“Ma … masa sih, May, nyokap lo bilang begitu ke anaknya sendiri?” tanya Dio tak percaya.
“Nyokap gue bilang begitu karena nggak mau gue terus-terusan sedih karena kehilangan suami gue, Dio. Nyokap juga nggak tega lihat keluarga mendiang suami gue bersikap seperti nyalahin gue akibat meninggalnya mereka. Saking sayangnya nyokap sama gue, makanya beliau justru melarang gue menikah lagi,” jelas Mayang.
“Tapi May, kok nyokap lo bisa yakin banget kalau lo membawa kutukan itu? Memangnya ada bukti apa yang bisa mendukung pendapat itu? Kan hasil pemeriksaan dokter mengatakan kalau kedua mendiang suami lo sakit jantung, kan?” tanya Dio semakin heran.
“Ada, Dio. Ada bukti lainnya,” jawab Mayang.
Dio menatap Mayang tak percaya. “Bukti apa?” tanyanya.
Mayang menyentuh bahu kirinya. “Katanya, pembawa kutukan bahu laweyan itu, punya tanda lahir di bahu kirinya. Tanda berbentuk bulat berwarna hitam.”
Dio menatap wajah Mayang sesaat, kemudian beralih ke bahunya. “Emangnya lo punya tanda lahir kayak gitu, ya? Gue nggak pernah lihat,” katanya.
“Kan gue emang nggak pernah pakai baju terbuka,” sahut Mayang, “berenang aja gue pakai kaos lengan pendek.”
“Iya juga, ya,” ucap Dio. “Besar ya, tanda lahirnya?”
Mayang berpikir sejenak. “Kira-kira … sebesar koin dua puluh lima rupiah gitu, deh.”
“Hmm ….” Dio tampak berpikir serius. “Tapi … itu kan bisa aja hanya sebuah kebetulan, May. Kan, banyak orang yang punya tanda lahir di tubuh.”
“Iya, lo bener. Tapi masalahnya nyokap gue percaya kalau tanda lahir gue ini memang tanda kutukan. Dan sekarang … kayaknya bukan nyokap gue aja yang percaya, tapi Dea juga. Dan Dea juga mungkin udah ngomong ke banyak orang tentang gue,” ucap Mayang sedikit lirih.
Salah satu hal yang dikhawatirkan oleh Mayang adalah jika teman-teman kerjanya selain Sarah dan Reindra, juga relasi perusahaannya termakan cerita mitos ini. Bukannya Mayang sok terkenal dan tidak mau kehilangan pengikutnya. Tetapi sebagai pimpinan redaksi di sebuah majalah yang bergerak di bidang fashion dan entertainment, sudah pasti cukup banyak orang yang mengenalnya. Dan kalau sampai tuduhan sebagai pembawa kutukan ini menyebar, itu mungkin akan berpengaruh pada reputasinya, dan bisa saja pada majalah Style sendiri.
“Tapi … eng ….” Dio kembali tampak salah tingkah. “Lo pribadi nggak percaya dengan soal kutukan ini kan, May?” Dio kembali memastikan.
Mayang menggeleng.
“Kalau begitu lo harus coba meyakinkan nyokap lo kalau beliau nggak usah percaya dengan mitos seperti ini,” ucap Dio.
“Susah, Dio. Gue udah coba membantah waktu itu, tapi nyokap malah nangis,” jawab Mayang.
“Nangis …? Gara-gara lo nggak mau percaya kata-kata beliau?” tanya Dio.
Mayang menggeleng. “Jadi waktu itu … nyokap gue sempat bilang, bahwa kutukan itu sepertinya ada hubunganya dengan mendiang bokap gue,” ucapnya.
“Hubungannya apa?” tanya Dio cepat, semakin penasaran dengan cerita Mayang.
“Nah itu dia. Waktu nyokap bilang begitu, gue udah tanya, tapi nyokap malah nangis. Terus waktu gue tanya soal siapa nama bokap, malah nyokap bilang kalau bokap gue bukan manusia,” ucap Mayang teringat kembali pembicaraan dengan ibunya beberapa waktu lalu.
