Malam itu setelah Dio, Sarah dan Reindra berpamitan pulang, Mayang beserta ibu, pakde dan budenya asyik membuka oleh-oleh yang dibawakan Mayang.
“Maaf ya Pakde, Bude, jadi pada kebangun gara-gara temen-temen Mayang berisik, ya?” ucap Mayang merasa tidak enak hati karena setelah Dio, Reindra dan Sarah pulang tadi, keduanya yang tadinya sudah berada di dalam kamar, tiba-tiba sudah duduk di ruang keluarga.
“Nggak apa-apa, lagian Pakde juga pingin lihat, kamu bawa oleh-oleh apa,” kata pakde.
“Iya,” ucap bude, “kalau bude sih kebangun bukan gara-gara suara berisik temen-temen kamu, Mayang. Tapi ini loh, bau wangi makanan. Kayaknya enak.”
Mayang tertawa. “Ya udah, yuk kita buka semuanya,” ucapnya. “Nih, Mayang juga beli baju buat Ibu, Pakde dan Bude.” Mayang mengambil kantung kertas dan kantung plastik berisi pakaian yang dibelinya di factory outlet dan membagikannya sesuai isi di dalamnya.
“Waah … ini bajunya bagus loh, Mayang,” ucap ibu sembari melebarkan sepotong blus lengan panjang yang ia keluarkan dari dalam kantung kertas. “Kamu pasti belinya mahal, ya?”
“Iya, ini baju Bude juga bagus-bagus,” kata bude sembari mengepaskan sepotong daster berbahan halus di tubuhnya.
“Lha ini, Pakde juga dapat baju batik bagus sekali ini,” ujar Pakde yang sudah berdiri dan hendak memakai kemeja batik itu di luar kaos tidurnya.
Mayang tersenyum. “Nggak mahal kok Bu, Pakde, Bude. Ini mereknya memang merek mahal, tapi karena ini sisa stock, jadi harganya murah. Di Bandung kan gudangnya pakaian sisa ekspor,” jelasnya.
“Oo … ya ya, banyak merek pakaian luar negeri yang dibuat di Indonesia, ya,” ujar bude mengangguk-angguk.
“Iya, Bude, makanya harga produksinya sebenernya nggak mahal. Yang barang reject juga banyak, harganya lebih murah, dan nggak terlalu kelihatan juga rejectnya di sebelah mana. Tapi yang punya Ibu, Bude dan Pakde udah Mayang pilihin kok, semuanya rapi dan nggak ada yang rusak,” lanjut Mayang, tersenyum senang melihat ketiga orang tuanya itu terlihat antusias dengan oleh-oleh yang dibawakan olehnya. Mayang memberikan kepada mereka masing-masing satu pakaian rumah, satu pakaian casual, dan satu pakaian resmi.
“Eh iya, Sekar,” ucap bude pada ibu Mayang, “minggu depan kan ada acara jalan-jalan sama ibu-ibu RW kita. Baju ini kita pakai, yuk!”
“Wah iya bener, Mbak. Aku hampir lupa. Iya, yuk, yuk!” sahut ibu Mayang bersemangat.
“Aku nggak diajak?” tanya pakde pada adik dan istrinya.
“Idiih, itu kan acara buat ibu-ibu, Mas. Kamu mau jadi cowok sendiri?” tanya bude sembari mendelik.
Pakde terkekeh. “Oh iya, ya udah ndak jadi. Nanti aku pakai pas acara pergi sama bapak-bapak aja,” sahutnya.
“Emangnya bapak-bapak RW kita mau bikin acara jalan-jalan juga, Mas?” tanya Sekar pada kakaknya.
“Ya belum, sih. Nanti aku yang usulin,” ucap pakde kalem, yang disambut suara tawa istri dan adiknya.
“Nah, ini kue-kuenya Mayang buka, ya,” ucap Mayang sembari mulai membuka satu persatu oleh-oleh makanan yang dibawanya. Mulai dari batagor dan siomay, kue soes, pisang bolen, klappertaart sampai kecimpring dan camilan kering lainnya.
“Waaah, banyak banget makanannya, Mayang?” ucap ibu. “Ini sampai batagor juga ada.”
