“Waahh … kalian belanja apaan aja, tuh?” tanya Reindra penasaran melihat Mayang dan Sarah kembali ke lokasi parkir mobil dengan membawa banyak kantung kertas dan kantung plastik di tangan mereka.
“Gue sih cuma beli baju-baju atasan sama topi buat di lapangan,” kata Sarah. “Nih, yang banyak belanjaannya si Mayang.” Sarah mengedikkan kepalanya ke arah Mayang sembari memasukkan belanjaannya ke bagasi mobil Dio yang telah dibukakan oleh si pemiliknya.
“Gue cuma beli baju buat kerja sama baju olahraga. Yang banyak tuh baju oleh-oleh buat nyokap, pakde dan bude gue,” ucap Mayang sembari tersenyum. Dia telah membelikan ketiga orang tuanya itu masing-masing tiga potong pakaian dan ia berharap mereka akan senang menerimanya.
“Pakde dan bude lo itu nggak punya anak ya, May?” tanya Dio sambil membantu Mayang menyimpan belanjaannya di dalam bagasi yang sudah nyaris penuh itu.
“Nggak punya.” Mayang menggeleng. “Makanya pakde dan bude gue sayang banget sama gue sejak kecil.”
“Jadi kayak punya tiga orang tua ya, May,” ucap Dio.
Mayang mengangguk sambil tersenyum.
“Ya udah, sekarang kita ke mana lagi, nih? Cari makan dulu atau beli oleh-oleh dulu?” tanya Dio.
“Gue sebenernya pingin beli oleh-oleh klapertaart sama soes vla yang pakai rhum itu, deh,” ucap Reindra. “Adik gue suka banget makanan itu.”
“Eh, gue juga mau beli itu!” ucap Mayang dan Sarah berbarengan.
“Oke. Eh, adik lo umur berapa sih, Rein?” tanya Dio sambil membukakan pintu untuk mereka semua.
“Seumuran lo, Dio. Ngapain lo tanya-tanya? Dilarang naksir, dia udah punya pacar,” jawab Reindra usil, memancing reaksi Dio dan Mayang.
Dio tertawa. “Gue kan cuma nanya, bukan mau naksir. Lagian gue udah naksir orang lain, kok," jawab Dio sembari nyengir.
“Siapa tuuuuhhh?” sambar Sarah dan Reindra kompak. Sementara Mayang hanya tersenyum kecil sembari melempar pandangan keluar jendela.
“Ada, dehh,” jawab Dio tenang. “Ya udah yuk, jalan. Makan apa kita?” tanyanya mengalihkan pembicaraan.
“Baso,” jawab Reindra.
“Siomay,” jawab Sarah.
“Batagor kuah,” jawab Mayang.
“Oke. Gue bawa kalian ke tempat yang jual ketiga menu itu,” ucap Dio yang dengan sigap memutar kemudi menuju ke arah berlawanan.
“Asyik yah di sini. Semua jajanan ada, dan lokasinya deket-deket semua,” ucap Sarah.
“Iya. Enak juga yah, tinggal di Bandung,” ucap Mayang.
“Boleh May, kalau mau tinggal di Bandung,” sambar Dio tiba-tiba sembari melirik Mayang melalui kaca spion.
“Cieee … udah mulai berani ni anak,” komentar Reindra sembari mendorong bahu Dio yang tampaknya sudah semakin terbuka mendekati Mayang.
“Sabar, Dio. Mengenai tempat tinggal, itu bisa dibicarakan kemudian. Yang penting itu, tentukan tanggalnya dulu,” seloroh Sarah dengan nada sok bijaksana seperti ibu-ibu yang sedang membahas tanggal pernikahan anaknya.
“Aamiin,” ucap Dio sambil tertawa, senang mendengar ucapan Sarah yang ia anggap sebagai doa.
“Apaan sih, lo!” Mayang yang merasa malu karena digoda terus menerus mendorong Sarah keras-keras dan membuat sahabatnya itu malah tertawa terpingkal-pingkal.