“Hah? Bukan manusia?” Dio tercengang.
“Mungkin nyokap bilang begitu karena bokap dulu jahat. Gue sih curiga bokap gue dulu sering berbuat kasar atau menelantarkan nyokap dan gue, makanya sampai dikatain ‘bukan manusia’,” jelas Mayang.
“Eh, tunggu sebentar. Tadi lo bilang, lo nggak tau nama bokap lo sendiri, May?” tanya Dio heran.
Mayang mengangguk. “Dari kecil gue udah dibawa pergi dari kampung. Terus tinggal sama pakde dan bude gue di Bekasi. Akte kelahiran gue aja dikasih nama pakde gue. Gue bahkan nggak inget nama kampung gue, loh. Gue cuma inget, ada nenek gue di kampung. Tapi nggak tau beliau masih ada atau nggak sekarang,” ucap Mayang.
“Lo nggak pernah coba nanya sama nyokap soal hal-hal yang lo nggak tau itu?” tanya Dio heran. “Selama ini lo sering ngobrol kan sama nyokap? Maksud gue, sejak kecil sampai sebelum lo bekerja dan tinggal sendiri, lo pasti sering ngobrol sama nyokap, kan?”
Mayang mengangguk. “Gue itu deket sama nyokap gue. Akrab dan sering ngobrol. Tapi karena sejak kecil gue udah terpola untuk nggak bertanya soal bokap, soal kampung halaman dan soal apa aja yang menyangkut tentang masa lalu gue atau nyokap gue, jadi ya sampai besar gue nggak pernah nanya lagi. Karena gue tau pertanyaan-pertanyaan soal itu bisa membuat nyokap gue sedih. Cuma, beberapa waktu lalu, karena nyokap duluan yang ngajak bicara gue untuk menceritakan soal kutukan itu, gue jadi punya umpan untuk bertanya soal bokap. Tapi yaa tetep aja nggak ada jawaban yang pasti. Gue nggak tega untuk memaksa nyokap cerita kalau memang beliau nggak pingin cerita.”
Mayang menghela napas dan mengembuskannya dengan keras, membuang sesak yang ia rasakan sejak tadi menggumpal di dalam rongga dadanya.
“Tapi May, sebaiknya nanti kalau ada kesempatan, lo coba bicarakan lagi aja dengan nyokap lo. Kalau memang nyokap lo berat untuk bahas soal siapa sebenarnya bokap lo, ya minimal bujuk nyokap supaya nggak melarang lo untuk menikah lagi. Lo kan masih muda, May. Kalau suatu saat ketemu lagi dengan laki-laki yang cocok, gimana?” ucap Dio tanpa berani menatap Mayang.
“Gue … belum berpikir untuk punya pasangan lagi, Dio,” ucap Mayang, “gue masih trauma aja rasanya.”
“Tapi … lo kan butuh orang buat mendampingi lo, May,” kata Dio segera. “Kalau si Dea nyebarin berita nggak bener itu tentang lo ke orang lain lagi, paling tidak kan, jadi ada yang akan ngebelain lo.”
“Hmmh. Gue udah biasa dijelekkin orang kayak gitu, Dio,” kata Mayang, “keluarga almarhum suami gue yang kedua juga jadi benci sama gue, dan seolah nyalahin gue. Baru aja selesai ngadain acara empat puluh harian, mereka udah langsung nyuruh gue pergi dari rumah yang gue tempati. Menurut mereka, gue nggak berhak tinggal di situ karena baru sehari menikah. Mungkin, mereka semua menganggap gue sengaja menyingkirkan suami-suami gue untuk kemudian bisa menguasai hartanya.”
“Astaga! Jahat banget tuduhannya!” Dio berseru kaget. “Itu kan sama aja mereka menuduh lo melakukan perbuatan kriminal!”
“Iya. Tapi memang begitu kenyataannya, Dio. Makanya gue mendingan diem aja dan ngikutin aja apa maunya mereka. Gue paling nggak suka ribut soal harta,” ucap Mayang. “Bukannya gue mau bersikap sombong, tapi gue juga sanggup kok, menghidupi diri gue sendiri. Gue kan punya pekerjaan dan penghasilan. Masih bisa beli makan sendiri.”