Mayang tertawa. “Iya, Bu. Ini tadi siang sebelum pulang kita makan di restoran yang jual batagor ini. Karena enak banget, jadi Mayang beli deh buat di rumah. Ini ada yang pakai kuah, ada yang pakai saus kacang. Ibu sama Pakde dan Bude mau makan sekarang? Kalau mau, Mayang panasin dulu kuah dan bumbunya?” tanya Mayang.
“Boleh juga,” ucap pakde segera. “Liat makanan di depan mata jadi lapar.”
“Iya ya. Padahal tadi kita udah makan malam, kan?” ucap bude.
“Ya udah kalau gitu sekarang kita makan tengah malam aja. Sekali-kali kan nggak apa-apa,” ucap ibu.
“Oke! Mayang siapin dulu, ya!”
“Mayang, kamu besok ngantor?” tanya ibu.
“Iya, Bu,” sahut Mayang dari dapur.
“Nggak capek, kamu? Ini aja kita jam segini belum tidur, besok pagi-pagi banget kamu harus berangkat ke kantor,” kata ibu.
“Nggak capek kok, Bu, orang Mayang di sana cuma jalan-jalan dan santai-santai aja,” jawab Mayang, “Lagian Mayang kan pingin bawain semua oleh-oleh ini buat Ibu, Pakde dan Bude.”
Mayang yang selama beberapa tahun belakangan sibuk bekerja dan mengurus kehidupannya, sudah jarang merasakan momen kebersamaan seperti ini. Maka dari itu sejak masih di Bandung ia sudah berniat untuk pulang ke rumah orang tuanya dan menghangatkan suasana di rumah ini lagi. Keempat orang itu kemudian menikmati camilan berat tengah malam mereka sembari mendengarkan cerita Mayang soal macam-macam, termasuk rencananya untuk liputan dan pemotretan di Bandung akhir bulan ini.
“Kalau gitu, akhir bulan nanti pulang dari Bandung bawain ini lagi ya, Mayang,” ucap pakde sembari menunjukkan mangkuk batagornya yang sudah kosong. “Ini enak banget, lho!”
“Iya, Pakde. Siap!” sahut Mayang.
Keesokan sorenya, selesai jam kantor, Mayang diantarkan oleh Dio pergi ke klinik kecantikan milik relasi Dio yang kemarin sudah disebutkan olehnya itu. Sarah dengan sangat licik tiba-tiba membatalkan niatnya untuk melakukan treatment dengan alasan hendak melakukan pemotretan. Sejak sebelum Dio datang, Sarah sudah pergi meninggalkan kantor dengan membawa sebuah kantung kertas di tangannya dan berpamitan singkat pada Mayang dengan lambaian tangan dari kejauhan saja.
Meksipun kesal karena merasa dikerjai, Mayang tak bisa berbuat apa-apa kecuali tetap pergi bersama Dio, karena tidak mungkin ia membatalkan janji dengan dokter kecantikan itu hanya gara-gara Sarah tidak jadi pergi. Akan terlihat aneh di mata Dio, karena seolah-olah Mayang takut berdekatan dan berduaan dengan Dio. Maka dari itu Mayang berusaha bersikap santai dan biasa saja.
“Gimana, Dok?” tanya Mayang pada Linda, dokter spesialis berwajah cantik yang baru saja selesai mengamati tanda lahir di bahunya itu.
“Ibu punya foto tanda lahirnya sebelum ini, nggak? Beberapa bulan atau beberapa tahun lalu, supaya bisa saya jadikan bahan perbandingan?” tanya dokter Linda.
“Wah, nggak ada, Dok. Saya dari dulu biasa pakai baju tertutup sih, jadi pasti nggak ada dokumentasinya. Tapi yang saya ingat sih, dulu nggak sebesar ini, Dok. Warnanya juga nggak segelap ini,” jawab Mayang.
“Tapi nggak ada rasa gatal atau panas ya, Bu?” tanya dokter Linda lagi.
“Nggak ada Dok, sama sekali ngga ada rasa apa-apa,” jawab Mayang.