Tak berapa lama kemudian tibalah mereka di tempat makan yang dituju. Segera saja mereka masuk dan memesan menu yang mereka inginkan.
“Eh kita foto yuk, foto,” ucap Sarah bersemangat. “Kan, udah mau pulang, nih.”
“Oke, ayo!” sahut yang lain.
Dan seperti yang biasa dilakukan oleh orang-orang lain saat sedang berkumpul bersama, mereka berfoto dalam berbagai pose di dalam kafe kecil itu. Bahkan sampai saat seorang pelayan membawakan pesanan mereka, Sarah sempat meminta tolong untuk mengambilkan foto mereka bersama.
“Makasih ya, Mas! Eh, Kang. Hehehe … baik banget si Akang ini,” ucap Sarah sopan sambil terssenyum pada sang pelayan kafe.
“Sama-sama, Teh,” jawab pelayan remaja laki-laki itu dengan wajah malu-malu. Di luar dari gayanya yang tomboy dan berkesan urakan, Sarah memang gadis yang cantik dan menarik.
“Nih, gue kirimin ya fotonya ke w******p lo semua,” ucap Sarah. “Oh iya May, nih gue kirim foto lo yang tadi buat ditunjukkin ke dokter.”
“Ssst ….” Mayang mendesis pada Sarah, tapi terlambat. Dio dan Reindra sudah mendengar kata ‘dokter’ yang diucapkan Mayang, dan itu adalah hal yang membuat keduanya menjadi cemas karena berpikir Mayang sedang menderita sakit.
“Hah? Foto apa? Dokter apa?” tanya Reindra.
“Lo sakit, May?” tanya Dio segera.
“Ups … sorry ….” ucap Sarah sembari garuk-garuk kepala, merasa tidak enak hati karena sudah keceplosan soal itu.
Mayang yang merasa malu untuk menjelaskannya akhirnya juga ikut menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Dan akhirnya sembari menikmati makan siang mereka, Mayang mengungkapkan keresahannya tentang tanda lahirnya yang membesar, meskipun tidak menunjukkan fotonya pada Reindra dan Dio.
“Hmm ….” Reindra mengerutkan dahinya. “Itu adik gue si Sasha, juga punya tanda lahir di lengan kanannya. Waktu lahir warnanya merah tua, dan ukurannya kecil. Tapi semakin dia besar, ukurannya ikut melebar meskipun warnanya semakin memudar.”
“Iya, biasanya gitu,” ucap Sarah. “Tapi Mayang tanda lahirnya warnanya semakin menggelap.”
“Ya udah diperiksain aja ke dokter, May. Meskipun mungkin bukan hal yang serius, tapi ada baiknya kita tanya ke ahlinya aja,” ucap Dio.
“Iya, nanti gue periksain,” ucap Mayang.
“Ke klinik perawatan kenalan gue aja,” ucap Dio lagi, “nanti gue anterin. Dokternya temen sekolah gue dan dia lulusan universitas di Jerman.”
“Hah ….” Mayang menoleh ke arah Dio, “Ng … nggak usah, Dio. Nanti gue sendiri aja, hehehe ….” Mayang merasa tak enak hati kalau urusan sepele seperti ini sampai harus merepotkan Dio.
“Iiih, biarin aja si Dio nganterin lo, May. Siapa tau dapat diskon paket treatment dari temennya Dio itu,” ucap Sarah memaksa.
Dio tertawa. “Ayo Sar, lo ikut juga kalau memang mau treatment. Klinik temen gue itu lengkap banget loh, peralatannya. Mbak Miranda aja langganan perawatan di sana.”
“Boleh juga, tuh! Ayo, May!” ajak Sarah.
Mayang tahu Sarah bukan tipe perempuan yang memikirkan penampilan, sehingga tidak mungkin Sarah melakukan perawatan di klinik kecantikan. Satu-satunya alasan kenapa Sarah terlihat bersemangat untuk pergi ke klinik tersebut adalah supaya Mayang semakin dekat dengan Dio.
“Oke, deh,” ucap Mayang mengiyakan ajakan Sarah.