“Tapi … menikah kan bukan semata-mata untuk soal penghidupan aja, May,” ucap Dio. “Punya pasangan itu kan bisa bikin kita jadi nyaman dan merasa tenang.”
“Ya gue juga tadinya berharap seperti itu. Tapi kan kenyataannya, dua kali menikah malah membuat hidup gue jadi lebih sulit. Jadi dimusuhi dan dibenci orang,” ucap Mayang.
“Itu kan karena memang takdirnya udah begitu, May,” ucap Dio, “yang berikutnya kan bisa berbeda.”
“Kalau sama … gimana …?” Mayang seolah bertanya pada dirinya sendiri.
“Maksudnya … lo percaya sama kutukan itu, May?” tanya Dio.
“Nggak,” jawab Mayang cepat.
“Kalau nggak percaya sama kutukan itu, kenapa lo takut akan terjadi hal yang sama kalau lo nikah lagi?” tanya Dio lagi.
“Bukan gitu, Dio,” jawab Mayang. “Gue cuma berpikir, seandainya takdir gue adalah harus kehilangan pasangan gue lagi, kayaknya gue nggak bakalan sanggup menghadapi semua efek dan imbasnya. Keluarga pasangan gue pasti akan semakin yakin untuk menuduh bahwa gue sengaja menyingkirkan suami gue. Apalagi sebelumnya udah ada bukti kejadian yang sama sebanyak dua kali. Terus nanti Dea atau siapa lagi akan mengemukakan teori soal kutukan itu ke orang-orang. Belum lagi keluarga gue yaitu nyokap gue, lalu pakde dan bude gue, mereka pasti sedih banget kalau gue harus mengalami hal kayak gitu lagi. Terus teman-teman kantor gue, mereka pasti ….”
“Reindra dan Sarah?” tanya Dio.
Mayang tersenyum dan menggeleng. “Kecuali mereka berdua. Mereka berdua itu udah kayak keluarga bagi gue. Mereka baik banget dan care sama gue. Gue percaya mereka nggak akan nuduh gue yang aneh-aneh.”
“Nah, berarti kan masih ada orang-orang yang bakalan tetap ada di samping lo, May. Jadi jangan takut untuk melakukan apa yang lo mau. Kalau memang lo ketemu orang yang lo suka, ya jalanin aja dulu. Nggak usah mikir yang jelek-jelek,” ucap Dio, tanpa sadar telah menyemangati Mayang untuk menerima dirinya yang jelas-jelas sedang berusaha mendekatinya.
“Naah, gue punya ide, nih!” ucap Dio tiba-tiba.
“Apa?” tanya Mayang.
“Kita memang nggak percaya dengan kutukan ini. Tapi nyokap lo dan banyak orang lainnya kan percaya banget. Nah, berarti yang bisa kita lakukan adalah mencari cara untuk menggugurkan kutukan. Setau gue yang namanya kutukan itu biasanya ada penggugurnya. Entah itu diruwat atau apa lah, istilahnya. Nah, lo lakukan aja tuh syaratnya, dengan sepengetahuan keluarga lo dan kalau perlu teman-teman lo. Jadi, apapun yang akan terjadi nanti ke depannya dengan hidup lo, nggak bisa disangkutpautkan lagi dengan kutukan itu, karena semua orang udah liat sendiri kalau lo udah menjalani pengguguran untuk kutukan itu. Nah, gimana, ada nggak yah, cara untuk menggugurkan kutukan ini?” tanya Dio dengan penuh semangat.
Mayang tersenyum nyaris tertawa mendengar pertanyaan terakhir Dio. “Ada. Nyokap gue ngasih tau gimana cara menggugurkan kutukan ini,” jawab Mayang.
“Gimana, tuh? Gimana?” tanya Dio lagi dengan bersemangat.
“Katanya, orang yang membawa sengkolo bahu laweyan ini harus menikah sebanyak tujuh kali, baru bisa terbebas dari kutukan itu,” ucap Mayang.
“Whaattt?” Dio berseru terkejut. “Harus menikah sebanyak tujuh kali? Berarti … harus empat kali lagi dong?”
Mayang mengangguk dan merasa geli melihat reaksi Dio yang sangat ekspresif itu. Entah kenapa kesedihan Mayang malah hilang ketika melihat cara Dio menanggapinya yang terasa santai dan menyenangkan itu.
“Nggak jadi, deh, nggak jadi. Kita pikirkan cara lainnya aja,” ucap Dio buru-buru.
Mayang menahan tawanya. Ia sangat mengerti apa yang sedang dipikirkan oleh Dio. Di dalam hatinya Dio berharap jika Mayang sudah menjalani ritual pengguguran kutukan, ia bisa bersatu dengan Mayang. Tetapi karena syaratnya adalah Mayang harus menikahi empat orang laki-laki lebih dulu, maka Dio tak jadi mendukung syarat tersebut.
“Ng … maaf May, gue cuma pingin tau aja,” ucap Dio lagi, “kedua mendiang suami lo itu, meninggalnya … pas waktu … mm … waktu ‘malam pertama’?” Wajah Dio sedikit memerah saat menanyakan hal itu.
Mayang mengangguk. “Iya. Pas setelah ‘malam pertama’,” jawabnya.
“Maksudnya, setelah kalian … itu … maksud gue ng …. setelah kalian melakukan … hubungan suami istri, gitu?” tanya Dio dengan wajah semakin memerah. “Eh, maaf ya May, gue ngga bermaksud bikin lo ….”
“Iya.” Mayang mengangguk. “Tepat setelah kami melakukan hubungan suami istri pertama kali.”
“Oh ….” Dio tampak tercekat mendengar jawaban Mayang.
“Maka dari itu, kesimpulan dokter tentang serangan jantung mendadak itu cocok dengan bukti yang didapat di lokasi. Serangan jantung memang bisa terjadi pada orang yang melakukan hubungan intim tanpa persiapan yang baik,” ucap Mayang.
Meskipun sedikit malu menjelaskannya, namun ia harus tetap bersikap profesional membahas soal ini dengan Dio, karena biar bagaimanapun mereka berdua adalah orang dewasa. Dan apa yang mereka bahas ini juga banyak di bahas di jurnal-jurnal kesehatan umum. Jadi bukanlah sebuah hal yang tabu.
“Maksudnya persiapan yang baik itu … gimana, ya?” tanya Dio polos.
“Yah, mungkin sebenarnya Mas Bayu dan Mas Ridho itu pada dasarnya kinerja jantungnya kurang baik, ditambah lagi mereka jarang berolahraga. Sehingga saat melakukan hubungan suami istri, tubuh mereka kaget dan tidak bisa menerima tekanan yang sedemikian besar dan intens. Kira-kira begitu,” jelas Mayang.
“Hmm … gitu. Berarti ... gue harus rajin olahraga,” gumam Dio tanpa sadar.
“Hah?” Mayang terkejut mendengar ucapan Dio yang tak diduganya itu.
“Eh, maksud gue, itu … ng … yah, kita semua kan, harus menjaga kesehatan dengan rajin berolahraga, hehehe ….” ucap Dio gelagapan dengan wajah merah padam.
Mayang semakin ingin tertawa melihat sikap Dio yang lucu itu. Sejujurnya Mayang justru ingin Dio tidak usah menyatakan perasaannya karena itu hanya akan merusak hubungan pertemanan mereka saja. Saat ini Mayang sudah merasa nyaman dengan kedekatan mereka berempat yang seperti ini. Dio polos dan jujur, juga lucu. Dan itu sudah cukup untuk saat ini.
“Ya udah kita tidur, yuk,” ucap Mayang. “Eh, besok kita pulang ke Jakartanya jam berapa?”
“Malam aja,” jawab Dio. “Siangnya kita jalan-jalan dulu. Kalian cewek-cewek ngga pada pingin belanja emangnya?”
“Mau doong,” jawab Mayang.
“Ya udah, besok agendanya belanja dan jajan aja di Bandung kota. Oke?” ucap Dio.
“Oke!” sahut Mayang.
“Mm … May, satu lagi,” ucap Dio saat mereka beranjak berdiri dari kursi masing-masing. “Gue cuma mau bilang kalau … gue nggak percaya cerita soal kutukan yang ada di dalam tubuh lo itu. Oke.”
Mayang terpana sesaat menatap Dio. Wajah Dio terlihat begitu serius saat mengucapkannya. Dan Mayang pun tersenyum lalu mengangguk.
Keesokan harinya, keempat orang itu bangun saat matahari sudah meninggi di ufuk timur. Mayang merasa lega karena ia tidak mengalami mimpi aneh itu lagi. Mungkin pendapat teman-temannya benar, bahwa ia mengalami gangguan tidur akibat kelelahan. Ia sudah memutuskan untuk mengikuti saran Dio yang akan mengenalkannya pada ahli terapi gangguan tidur yang merupakan relasinya di Jakarta nanti.
Dengan tampilan kusut dan belum mandi, keempatnya berkumpul di meja makan untuk menikmati tahu s**u dan jajanan pasar lainnya yang telah disiapkan Mang Ujang sejak pagi untuk sarapan mereka. Kedekatan yang telah terjalin di antara mereka membuat keempatnya tidak merasa canggung lagi memperlihatkan tampilan masing-masing dalam wujud asli di pagi hari. Bahkan Mayang dan Dio yang telah memiliki rasa yang berbeda di dalam hati masing-masing juga merasa santai dan terbuka terhadap satu sama lain.
Saat sedang asyik mengobrol, Mang Ujang datang kembali ke dapur dengan bungkusan besar di tangannya.
“Mbak, Mas, ini pesanan kecimpringnya sudah jadi. Mau langsung dimasukkan ke dalam mobil saja?” tanya Mang Ujang.
“Woow, cepet banget jadinya, Mang Ujang?” ujar Sarah terkagum-kagum.
“Bahan-bahannya memang sudah siap dari kemarin kok, Mbak,” ucap Mang Ujang.
“Ya udah kalau gitu tolong langsung masukkin ke dalam mobil aja ya Mang Ujang,” ucap Dio.
“Baik, Mas Dio,” sahut Mang Ujang.
“Kita langsung bawa barang-barang aja dari sini kalau gitu,” ucap Reindra. “Jadi setelah jalan-jalan bisa langsung pulang ke Jakarta. Gimana?”
“Oke, setuju,” sahut yang lainnya.
Setelah membayar pesanan kecimpring masing-masing pada Mang Ujang, mereka kembali ke kamar untuk mandi dan berganti pakaian. Setelah itu mereka mengemasi semua barang-barang mereka.
“Udah yakin nggak ada yang ketinggalan?” tanya Dio.
“Yakin,” jawab Mayang.
“Sip,” sahut Sarah.
“Beres.” Reindra mengacungkan kedua ibu jarinya.
“Oke, berangkat, kita!” ucap Dio.
Kemudian setelah berpamitan dan mengucapkan terima kasih kepada Mang Ujang, keempatnya menuju ke kota Bandung.
Siang itu mereka sudah berencana menghabiskan waktu untuk berbelanja dan cuci mata. Mayang dan Sarah memisahkan diri dari Reindra dan Dio untuk mencari kebutuhan masing-masing, dan berjanji untuk bertemu lagi di parkiran untuk makan siang.
Selain membeli pakaian untuk dirinya sendiri. Mayang juga membeli beberapa potong untuk ibunya, serta pakde dan budenya. Sementara Sarah dengan mengherankan telah membeli beberapa kemeja longgar yang ukurannya jelas terlalu oversized untuk ia kenakan. Tetapi saat Mayang bertanya, Sarah hanya tertawa kecil dan mengatakan bahwa ia hanya sedang ingin berganti style saja. Dan Mayang pun tidak bertanya lebih lanjut lagi.
“Ini lucu banget modelnya, May!” ucap Sarah sembari menyorongkan satu stel pakaian santai bermodel casual pada Mayang. Sepotong celana tiga per empat dan sweater dengan hoodie berwarna salem.
“Baju olahraga?” tanya Mayang.
“Iya! Lo kan nanti mau rutin jogging di Senayan sama Dio, kan? Kan kalian udah janjian kemarin. Nih, beli! Ada warna lain juga tuh!” ucap Sarah sambil menunjuk ke gantungan baju display di hadapannya.
Seketika Mayang teringat kata-kata Dio semalam yang mengatakan bahwa ia harus rajin berolahraga, tepat setelah Mayang menceritakan tentang teori bahwa kedua mendiang suaminya kemungkinan meninggal karena fisik yang tidak prima saat melakukan hubungan suami istri.
“Woi! Malah bengong lagi ni anak!” tukas Sarah kesal.
“Eh, iya. Hehehe … maaf. Hmm … ya udah gue cobain dulu, deh,” ucap Mayang.
“Yuk, kita ke fitting room,” ajak Sarah. “Gue juga mau coba baju ini nih. Lucu modelnya.”
Dan kemudian keduanya menuju ke fitting room di bagian belakang untuk mencoba pakaian yang mereka inginkan.
Mayang memasuki salah satu kamar pas, dan Sarah masuk ke sebelahnya. Mayang kemudian melepas pakaian yang sedang dikenakannya dan mencoba memakai sweater hoodie itu. Potongan model oversizednya bagus dan bahannya nyaman dipakai. Tapi sayangnya bagian kerahnya terlalu lebar, nyaris berbentuk sabrina, sampai bahu Mayang terekspos. Mayang memutar badannya ke kiri dan ke kanan untuk melihat apakah kerah tersebut tidak terlalu lebar untuk dipakai berolahraga karena berisiko merosot turun saat dipakai berlari.
Dan saat ia sedang memperhatikan tampilannya dari sisi kiri, tiba-tiba pandangan mata Mayang terpaku pada satu titik di cermin. Ia memicingkan matanya, kemudian mengerjap-ngerjapkan mata berusaha memastikan akan apa yang ia lihat di pandangannya. Mayang melangkah mendekat ke arah cermin dalam posisi tetap menyamping.
Ia menggerakkan tangannya ke belakang, berusaha menjangkau. Kemudian kembali mengamatinya lagi.
Tanda lahir itu. Tanda lahir berbentuk bulatan berwarna hitam di balik bahu kirinya, kini tampak besar. Jauh lebih besar daripada seharusnya.
Jantung Mayang mendadak berdegup kencang. Ia kemudian memperhatikan cermin di hadapannya. Apakah toko ini menggunakan cermin yang bisa mengubah image yang terpantul pada permukaannya seperti yang sering dilakukan oleh para pengusaha pakaian? Mayang sering mendengar bahwa fitting room seperti ini seringkali dilengkapi dengan cemin yang dapat menipu pandangan agar pelanggan melihat dirinya lebih langsing dan tinggi dan bahkan lebih cantik sehingga terdorong untuk membeli pakaian yang sedang dicobanya tersebut. Tetapi cermin yang membuat seseorang tampak lebih tinggi, seharusnya tidak membuat sebuah bulatan menjadi bertambah besar, kan?
Mayang sebenarnya tak ingat pasti kapan ia terakhir memperhatikan ukuran besar tanda lahir di bahunya itu. Semalam ia memberitahu Dio bahwa tanda lahirnya berukuran sebesar koin dua puluh lima rupiah karena memang itu yang diingatnya. Tetapi mengapa sekarang tanda lahir itu tampak jauh lebih besar? Apakah tanda lahir ini hidup seperti tahi lalat yang bisa bertumbuh besar atau melebar?
Mayang segera melepas kembali sweater hoodienya dan kembali mengenakan pakaiannya lagi. Ia kemudian menjulurkan kepala keluar dan memanggil Sarah yang berada di fitting room sebelah ruangannya.
“Sar! Sar, udah selesai belum?” bisik Mayang.
“Udah, May. Bentar, lagi pakai baju. Lo udah, May?” Terdengar jawaban Sarah dari dalam kamar pas di sebelahnya.
“Ng … udah sih. Lo kalau udah selesai ke sini deh, Sar. Gue mau minta tolong,” ucap Mayang.
Beberapa detik kemudian Sarah sudah muncul di balik tirai penutup fitting room Mayang. “Ada apaan? Bajunya bagus, nggak?”
Mayang segera menarik tangan Sarah agar langsung masuk ke dalam. “Sar, tolong liatin ini, deh. Kalau bisa tolong ukurin atau fotoin.”
“Hah? Ukur atau foto apaan?” tanya Sarah bingung.
“Ini.” Mayang kemudian berbalik membelakangi Sarah dan mengangkat pakaiannya, memperlihatkan tanda lahirnya.
“Wow! Ini ya, tanda lahir lo itu? Besar juga, ya,” ucap Sarah sembari memerhatikan tanda lahir itu lekat-lekat.
“Kira-kira berapa senti, Sar?” tanya Mayang.
“Mmm … diameter tiga senti senti mungkin,” ucap Sarah menganalisa. “Bentar ya, gue fotoin pakai perbandingan.”
Kemudian Sarah segera mengambil dompet dari saku celananya, dan ponsel dari saku satunya. Ia mengeluarkan sekeping koin dua ratusan dan meletakkannya di samping tanda lahir Mayang. Kemudian memotretnya beberapa kali dan memberikannya kepada Mayang.
“Ini, segini, May,” ujar Sarah. “Kenapa, sih? Ada yang aneh?”
Mayang tercengang menatap foto pada ponsel Sarah. Ia sangat yakin, terakhir ia bercermin dan iseng melihat tanda lahirnya, besarnya hanya setara uang dua puluh lima rupiah dan bahkan mungkin lebih kecil. Dan warnanya tidak terlalu hitam, melainkan hanya abu-abu gelap. Tetapi saat ini, tanda lahirnya itu sudah membesar seukuran koin dua ratus rupiah yang disandingkan Sarah di sebelahnya, dan warnanya nyaris hitam.
“Tadi … gue pikir cermin fitting room ini yang menipu mata. Ternyata emang bener tanda lahir gue membesar. Dan warnanya juga menggelap,” ucap Mayang terheran-heran.
“Mungkin itu sebenarnya semacam tahi lalat yang bisa membesar, May,” ucap Sarah. “Tapi nggak tau juga deh, apakah tanda lahir bisa membesar atau nggak. Nanti kita googling aja soal itu.”
“Ya udah, oke. Thanks, Sar. Yuk, kita keluar,” ucap Mayang.
“Yuk. Eh, lo jadi beli baju ini?” tanya Sarah.
Mayang menggeleng. “Kerahnya terlalu lebar,” jawabnya.
“Oke, kalau gitu kita kita cari yang lain. Masih ada model lain yang lebih bagus, kok. Pokoknya lo harus beli, mumpung di Bandung, nih. Di Jakarta yang kayak gini mahal,” kata Sarah setengah memaksa dan menyeret Mayang kembali ke deretan display baju-baju olahraga tadi.
“Jangan lupa, Dio udah bilang mau ngajak kita ke villanya lagi akhir bulan, mau liat meteor shower, kan,” kata Sarah. “Nah, lo harus pakai baju yang keren. Siapa tau dia mau nembak lo di bawah hujan meteor. Romantis banget, kan.”
“Kok mirip drama Taiwan zaman dulu ya,” sindir Mayang sembari nyengir. “Yang update dikit dong perumpamaannya, drakor kek gitu.”
“Sori, bukan penggemar drakor,” sahut Sarah sambil menjulurkan lidahnya.
Mayang tertawa dan mengikuti langkah Sarah untuk kembali memilih-milih pakaian. Ia menepiskan pemikiran aneh yang membuatnya menghubung-hubungkan tanda lahir di bahunya dengan hal tidak menyenangkan yang ia alami selama ini. Mayang menolak memercayai hal ajaib seperti itu dan lebih memilih untuk berkunjung ke dokter spesialis kulit sesampainya di Jakarta nanti.