ke Jakarta untuk tinggal dengan pakde dan bude gue. Gue cuma tau bahwa bokap gue meninggal waktu gue kecil. Udah, itu aja. Selain itu, nyokap serta pakde dan bude gue selalu menolak menjawab kalau gue bertanya soal bokap. Makanya sampai besar gue udah terbiasa untuk nggak tanya apapun soal itu. Di akte kelahiran gue aja pakai nama pakde gue di kolom nama orang tua."   Sesaat semuanya terdiam mendengar cerita Mayang, karena merasa sedih sekaligus penasaran dengan cerita tentang keluarga Mayang. Mayang sendiri merasa sedikit lega telah menceritakan hal itu pada teman-temannya. Mereka terlihat bisa dipercaya dan pastinya tidak akan meninggalkannya karena masalah kutukan ini. Tetapi Dira sejak tadi masih saja diam.   “Dir …?” panggil Mayang.   “Ya.” Dira menoleh.   “Lo mau cerita tentang nyokap lo?” tanya Mayang. “Tapi kalau nggak nyaman nggak apa-apa, nggak usah diceritain.”   Dira memutar tubuhnya perlahan ke arah teman-temannya.   “Gue … gue ini adalah anak dari suami ke delapan nyokap gue. Setelah tujuh orang suami sebelumnya meninggal,” ucap Dira singkat, seolah ingin segera melepaskan beban yang sejak tadi ia tahan di dalam dadanya.   Seketika Mayang, Sari, Indah dan Nurin menatap Dira dengan terkejut.   “Hah …? Beneran ….?” tanya Nurin.   Dira mengangguk, kemudian menarik napas panjang. “Waktu gue pertama lihat tanda itu di bahu Mayang, gue kaget banget. Karena itu adalah tanda yang gue lihat juga ada di bahu kiri nyokap gue. Makanya waktu itu gue tanya Mayang soal status pernikahan. Maaf ya, May, gue waktu itu langsung nanya hal pribadi ke lo. Saking kagetnya gue ngeliat tanda itu,” ucap Dira sambil menatap Mayang.   “Nggak apa-apa, Dir,” sahut Mayang sambil tersenyum. “Gue sih nggak masalah kalau ada orang tanya soal status pernikahan. Gue nggak malu kok jadi janda.”   “Iya, gue soalnya langsung inget nyokap gue,” ucap Dira. “Gue itu tadinya nggak tahu apa-apa soal kutukan ini. Setelah nyokap meninggal dunia, dan gue ikut mandiin jenazahnya, gue denger pembicaraan petugas yang mandiin dan para tetangga yang ikut bantuin. Mereka semua terkejut ngeliat tanda lahir di bahu nyokap.”   “Oh … maaf Dir, nyokap lo … udah meninggal …?” ucap Mayang merasa tak enak hati.   “Iya, May. Tahun lalu, nyokap meninggal karena sakit jantung. Usianya lima puluh enam tahun waktu meninggal itu,” ucap Dira.   “Kalau … bokap lo? Masih ada, Dir?” tanya Nurin yang baru sadar bahwa ia tak pernah tahu tentang keluarga Dira padahal sudah saling kenal berbulan-bulan lamanya.   “Bokap masih ada, sekarang tinggal di kampung, di Jawa Tengah,” jawab Dira.   “Terus … emangnya para tetangga dan petugas yang mandiin jenazah itu pada ngomong apa waktu itu? Kok tega banget mereka ngomongin orang di hari meninggalnya?” tanya Sari tak habis pikir.   Dira mengangguk. “Makanya, gue sedih banget kalau inget hal itu. Padahal ada gue di situ, tapi mereka dengan cueknya malah ngegosipin nyokap gue. Sejak setelah mandiin jenazah sampai selesai dimakamin, mereka sibuk bergunjing soal tanda lahir yang ada di bahu nyokap.”   “Astagaa keterlaluan banget, sih? Harusnya petugas yang mandiin jenazah itu nggak boleh loh, ngomongin hal apapun tentang jenazah tersebut. Itu ada aturannya!” protes Indah ikut merasa kesal.    “Iya, harusnya memang seperti itu. Tapi yah, tau sendiri, emak-emak kampung, paling nggak bisa nahan mulut kan, kalau ada hal yang mengejutkan kayak gitu,” ucap Dira. “Gue yang tadinya nggak tau, jadi tau gara-gara dengar omongan mereka. Mereka bilang gini: ‘Pantesan aja nikah sampai delapan kali, ternyata dia perempuan bahu laweyan’. Gitu.”   Dira bersandar pada kursinya yang didudukinya dengan lemas. Sementara yang lain termasuk Mayang menatap iba pada Dira. Sosok Dira yang biasanya terlihat kuat dan tegar, selalu ceria dan suka bercanda, ternyata menyimpan kesedihan seperti itu.   “Setelah beberapa hari berlalu, gue baru berani nanya ke bokap soal omongan tetangga itu,” lanjut Dira perlahan. “Tapi bokap bilang, gue nggak usah dengerin omongan tetangga. Lagipula nyokap udah meninggal, jadi nggak baik kalau diomongin. Sejak kecil gue memang tau kalau nyokap udah menikah beberapa kali, meskipun nggak tau tepatnya beberapa kali. Dan saat itu gue merasa itu bukan hal yang perlu untuk dibicarakan. Tapi setelah dengar omongan tetangga, gue jadi merasa marah. Dari kalimat yang mereka ucapkan itu, seolah-olah mereka menuduh nyokap gue sengaja menikahi tujuh laki-laki untuk menggugurkan kutukan yang ada di tubuhnya itu, supaya bisa menikah dengan bokap gue. Sakit hati banget rasanya denger omongan seperti itu.”   “Ya ampun, Dira … sabar, ya ….” ucap Nurin bersimpati sembari menggenggam tangan Dira.   Dira tersenyum tipis. “Sebulan setelah nyokap meninggal, bokap memilih untuk pulang kampung dan tinggal di sana. Bokap menganggap gue udah cukup dewasa untuk bisa hidup sendiri, karena gue juga udah kerja. Tapi gue yakin, bokap pulang kampung karena sedih mendengar omongan orang tentang mendiang nyokap gue.”   “Selama ini lo nggak pernah lihat tanda lahir itu di bahu nyokap lo?” tanya Indah.   “Gue lihat, kok. Dari kecil juga gue udah tau ada tanda lahir kayak begitu di bahu kiri nyokap. Tapi kan, gue nggak mikir apa-apa tentang itu. Makanya gue shock waktu denger omongan orang,” jawab Dira. “Makanya tadi waktu Mayang bilang bahwa dia nggak percaya dengan kutukan itu, tapi tetap mengkhawatirkan pendapat dan pandangan orang lain, gue bisa ngerti maksudnya. Gue deket banget sama nyokap gue sejak kecil, udah kayak sahabat banget. Dan gue tersinggung banget nyokap gue diomongin kayak begitu, di luar dari apakah kutukan itu benar atau tidak. Dan mendengar orang lain menggunjingkan tentang sesuatu hal, terkadang terasa lebih menyakitkan daripada jika kita mengalami sendiri sesuatu hal itu.”   Mayang menatap Dira dengan iba. Ternyata Dira telah mengalami hal yang menyedihkan seperti itu. Kehilangan ibunya dalam kondisi meninggalkan tuduhan tentang kutukan tersebut. Pasti ia sangat merasa sekali.   “Tapi … lo sebenarnya percaya atau nggak sama cerita tentang kutukan itu, Dir?” tanya Indah.   Dira terdiam sejenak, seperti sedang mempertimbangkan baik-baik tentang jawaban yang akan diberikannya pada Indah dan teman lainnya yang juga sedang menunggu jawaban darinya.   “Sebenernya gue awalnya nggak percaya,” jawab Dira akhirnya. “Tapi … setelah gue ikut bokap beberapa hari ke kampung, akhirnya gue … jadi percaya.”   Semua menatap Dira dengan takjub. Dira adalah gadis yang tampak sangat modern dan berpikiran terbuka, sehingga sulit bagi mereka untuk memercayai bahwa Dira percaya dengan mitos tentang kutukan itu.   “Emangnya apa apa di kampung bokap lo waktu itu? Apa yang terjadi?” tanya Mayang yang merasa penasaran.   Dira menopangkan siku di atas lutut dan menangkupkan kedua tangan di bawah dagunya. “Jadi, gue waktu itu ikut nganter bokap pulang ke desa, dan ketemu sama nenek dan kakek gue. Seumur hidup, baru kali itu gue tahu tempat kelahiran bokap, karena sejak kecil selalu nenek dan kakek gue yang datang ke Jakarta mengunjungi kami. Nah, selama menginap dua malam di sana, gue akhirnya dapat informasi tentang hal-hal seperti itu.”   Dira menarik napas sejenak.   “Soal apa?” tanya Nurin tak sabaran.   “Soal kutukan itu. Sengkolo Bahu Laweyan itu ternyata benar adanya,” ucap Dira yakin. “Karena, di desa kelahiran bokap gue udah pernah ada kejadian seperti itu. Seorang perempuan pembawa kutukan yang menikahi tujuh laki-laki untuk membuang sengkolonya, supaya akhirnya dapat bersatu dengan laki-laki yang dicintainya."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN