Chapter 6

1635 Kata
"Aisya awasi adik kamu, klo dia ketahuan sama cowok kamu lapor sama Papa," ucap Hendra yang seketika membuat bibir Aira menyebik kesal namun ia lebih memilih diam jika tidak ia pasti keceplosan tentang kebersamaannya dengan Deanova kemarin. Jika itu sampai terjadi, bubar sudah kariernya. "Siap Pa," balas Aisya dengan tergelak, ekor matanya menelisik ekspresi Aira yang terlihat gusar. Dua hari adalah waktu yang singkat untuk mereka berkumpul jadi malam itu mereka benar-benar memanfaatkan waktu bersama sebelum besok sore Hendra dan Marissa kembali ke Jakarta. Pukul 10 malam Aira hendak pamit pulang ke rumahnya namun Marissa melarang dan sekarang Aira sedang berada di atas ranjang bersama Marissa sedang Hendra tidur di kamar baby Azka, cucunya. Tik...tak...tik...tak... Denting jam dinding di kamar seolah mengejek Aira yang masih saja terjaga. Terdengar helaan nafas kasar, Aira menatap langit-langit kamar bermotif abstrak itu dengan kesal, ia pukul kepalanya pelan untuk mengenyahkan otaknya yang menolak berhenti memikirkan Deanova, bukan karena ia jatuh cinta tetapi rasa malu yang justru membayanginya, seandainya saja ada obat agar Deanova amnesia maka Aira pasti akan membelinya ke apotek dan memberikannya pada Deanova agar semua ingatan Deanova hilang tentang malam di mana ia tidur di villa dengan pakaian Deanova tanpa underware. Ia pegang pipinya dengan kedua tangannya yang tiba-tiba memanas saat membayangkan Deanova memakaikan baju untuknya. Lalu bibirnya juga dengan lancangnya membeberkan fakta semua tentang dirinya. Aira tak bisa membayangkan penilaian Deanova tentang dirinya sekarang. "Besok aku akan menemuinya untuk terakhir kalinya," dengung hati Aira sembari memaksa matanya terpejam. "Ra kamu kan cuma ada 1 kelas kita berangkat kuliah bareng saja, Papa dan Mama ngajakin jalan, pengen ke Malioboro," ucap Aisya saat mereka sedang sarapan bersama. "Terserah Mbak aja," balas Aira tak bersemangat, rencana menemui Deanova gagal. "Oya Ra, apa kamu nggak bawa baju ganti yang lain? Tuh baju kekecilan gitu," tegur Hendra karena melihat pakain Aira yang terlalu seksi. "Cuma bawa 1 ini aja Pa, aku bawa blazer kok Pa, tenang aja," balas Aira santai yang seketika membuat kepala Hendra dan Marissa menggeleng bersamaan. Setelah sarapan mereka berangkat ke kampus bersama dan meninggalkan Baby Azka di rumah bersama Marissa dan Hendra. Urusan pekerjaan rumah sudah ada ART dan sopir Aisya, Dodik jadi Ardan tenang meninggalkan kedua mertuanya di rumah selama ia mengajar. Dengan gontai Aira ke luar dari kelasnya lalu berjalan menuju parkiran dosen, ia memilih menunggu Ardan dan Aisya di parkiran saja. Mood_nya hari ini benar-benar kacau. Ia hanya ingin menemui Deanova agar pikirannya tenang lalu melanjutkan hidup tanpa kenangan abstrak bersama pria tampan itu. Tak lama dari kejauhan Ardan dan Aisya datang bersama, senyum keduanya merekah disela obrolan mereka sembari Ardan menggandeng mesra tangan Aisya seperti biasa, adegan mesra itu berhasil mencubit hati kecil Aira, kadang terselip rasa cemburu masih Aira rasakan, tak mudah baginya melupakan cinta pertamanya. "Sadar Aira, sadar.." peringat hati Aira dengan cepat sebelum pikirannya bertambah ambigu. Ardan melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang hingga sampai di pelataran rumahnya. Mereka disambut Baby Azka yang sedang berjalan dengan tertatih-tatih di teras rumah bersama nenek dan kakeknya. "Ayah...," panggil Baby Azka sembari berjalan ke arah Ardan dengan kedua tangan terangkat. "Anak Ayah lagi main apa Sayang?" Tanya Ardan dengan menghujani kecupan di pipi chubby Baby Azka. "Lali-lalian Yah," jawab Baby Azka dengan bahasa cadel disela-sela tawanya. "Ayah