“Siip!” ucap Sarah. Dan Dio tersenyum senang karena berhasil menyambungkan lagi kegiatannya dengan Mayang. Sepertinya Dio memang berusaha keras untuk selalu hadir dalam setiap kegiatan Mayang.
Selesai makan, mereka beranjak menuju ke toko oleh-oleh. Mayang, Reindra dan Sarah membeli berkotak-kotak makanan khas Bandung untuk dibawa pulang. Mayang sudah merencanakan akan langsung pulang ke Bekasi membawakan oleh-oleh ini untuk ibu, pakde dan budenya di rumah.
“Banyak banget belanjaan lo, May,” komentar Sarah.
“Iya, pakde dan bude gue suka banget sama makanan kering kayak gini, jadi gue beliin aja buat stok di rumah. Gue juga beli beberapa buat temen-temen kost gue. Tanggal expirednya juga masih lama, kok,” ucap Mayang.
“Nggak repot nanti lo bawanya pulang ke Bekasi?” tanya Sarah.
“Gampang,” jawab Mayang. “Kan, bisa naik taksi on ….”
“Nanti kan gue anterin,” potong Dio yang tiba-tiba sudah ada di belakang kedua perempuan itu.
“Eh, Dio, nggak usah,” tolak Mayang langsung. Dalam hati ia berpikir untuk tidak merepotkan Dio terus. Lagipula Mayang khawatir kalau Dio mengantarkannya sampai ke rumah, ibunya akan bertanya-tanya tentang Dio dan mencurigai kalau Mayang sudah punya pasangan lagi.
“Eh, May,” sela Reindra yang muncul di belakang Dio, “kan kita nanti ketemunya pintu tol Bekasi dulu, baru pintu toll Jakarta. Ngapain juga lo ikut sampai Jakarta terus balik arah lagi ke Bekasi. Ya mendingan sekalian kita anterin ke rumah pakde lo.”
“Eh, iya juga yah,” sahut Mayang sedikit malu. Saking tidak ingin Dio ditanyai oleh ibunya, Mayang sampai hilang orientasi lokasi.
“Nah, bener,” sahut Dio yang senang karena didukung oleh Reindra. Ia merasa senang karena bisa mengetahui tempat tinggal orang tua Mayang. “Kita nanti langsung keluar tol Bekasi terus ke rumah lo May. Setelah itu Sarah sama Reindra ikut gue lanjut ke Jakarta.”
“Iya. Oke,” jawab Mayang.
Selesai berbelanja keempat sahabat itu kembali memasuki mobil. Dengan bagasi penuh barang dan oleh-oleh, mereka bertolak kembali ke Jakarta.
Pukul sembilan lewat lima belas menit, mobil yang dikemudikan oleh Dio tiba di rumah Mayang.
“Yang ini, Dio,” ucap Mayang sembari menunjukkan rumahnya.
“Oke,” sahut Dio yang segera menepikan mobilnya dan memarkirkannya tepat di depan rumah Mayang.
“Oh, ini rumah lo May,” ucap Reindra. “Enak ya, banyak tanamannya. Pasti kalau siang adem banget deh.”
“Iya, adem banget. Gue dulu suka ngerjain PR sekolah di teras itu,” Mayang menunjuk ke arah dalam. “Yuk, turun.”
“May, gue boleh numpang ke kamar mandi, nggak? Kebelet, nih,” ucap Sarah yang terlihat gelisah menahan buang air kecil sejak tadi.
Mayang terkikik geli. “Ya boleh, doong.”
“Gue juga pingin ngelurusin kaki dulu nih, pegel,” ujar Dio sembari menggeliat.
“Lagian sih lo, tadi mau gue gantiin nggak boleh,” gerutu Reindra.
“Hehehe … nggak apa-apa Rein, kan pegel bisa hilang asal udah diistirahatin sebentar,” jawab Dio yang sebenarnya sengaja membuat dirinya capek dan pegal-pegal supaya ada alasan untuk mampir di rumah Mayang.
“Eh, May, oleh-oleh yang buat temen kantor sama temen kost titip di gue aja, nggak usah diturunin. Kan repot kalau besok harus lo bawa-bawa naik kereta,” ucap Dio.
“Ng … nggak apa-apa, gue bawa aja. Nanti malah jadi lo yang repot, Dio,” tolak Mayang.
“Gini,” ujar Reindra menengahi. “Oleh-oleh yang buat temen kantor nanti titip di rumah gue aja, besok gue yang bawa ke kantor. Kalau yang buat temen kost biar aja dibawa Dio, kan Dio tiap hari ke Kafe Daun. Kafe Daun kan deket banget sama kostan lo, May.”
“Nah, bener,” ucap Dio menyetujui.
“Oh, gitu. Ya udah kalau gitu. Thanks ya Rein, Dio,” ujar Mayang.
Kemudian Mayang mulai menurunkan tas dan beberapa barang belanjaan miliknya dengan dibantu oleh Dio. Kemudian ia membuka pintu pagar dan mempersilakan teman-temannya masuk. Belum sempat Mayang mengetuk, pintu rumahnya sudah terbuka.
“Eh, Mayang, udah pulang?” Terdengar suara seorang perempuan yang muncul di balik pintu.
“Iya, Bu,” jawab Mayang. “Kirain Ibu udah tidur.”
“Belum, Ibu masih nonton TV. Eh, kamu sama siapa? Ramai-ramai, toh?” tanya ibu Mayang yang kini berdiri di luar pintu, tersenyum ke arah teman-teman Mayang.
“Malam, Tanteee,” sapa Sarah, Dio dan Reindra berbarengan.
"Malam," balas ibu Mayang dengan ramah.
“Oh iya, Bu, kenalin ini teman-teman Mayang,” ucap Mayang. “Ini Sarah, fotografer. Ini Reindra, reporter. Dan ini Dio, relasi kantor Mayang yang nyewain property untuk majalah Style.”
Ibu Mayang menyalami satu persatu teman-teman Mayang. “Ayo, silakan masuk,” ujarnya.
“Di sini aja boleh kan, Tante? Kayaknya enak, adem,” ucap Reindra yang tampak antusias melihat teras rumah Mayang yang tampak nyaman.
“Oh, boleh boleh, silakan. Pasti pada capek, yah? Tante bikinin minum dulu, ya,” ucap ibu Mayang.
“Eh, jangan repot-repot, Tante,” ucap Dio sopan.
“Ah, nggak, nggak repot, kok. Sebentar ya,” sahut ibu Mayang lalu berbalik masuk ke dalam rumah.
“Oh iya, Sar, ayo ke kamar mandi. Jangan sampai teras gue nanti banjir,” ucap Mayang sembari nyengir, mengingatkan Sarah yang tadi mengatakan ingin ke kamar mandi.
“Sialan,” maki Sarah sambil mengikuti langkah Mayang masuk ke dalam rumah.
Setelah tinggal berdua saja, Dio dan Reindra langsung duduk di lantai teras yang dingin itu. Kemudian Dio segera mendekat kepada Reindra. “Rein, nyokapnya Mayang cantik banget, ya? Pantesan Mayangnya cantik gitu.”
“Iya, gue juga baru liat,” jawab Reindra balas berbisik. “Kayak agak blasteran gitu nggak, sih? Apa jangan-jangan Mayang ada keturunan bule Eropa atau mana … gitu, ya.”
Dio mengangguk. “Mungkin nenek atau kakeknya Mayang ada yang blasteran Belanda. Kan banyak orang Indonesia yang blasteran Belanda,” ujar Dio.
“Bener juga.” Reindra mengangguk. “Tapi Mayang nggak keliatan blasteran, ya. Dia wajahnya Jawa. Cantiknya kayak orang Jawa ningrat.”
Dio mengangguk menyetujui.
Tak berapa lama Mayang kembali ke luar dari rumah bersama Sarah dengan membawa baki berisi empat cangkir teh hangat. Mayang meletakkan baki tersebut pada meja kecil di teras.