“Biasanya, secara teori, saat seseorang tumbuh besar, tanda lahir yang ada di tubuh akan semakin melebar, karena kulitnya meregang mengikuti ukuran tubuh yang bertambah besar. Tetapi warnanya cenderung akan memudar karena resolusi warnanya menipis karena kulit yang meregang,” ucap sang dokter. “Sementara Bu Mayang, ukuran tanda lahirnya membesar dan menggelap ya, warnanya?”
“Iya, Dok, semakin lebar dan semakin gelap warnanya, Dok,” ucap Mayang. “Kira-kira ini berbahaya nggak ya, Dok?” tanya Mayang, khawatir jika tanda lahirnya itu adalah gejala kanker kulit atau hal berbahaya lainnya.
“Selama tidak ada rasa gatal atau panas, atau tumbuh rambut pada permukaannya atau lingkaran berwarna gelap ini menjadi bervolume atau membengkak, sebenarnya tidak berbahaya, Bu,” ucap sang dokter. “Untuk sementara ini, menurut hasil pemeriksaan saya, tanda lahir di bahu Ibu Mayang itu tidak menunjukkan adanya sel-sel hidup yang berkembang di dalam jaringan kulitnya. Tapi saran saya, coba mulai sekarang Ibu sering-sering perhatikan ukuran dan penampakan tanda lahir Ibu. Dibuat dokumentasi fotonya secara berkala, jadi nanti bisa kita ketahui dengan pasti kalau memang tanda lahir itu membesar. Barusan sudah saya foto juga dan saya ukur, jadi nanti kalau ibu datang untuk kontrol lagi, saya juga sudah ada datanya ya, Bu.”
“Gitu ya, Dok,” ucap Mayang, merasa keresahannya belum hilang sepenuhnya.
“Iya, Bu,” ucap dokter itu. “Kita lihat dulu kira-kira selama sebulan ini, ya. Sering-sering dilihat dan dirasakan saja ya, Bu. Nanti bulan depan Ibu silakan datang lagi ke sini. Tapi kalau sebelum satu bulan Ibu sudah merasakan sesuatu yang nggak wajar seperti rasa gatal atau sakit, silakan langsung datang aja ya, Bu.”
“Baik, Dok. Terima kasih,” ucap Mayang kemudian berpamitan dan beranjak dari ruang praktek dokter tersebut.
“Gimana, May?” tanya Dio yang menunggu Mayang di kursi tunggu ruang praktik dokter itu.
Meskipun sebenarnya merasa risih membahas hal yang bersifat sedikit pribadi seperti itu, Mayang menjelaskan pada Dio apa yang dikatakan oleh Dokter Linda tadi padanya.
“Hmm … ya udah, kalau gitu mulai sekarang lo cermati aja, May, kalau ada perubahan atau ada keluhan lain. Kalau memang ternyata harus ada penanganan khusus, nanti gue bantu cari rumah sakitnya, ya. Jangan pergi sendirian,” ucap Dio.
Mayang tersenyum. “Iya, Dio. Makasih banyak ya, atas bantuan lo. Gue jadi nggak enak udah ngerepotin lo buat hal kayak gini aja. Lo sampai harus ninggalin kerjaan lo di Kafe Daun,” ujar Mayang tak enak hati. Sikap Dio saat ini seolah sudah menjadi pasangan resminya yang harus memerhatikan kondisi kesehatan dan keselamatannya.
“Nggak kok, gue nggak ngerasa direpotin. Gue malah khawatir sama lo, May,” jawab Dio. “Ya udah, sekarang gue antar pulang ke kost, ya.”
“Oke,” sahut Mayang.
Mayang dan Dio tiba di kost Mayang sekitar jam setengah tujuh malam. Mayang membawa plastik besar berisi oleh-oleh untuk teman-teman kostnya.
“Mayaaaang!” seru Dira heboh.
“Yaaayy … Mayang pulang!” Nurin ikut berseru.
“Asyiikk … bawa oleh-oleh!” Indah tampak berbinar-binar melihat Mayang menenteng sesuatu.
“Eh, Mayang datang sama siapa, tuh?” Sari bertanya-tanya.
Mayang tertawa melihat sambutan yang heboh itu. Keempat teman akrabnya itu menjulurkan kepala dari jendela kamar mereka masing-masing sembari berkomentar.
“Yuk, Dio, mampir dulu,” ajak Mayang. Meskipun sebenarnya malu membawa teman cowok untuk bertamu tetapi Mayang merasa sangat tidak sopan jika ia langsung menyuruh Dio pulang setelah Dio berbaik hati mengantarkannya pergi ke dokter tadi.
“Girls, kenalin, ini Dio, yang punya villa tempat gue nginap kemarin,” ucap Mayang memperkenalkan Dio pada teman-temannya.
“Ooo … ini yang namanya Dio? Gue Dira,” ucap Dira sembari mengulurkan tangan pada Dio.
“Gue Sari. Lo yang punya Kafe Daun itu, ya?” tanya Sari sok tau.
“Halo, gue Nurin. Apa kabar, Dio?” sapa Nurin sok akrab.
“Halo, Dio. Gue Indah, temennya Mayang yang paling Indah,” ujar Indah nekat mempromosikan diri tanpa malu.
Dio tertawa mendengarnya, namun tetap sopan menanggapi teman-teman kost Mayang. Dalam hati Dio merasa senang, setelah perkenalannya dengan ibu Mayang semalam, sekarang ia juga bisa mengenal teman-teman Mayang dalam circle lainnya lagi, yang membuatnya merasa seolah sudah sangat diterima oleh lingkungan Mayang.
“Duduk dulu, Dio,” ucap Mayang mempersilakan Dio duduk di teras depan kamarnya.
“Thanks,” sahut Dio.
“Nih, gue bawain oleh-oleh buat lo semua. Bagi-bagi ya, jangan berantem,” ucap Mayang sembari mengangsurkan plastik besar di tangannya kepada Dira sebagai perwakilan.
“Asyiikk! Thanks, May!” ucap Dira yang langsung berbalik hendak masuk ke dalam kamarnya namun dicegah oleh yang lain.
“Woi, Dira! Lo nggak denger instruksi Mayang tadi? Bagi-bagi!” tukas Nurin yang dibalas tawa oleh Dira.
Dan keempat gadis yang berisik itu akhirnya menghilang masuk ke dalam kamar Dira. Mungkin sibuk berbagi makanan atau sengaja berkumpul di kamar itu untuk menguping pembicaraan Mayang dengan Dio karena kamar Dira bersebelahan dengan kamar Mayang.
“Mau minum, Dio? Gue ambilin dulu ya, di dapur,” ucap Mayang. “Mau minum apa?”
“Air dingin aja deh, kalau ada,” ucap Dio.
“Ada doong, sebentar ya,” ucap Mayang.
Tak lama kemudian Mayang sudah kembali dari dapur membawakan segelas air dingin untuk Dio.
“Thanks, “ ucap Dio yang langsung meminum air dingin itu.
“Maaf ya, temen-temen gue pada berisik,” ucap Mayang. “Maklum, mereka jomlo semua.”
Dio tertawa kecil. “Nggak apa-apa. Eh tapi … kan lo sendiri juga jomlo, May,” ucap Dio.
“Oh iya, ya. Lupa. Hahaha!” Mayang tertawa geli. Sebenarnya dia bukannya lupa bahwa dirinya juga jomlo. Tetapi statusnya yang sudah pernah menikah dua kali membuat persepsinya sendiri terhadap kata ‘jomlo’ menjadi berbeda dengan kebanyakan orang. Mayang menganggap jomlo adalah orang yang sudah lama tidak pernah punya pasangan, dan dia tidak termasuk di dalamnya.
“Sekali-kali ajak aja temen-temen lo nongkrong di Kafe Daun, May. Siapa tau mereka ketemu jodoh di sana. Gue liat sering ada gerombolan cowok-cowok yang nongkrong tanpa cewek, tuh. Biasanya pada mau nonton live musicnya aja. Ya … siapa tau ada yang nyangkut,” usul Dio.
Mayang terkekeh. “Boleh juga, tuh. Nanti deh weekend ini gue ajak mereka ke sana,” jawab Mayang.
“Eh tapi … lo jangan, ya,” ucap Dio tiba-tiba.
“Ha …? Jangan apa?” tanya Mayang bingung.
“Jangan ikutan nyangkut juga,” ucap Dio.
“Kenapa emangnya?” tanya Mayang pura-pura polos.
“Ih, jahat. Kok gitu sih nanyanya,” kata Dio sedikit cemberut, tahu kalau Mayang hanya pura-pura tidak tahu perasaannya.
“Loh, kan gue cuma nanya, emang kenapa kalau gue juga ikutan nyangkut?” tanya Mayang.
Wajah Dio sontak memerah. “Ya … kan, udah ada gue ….” jawabnya dengan nada rendah tetapi terdengar jelas di telinga Mayang.
Mayang terdiam, tak menyangka Dio akan langsung menjawabnya dengan serius tanpa melanjutkan candaan mereka.
“May,” panggil Dio setelah beberapa saat mereka saling diam.
“Iya?” sahut Mayang.
“Gue … suka sama lo.”
Kali ini wajah Mayang yang berubah merah padam. Pernyataan yang cukup singkat, padat dan simpel dari Dio itu justru membuatnya tercekat. Dadanya langsung terasa sesak.
“Ng … gue ….” Mayang tak sanggup melanjutkan kata-katanya. Ucapannya terhenti seperti ada sesuatu yang tersangkut di dinding tenggorokannya.
“Nggak usah ditanggapi sekarang juga nggak apa-apa, May,” ucap Dio buru-buru, khawatir jika Mayang terkejut dengan pernyataannya yang mendadak barusan dan kemudian malah menolaknya. “Gue cuma … cuma mau ngungkapin perasaan gue aja. Dan gue serius, May.”
Mayang tertunduk. Ia tahu Dio tidak ingin dirinya mengambil keputusan yang terburu-buru untuk memberikan jawaban. Tetapi Dio juga menjaga agar tidak keduluan oleh orang lain, makanya ia segera menyatakan perasaannya terhadap Mayang.
“Gue janda, Dio,” ucap Mayang akhirnya. “Udah dua kali pula.”
“Gue kan udah tau soal itu,” jawab Dio.
“Gue lebih tua dari lo. Lumayan jauh jarak usia kita,” ucap Mayang lagi.
“Itu juga gue udah tau,” jawab Dio. “Tapi Mayang, gue ngerasa cocok sama lo. Bahasa gaulnya, gue ngerasa sefrekuensi sama lo.”
Mayang tersenyum. “Sekadar sefrekuensi aja nggak cukup buat membina sebuah hubungan, Dio. Kita kan orang timur. Punya keluarga, punya temen-temen, ada tetangga yang suka usil, ada media sosial yang hobi ngehujat orang. Sementara lo juga punya bisnis, punya relasi. Apa lo siap dengan tanggapan mereka semua nanti? Hal pribadi bisa juga berpengaruh kepada kelancaran usaha dan bisnis, loh,” ucap Mayang berusaha membuat Dio berpikir lebih jauh lagi tentang apa yang diungkapkannya ini.
“May,” ucap Dio, “Lo nggak usah mencemaskan keluarga gue. Gue ini laki-laki dewasa, gue berhak memutuskan siapa yang gue inginkan jadi pasangan hidup gue. Tanpa orang tua atau wali, gue tetap bisa memutuskan dan bertindak sendiri. Urusan bisnis keluarga nggak usah lo pikirkan, karena gue yakin kalaupun kakak-kakak gue memutuskan untuk memecah asset kami karena nggak setuju dengan pilihan gue, gue tetap bisa hidup dan mencari nafkah buat keluarga dengan bagian yang gue dapatkan. Untuk masalah relasi dan teman-teman, gue yakin mereka bisa menilai sesuatu dengan bijaksana dan nggak picik. Yah, kalaupun ada yang berpikiran dangkal, abaikan aja. Berarti mereka nggak cocok untuk jadi teman atau relasi bisnis gue. Kalau soal tetangga, jangan khawatir, dari kecil orang tua gue juga nggak peduli omongan tetangga, kok. Bagi gue, hidup bertetangga itu cukup dengan saling sapa kalau ketemu, berpartisipasi kalau tetangga ada yang mau bikin acara pernikahan, dan datang melayat saat ada yang meninggal. Dan jangan lupa bayar iuran keamanan dan kebersihan. Udah, itu aja. Lagipula kalau kita nggak nyaman sama tetangga, tinggal di apartemen aja. Lebih private.”
Mayang tersenyum, menahan tawa mendengar jawaban Dio itu. Padahal Dio baru menyatakan rasa suka, tapi pembicaraannya menjadi jauh, seolah mereka sedang merencanakan tentang rumah tangga mereka setelah menikah nanti.
“Gitu, ya ….” ucap Mayang pelan.
“Nah, kalau soal kekhawatiran orang tua lo soal mitos itu, gue yakinkan lo sekali lagi ya, May. Gue nggak percaya dengan semua itu,” ucap Dio dengan nada sangat tegas.
Mayang menoleh, dan melihat tekad di wajah Dio yang cukup kuat. Meskipun usia Dio jauh lebih muda dari dirinya, tetapi Mayang melihat laki-laki ini sangat serius dengan perasaannya.
“May, gue nggak minta lo menanggapi pernyataan tentang perasaan gue ini dengan terburu-buru. Gue cuma merasa, lo harus tau apa yang gue rasakan ini. Gue serius, May,” ucap Dio sekali lagi, kali ini sambil menatap Mayang lekat-lekat.
Mayang balas menatap Dio, kemudian mengangguk. “Iya. Makasih yah atas perasaan lo terhadap gue.”
Dio mengangguk, kemudian tersenyum. “Jadi … akhir bulan ini, jadi kan kita nonton meteor shower sama-sama? Gue udah minta Sarah nemenin beli teleskop yang bagus. Nanti lo sama Reindra ikut juga ya, belinya?” pinta Dio.
Mayang tersenyum. “Serius lo mau beli teleskop hanya untuk fenomena langit yang cuma terjadi sekali-sekali itu?” tanyanya.
“Serius, dong,” jawab Dio. “Kan masih ada fenomena langit lainnya kayak gerhana bulan atau supermoon. Lagipula, biarpun nggak ada fenomena istimewa apapun, lo akan tetap suka memandang langit kan, May?”
Mayang mengangguk. “Iya,” jawabnya.
“Ya udah, berarti teleskop itu nggak akan mubazir. Pasti akan terpakai terus,” ujar Dio, seolah sudah yakin Mayang akan menerima perasaannya dan kemudian mereka akan menikah dan setiap hari memandangi langit melalui teleskop.
Mayang tersenyum dan mengangguk lagi. “Oke. Kapan mau belinya?” tanya Mayang.
“Jumat sore aja minggu depan. Gimana?” tanya Dio. “Gue sekalian mau belanja peralatan yang kurang buat Kafe Daun yang di Bandung. Jadi nanti bisa kita bawa sekalian ke sana.”
“Oke. Jumat sore,” ucap Mayang menyetujui.
“Ya udah, kalau gitu gue pulang dulu, ya. Jangan lupa weekend minggu ini ajak temen-temen kost lo yang pada berisik tadi itu nongkrong di Kafe Daun, ya, biar tambah rame kafe gue,” pesan Dio sembari tersenyum.
“Okeeee! Kita pasti datang, kok!” Serempak suara-suara cempreng itu terdengar dari balik jendela kamar Dira.
Mayang dan Dio langsung menoleh ke arah itu, dan meledak tertawa melihat kepala empat orang gadis itu menyembul dari celah jendela yang rupanya sejak tadi tidak tertutup rapat. Sepertinya mereka sengaja hendak menguping pembicaraan Mayang dengan Dio.
“Woi, orang tuh kalau nguping diem kaliiiii, jangan nyaut,” tukas Mayang geli.
“Oh iya lupaaa!” sahut keempatnya sembari kembali menenggelamkan kepala mereka ke balik daun jendela.
Dio terkekeh melihat tingkah kocak teman-teman Mayang itu. Meskipun malu karena mungkin mereka semua mendengar pernyataan perasaannya terhadap Mayang tadi, namun Dio tidak merasa keberatan. Dia malah merasa senang.