ganti baju dulu, adek sama Bunda dulu ya?" Ucap Ardan sambil mengecup bibir Baby Azka sekilas sebelum memberikannya pada Aisya. Hanya butuh 20 menit mereka sudah sampai di Malioboro, kios-kios yang mengular di sepanjang jalan membuat 3 perempuan itu seperti berada di medan magnet, hampir setiap kios mereka datangi hanya sekedar melihat-melihat, tak sedikit juga barang-barang yang mereka beli terutama Marissa, ia lebih banyak berbelanja daster batik untuk ia pakai sehari-hari di rumah. Meskipun keluarga kaya namun mereka tak gengsi berbelanja barang murah. Ardan dan Hendra hanya mengekori sambil manjaga Baby Azka yang mulai bereksplorasi dengan setiap apa yang ia lihat dan temui. "Let's go!" Teriak Aira saat mereka berdiri di depan kios khusus underware. Mereka bertiga berpencar memilih model dan brand yang biasa mereka pakai. "Yang, beli itu ya?" Bisik Ardan sembari ekor matanya menunjukkan ke istrinya pada lingeri seksi yang terpajang di samping Aisya. Aisya mengikuti arah ekor mata Ardan lalu tergelak dengan pipi bersemu merah. "Lain kali aja Mas, malu ada Mama dan Papa," jawab Aisya dengan berbisik pula. Ardan tergelak lalu mengusap puncak kepala Aisya, "Nggak papa," bisik Ardan lalu tangannya meraih dua lingeri berbeda warna dan model menaruhnya ke dalam keranjang Aisya. "Ehem..udah Mbak?" Tanya Aira yang seketika membuat Aisya gelagapan, ia bulatkan matanya memperingatkan Ardan untuk mengembalikan lingeri tersebut ke tempatnya semula. "Dasar bucin, ABG tua!" protes Aira saat menyadari perdebatan kedua pasangan dihadapannya. Aira melirik lingeri di keranjang Aisya lalu pergi. "Ayo ke kasir," ucap Ardan lalu mengambil keranjang ditangan Aisya membawanya ke arah kasir. Sedang Aisya hanya bisa menggerutu dalam hati, selalu saja suaminya bikin ulah yang membuatnya malu setengah mati. Aisya memejamkan mata saat seorang karyawan toko mengeluarkan lingeri itu dari keranjang, tit.. suara mesin kasir berbunyi saat membaca label barang itu, Aisya segera pergi ke arah Baby Azka dan Hendra yang sedang bermain di depan toko. Melarikan diri dari tatapan semua orang yang mengantri di kasir terutama kabur dari tatapan Marissa dan Aira. Berbeda dengan Ardan yang dengan santainya malah mengambil barang dari keranjang Aira dan Marissa lalu membayarnya. Aira sempat menolak karena malu, masak underwarenya dibayar kakak iparnya namun Ardan mengacuhkannya. Puas berbelanja mereka bersantai sejenak di kursi yang berjejer di sepanjang jalan sambil meminum minuman dingin. Seperti sedang bersekongkol terik mentari terasa membakar kulit mereka, Baby Azka pun mulai rewel karena kepanasan. "Ardan, kita cari makan dulu yang dekat-dekat sini saja," ajak Hendra. "Iya Pa di sini ada warung enak langgananku bersama Aisya," balas Ardan sambil membuka kunci mobil lalu membukakan pintu untuk Hendra yang sedang menggendong Baby Azka. "Oya Mas Ardan, kita ke DAS Caffee aja, di sana tempatnya enak dan menu pilihannya bervariasi." Tanpa Aisya sadari ucapannya seketika membuat wajah Aira memucat dengan jantung yang berdetak cepat. Aira hanya bisa membisu tanpa berani berkilah saat obrolan keluarganya hanya terdengar samar, otaknya langsung blank. Masih dengan bercanda mereka memasuki kafe tersebut, Aira melirik jam dipergelangan tangannya, "Bukan jadwalnya" desisnya dalam hati. Nafasnya sedikit lega saat tempat duduk favorit Deanova ternyata kosong, Aira masih ingat jadwal hadirnya Deanova di kafe itu yang tak pernah berubah selama ia mengamati pria itu selama seminggu yang lalu. "Mau ke mana Aira?" Tanya Hendra saat melihat Aira beranjak dari tempat duduknya, Hendra perhatikan putrinya sedari tadi terlihat gusar, makananya pun hanya tersentuh sedikit. "Ke