“Eh, maaf yah, cuma ada teh manis aja. Apa mau makan camilan yang kita beli tadi?” tanya Mayang menawarkan.
“Ah, jangan, May. Itu kan oleh-oleh buat orang tua lo. Lagian kita udah kenyang, kali. Kan dari tadi kita udah makan mulu di jalan,” tolak Sarah.
“Oh, ya udah,” ucap Mayang sembari ikut duduk di lantai menikmati tiupan angin malam yang terasa sejuk.
“May, besok lo naik apa ke kantornya kalau dari sini?” tanya Dio.
“Kereta bisa, bus juga banyak. Gampang, kok. Cuma harus berangkat agak pagian aja,” jawab Mayang.
“Ah ... lo kan boss, datang siang juga nggak apa-apa, kaliii,” ujar Sarah meledek.
“Ya nggak gitu juga, masa mentang-mentang boss terus datangnya boleh siang,” balas Mayang membela diri. Semua karyawan redaksi majalah Style tahu bahwa Mayang selalu datang tepat waktu.
“Eh, jadi gimana akhir bulan? Kita jadi kan, nonton meteor shower?” tanya Dio antusias.
“Layar tancep kali, ditonton,” sambar Sarah sembari nyengir.
Dio tertawa. “Kan emang kita mau nonton fenomena itu,” kilahnya.
“Gue sih pinginnya jadi,” ucap Reindra. “Kayaknya asyik tuh.”
“Eh, gimana kalau sekalian aja bikin liputan, Sar, Rein? Masukkin inputan ke rapat redaksi minggu ini,” usul Mayang. “Lensa kamera lo bisa menangkap fenomena itu nggak, Sar?”
“Bisa, asal langitnya cerah,” ujar Sarah. “Tapi berarti kita harus bawa model, dong? Yang mau difoto siapa?”
“Hmm … siapa, yah,” gumam Mayang sambil berpikir. “Tapi kalau masuknya ke rubrik Outfit of the Day atau Kilasan Lensa sih, nggak perlu model professional juga, kan?”
“Lo aja, May,” tembak Sarah langsung.
“Yee … jangan gue, lah. Kan orang udah pada tau muka gue. Nggak professional amat pimpinan redaksinya dijadiin model,” ujar Mayang sambil tertawa.
“Iya juga yah,” ucap Sarah sembari nyengir. “Kayak pingin eksis banget pimpinan redaksinya.”
“Ya udah, kalau gitu Dio aja,” ucap Reindra tiba-tiba.
“Eh, kok jadi gue?” ucap Dio terkejut. “Gue nggak bisa jadi model.”
“Ide bagus!” sambut Mayang. “Dio kan bukan tim redaksi, wajahnya belum pernah kelihatan di majalah Style.”
“Aduh … jangan, gue nggak bisa bergaya kayak model,” tolak Dio tampak sedikit panik.
“Tenang, tenang, gue udah kebayang konsepnya,” ujar Sarah. “Lo nggak perlu bergaya apa-apa, Dio. Cukup pakai pakaian yang stylenya kayak petualang gitu, terus berdiri menatap langit. Kalau perlu angle yang beda, gue bisa ambil dari bawah, jadi nggak kelihatan kalau Dio lagi berdiri di halaman villa. Seolah lagi berdiri di lapangan terbuka.”
“Cakep!” sahut Reindra.
“Curang nih, kalian sekongkol!” gerutu Dio.
“Ok gue setuju, Dio jadi modelnya. Cocok kok, Dio,” ucap Mayang sembari tersenyum.
“Ya udah deh ….” ucap Dio pura-pura pasrah padahal dalam hati senang mendapat pujian dari Mayang.
“Dih, lemah banget lo Dio,” sindir Reindra. “Tadi nolak, begitu Mayang yang ngomong langsung nurut.”
“Iya, kalau Mayang yang ngomong gue nggak pingin nolak,” ucap Dio polos.
Mayang tertawa kecil, berharap ibunya tidak mendengarkan pembicaraan mereka dari dalam rumah.