“Ya udah May, gue pulang dulu, ya,” ujar Dio berpamitan.
“Oke, Dio. Makasih banget ya tadi udah ditemenin ke klinik terus dianterin pulang,” ucap Mayang.
“Sama-sama,” ucap Dio sambil bangkit dari kursinya diikuti oleh Mayang.
“Pulang dulu ya, semuanya,” ucap Dio saat melewati jendela kamar Dira, yakin keempat orang itu masih menguping dari balik dinding. Dan benar saja, seketika keempatnya langsung bermunculan dari balik pintu.
“Daaah, Dio!”
“Sampai ketemu minggu depan!”
“Hati-hati di jalan, ya!”
“Jangan ngebut!”
Mayang tertawa mendengar ucapan-ucapan dari teman-temannya yang sepantasnya diucapkan oleh dirinya itu. Ia melambai pada Dio yang sudah berada di dalam mobil melalui kaca jendela yang diturunkan dan memandang sampai mobil Dio tidak terlihat lagi di kejauhan.
Mayang berbalik hendak kembali ke kamarnya dan disambut dengan sorakan-sorakan teman-temannya.
“Pantesaaan, waktu itu kita minta dikenalin nggak dikenalin, ternyata udah ditandain sama Mayang sendiri, gaes!”
“Iya, pantesan kita nggak diajak ke Bandung. Ternyata dia takut terganggu sama kita.”
“Cukup tau lah kitaaa!”
“Hei, hei, apaan sih kalian,” sergah Mayang sambil tertawa.
“May, lo kenapa nggak jawab langsung tadi?” tanya Dira. “Dia udah nyatain suka sama lo gitu. Lo juga suka, kan?”
Mayang yang sudah duduk kembali di kursinya menoleh pada Dira dan tersenyum. “Lo semua udah denger juga kan tadi semua yang gue omongin sama Dio?”
Keempatnya mengangguk, dan duduk mengelilingi Mayang.
“Ya udah, berarti lo semua udah tau kan alasannya,” jawab Mayang.
“Maaf ya, May, kita tadi nggak sengaja denger omongan kalian,” ucap Nurin, “kita nggak mengira pembicaraannya mau pribadi banget.”
Mayang tersenyum dan menggeleng. “Iya, nggak apa-apa.”
“Tapi May,” sela Sari, “maaf nih, karena udah terlanjur denger, jadi gue penasaran. Soal … soal mitos yang tadi kalian sebut-sebut. Mitos apaan, sih?”
Mayang terdiam sesaat.
“Gue tau,” ucap Dira tiba-tiba. Dan semua menoleh ke arahnya.
“Tau apa?” tanya yang lain dengan pandang bertanya pada Dira.
“Itu … soal … kutukan, kan, May?” tembak Dira langsung, menatap Mayang.
Mayang menatap Dira terkejut, tak menyangka Dira langsung tahu.
“Hah? Kutukan?” tanya Sari tercengang.
“Kutukan apaan?” tanya Indra dengan wajah ngeri.
Sesaat Mayang terdiam, berpikir hendak menjawab apa. Namun kemudian ia mengangguk.
“Iya, bener, Dir. Kok lo tau?” tanya Mayang.
Dira melirik ke arah bahu Mayang sekilas. “Gue waktu itu nggak sengaja lihat tanda lahir di bahu lo, May, waktu malam pertama kita ketemu di dapur. Dan gue tau, tanda lahir seperti itu namanya bahu laweyan. Sengkolo Bahu Laweyan.”
Semua menatap Dira tanpa berkedip. Mereka yang tadinya sibuk bercanda dan tertawa menjadi sedikit kaget dengan cara bicara Dira yang terdengar misterius.
“Lo … bisa tau dari mana, Dir …?” tanya Mayang. “Bukannya … banyak yah, orang yang punya tanda lahir?”
Dira menggeleng. “Gue yakin itu tanda kutukan. Karena gue tau orang yang punya tanda kutukan persis kayak gitu juga.”
Mayang tercekat. “Si … siapa, Dir?” tanya Mayang dengan tegang.
“Nyokap gue,” jawab Dira.