belakang Pa, pipis, Papa mau ikut?" balas Aira kesal, Papanya itu selalu curigaan padanya. "Hus, bicara sama Papanya yang sopan Ra," tegur Marissa memperingatkan putrinya. Aira tak menjawab, dengan bibir cemberut ia melangkahkan kakinya ke arah kamar mandi kafe. Setelah membuang air kecil Aira berdiri di depan kaca, ia pandangi wajahnya yang kusut dengan kantung mata hitam menghiasi wajah putihnya. Ia ikat rambut panjangnya dengan tali lalu membasuh wajahnya dari air kran wastafel di hadapannya namun seketika matanya melebar sempurna dengan bibir mengangah saat melihat wajah Deanova yang terpantul dari kaca lebar di hadapannya, pria itu tersenyum lembut padanya dengan bahu bersandar di tembok sebelahnya. "Tuh kan otak gue ngaco lagi." Aira bermonolog lalu kembali membasuh wajahnya dengan air untuk mengusir bayangan Deanova dari pikirannya. "Mau berapa kali kamu basuh wajahmu?." Suara bariton yang Aira kenal masuk ke dalam pendengarannya. Aira membuka mata, sepasang mata cokelat tembaga itu kini mengunci netranya melalui cermin, seketika jantung Aira berulah. Debaran itu seakan mengisi ruangan sempit itu. Sedang Deanova masih bertahan dengan seringai gelinya. Tak mau menyia-nyiakan kesempatan yang sedang berpihak padanya Aira segera tersadar. "Kebetulan sekali kita bertemu, ada yang ingin kubicarakan sebentar," terang Aira sembari mereda degupan jantungnya yang semakin bertalu-talu. Deanova memandang Aira datar dengan alis bertaut, ia menunggu apa yang akan dibicarakan gadis di hadapannya. "To the point aja, mmm..aku harap apa yang terjadi diantara kita di Pantai Watu Kodok itu tidak pernah terjadi, anggap aja kita tidak pernah bertemu dan saling mengenal, aku janji tidak akan mengusik kehidupanmu lagi, tidak akan muncul di hadapanmu lagi," terang Aira lalu memutus kontak netra mereka. Lalu saat hendak meninggalkan Deanova sebuah tangan kekar mencengkeram lengan Aira dengan erat. "Kamu pikir mudah pergi begitu saja? Kamu yang pertama mengusik kehidupanku jadi aku tidak akan dengan mudah membiarkanmu pergi begitu saja," balas Deanova dengan sorot mata tajam dari kedua netranya. Ia telisik wajah cantik yang sejak semalam mengganggu ketenangannya. "See you again Aira," bisik Deanova sembari melepaskan cengkeraman tangannya dari lengan Aira lalu tersenyum meninggalkan Aira yang masih mematung di tempat. Suara keras musik Senorita yang berasal dari saku blazernya seketika membuatnya tersadar lalu bergegas kembali ke keluarganya. Sambil ia edarkan pandangannya ke seluruh sudut kafe mencari sosok yang baru ia temui. "Fix, barusan hanya ilusiku saja," desis hati Aira mencoba mengelak kenyataan, ia benar-benar bingung tidak bisa membedakan antara nyata atau hanya fatamorgananya saja akibat semalaman memikirkan pria itu. Ardan menuju kasir untuk membayar tagihan mereka namun ia terkejut saat kasir tersebut bilang jika semua tagihan tersebut sudah lunas dibayar oleh teman Aira. Ardan kembali memasukkan dompetnya ke dalam saku celana sambil memikirkan sesuatu. Seharian mereka bersama dan tidak bertemu teman Aira satu pun dan sekarang tiba-tiba membayar tagihan mereka di kafe ini. Kini mereka menuju rumah orang tua Ardan untuk berpamitan karena pukul 4 sore nanti orang tua Aisya dan Aira akan kembali ke Jakarta. Tak tahan dengan rasa penasarannya Ardan menanyakan langsung pada Aira, "Dek tadi tagihan kita di kafe sudah ada yang bayar, katanya Mbak kasir tadi yang melunasi teman kamu, teman kamu yang mana?". Deg...bibir Aira terkatup. Tiga pasang mata langsung menghujam ke arahnya. The powef of kepepet bahasa kota metropolitannya muncul. "Mampus gue!" gumam hati Aira dengan tersenyum kaku.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN