Aira segera masuk ke dalam kamar untuk membersihkan diri dan berganti pakaian setelah itu ia melaksanakan salat dhuzur. Aira duduk di tepi ranjang dengan perasaan campur aduk, rasa malu lebih mendomanasi perasaannya karena terbawa suasana tanpa sadar ia menceritakan semua masalah pribadinya pada pria asing yang baru ia kenal.
"Bodoh Ra," gerutunya pada diri sendiri dengan tangan kanan memukul keningnya.
"Kemarin ia juga pasti melihat tubuh polosmu," gerutu Aira tak kunjung selesai, rasanya ia tak punya muka untuk menemui pria itu.
Mata Aira melebar sempurna saat melihat ponselnya di atas nakas dalam posisi mengisi baterai. "Ya Allah aku lupa mengabari Gita." Aira segera mengambil ponselnya lalu mengaktifkannya, puluhan pesan dan laporan panggilan tak terjawab memenuhi layar ponselnya.
Dan ada satu nama panggilan yang seketika membuatnya bingung, My Mommy. Ia cek deretan pesan dari Gita dan Aisya.
"Buruan ke rumah Mbak, mama dan papa sudah menunggumu."
"Ra buruan pulang, mama dan papa kamu udah nungguin, kamu bisa naik taksi kan? Pak Bambang nggak bisa jemput karena harus nganter ibunya Pak Anton kontrol ke dokter, atau aku jemput aja tapi sabar ya kan lumayan jauh tuh lokasi."
Dengan cepat ia balas pesan Gita tanpa membalas pesan Aisya.
"Aku naik taksi aja, bilang sama mama tadi hp ku lowbat jadi nggak tau banyak panggilan dan pesan masuk." Setelah mengetik sederat kata Aira segera meng_klik tombol Send.
"Dev." Panggil Aira pelan sambil berjalan mendekati kamar satunya, ia yakin Deanova ada di kamar itu saat ia edarkan pandangannya ke segala sudut villa dan tidak menemukan keberadaan Deanova.
Deg..tubuh Aira membeku seketika saat mengintip dari celah daun pintu yang tertutup tak sempurna, ia melihat Deanova khusyuk di atas sajadahnya. Dengan cepat Aira menjauh lalu duduk di kursi yang menghadap langsung ke arah kaca besar menghadap lautan lepas. Ia mainkan ponselnya mengecek sosial media sambil menunggu Deanova selesai, lima belas menit berlalu akhirnya Deanova ke luar dari kamar dengan memakai celena pendek dan kaos singlet yang memamerkan tubuh atletisnya.
"Ingin pulang sekarang?" Tanya Deanova sembari meletakkan sebotol minuman bersoda yang ia ambil dari dalam kulkas ke hadapan Aira. Ia duduk di sebelah kursi Aira yang terlihat gusar.
"Kalau kamu tidak keberatan, orang tuaku datang dari Jakarta dan aku belum pernah naik transportasi umum, aku takut," aku Aira tanpa menatap Deanova karena rasa malu sekaligus sungkan karena telah merepotkannya.
"Baiklah aku siap-siap dulu," balas Deanova singkat seraya berdiri masuk ke dalam kamar yang di tempati Aira.
Tak lama Deanova ke luar dengan celana model belel jeans berpadu dengan kaos hitam dan jaket kulit berwarna coklat, rambut lurus sebahunya ia biarkan tergerai, seketika jantung Aira berdetak cepat melihat pahatan indah karya Tuhan yang terpampang di hadapannya.
"Let's go," ucap Deanova yang berhasil menyadarkan Aira dari kekagumannya.
"I iya Dev, sebentar," balas Aira dengan gugup lalu berjalan melewati Deanova yang masih berdiri di ambang pintu.
Sekali lagi Aira mengecek barang-barangnya sembari memasukkannya ke dalam koper, sambil berpikir ia berdiri menatap kopernya dengan kedua tangan berada dipinggang. Seketika wajah Aira memanas saat menyadari sepaket pakaian kotor yang tertinggal di kamar mandi, tentu saja di sana ada underware miliknya juga. Ia tak bisa membayangkan jika saja pakaian itu sampai tertinggal.
Panggilan musik Senorita mengalihkan perhatian Aira, segera ia raih ponselnya lalu mengecek siapa yang menelponnya seketika dadanya bergemuruh saat membaca nama Rocky tertera di sana, ia pencel tombol reject lalu memblokir nomor itu. Emosinya serasa di ubun-ubun mengingat perlakuan Rocky padanya, seandainya Deanova tidak menolongnya pastilah dirinya kini hanya tersisa nama.
"Ayo Aira, sampai kapan kamu akan melamun di situ?" ajak Deanova yang sudah berdiri dengan bahu bersandar pada daun pintu dan kedua tangan terlipat di depan d**a.
"Oh yah Dev," balas Aira dengan terkejut sembari mengusap air mata yang sudah menetes di pipinya.
Aira mengikuti langkah Deanova ke luar Villa sembari mengedarkan pandangannya ke seluruh sudut villa mungkin suatu hari nanti ia merindukannnya. Tentu ia akan selalu mengingat kebaikan pria yang kini berjalan di hadapannya.
Sepanjang perjalanan, baik Deanova dan Aira memilih untuk diam hanya suara hewan-hewan hutan yang menyemarakkan suasana. Aira memilih menatap luar jendela di sebelah kirinya sedangkan Deanova fokus menatap jalanan berliku di hadapannya. Dua jam berlalu akhirnya mereka hampir sampai tempat tujuan.
"Dev turunkan aku di perempatan jalan raya depan ya? Aku pesen gojek aja rumahku sudah dekat," pinta Aira.
"Aku akan mengantarkanmu sampai rumah, pantangan bagiku meninggalkan perempuan di tengah jalan," balas Deanova sambil melirik Aira sekilas lalu kembali fokus pada jalanan di depannya.
"Please deh Dev klo orang tuaku sampai tahu aku bersama seorang pria pastilah runyam, bisa-bisa kita dinikahkan nanti," terang Aira dengan tergelak, orang tuanya memang sering mengancamnya seperti itu, jika ia ketahuan pacaran maka akan langsung dinikahkan.
"Bagus dong, kita kan sama-sama singel jadi nggak ada masalah kan," jawab Deanova dengan ekspresi datar, seketika Aira terperanjat mendengar ucapan Deanova.
"Gila kamu," balas Aira dengan kesal karena ucapan seriusnya justru dibuat bahan candaan oleh Deanova.
"Kan kamu sendiri yang bilang katanya ingin menjadi pacarku?." Deanova semakin gencar menggoda Aira saat melihat rona merah di pipinya. Deanova tergelak sambil mengacak rambut Aira karena gemas. Ia teringat Adiknya Devina, sudah dua tahun ia tak bertemu pastilah kini ia semakin cantik.
"Ngaco kamu, waktu itu aku cuma bercanda," balas Aira lalu menoleh ke arah jendela di kirinya, menyembunyikan wajahnya yang semakin memerah. Rasanya ia sudah tak punya muka di hadapan Deanova.
Deanova tergelak melihat sikap Aira yang malu-malu, ia tidak menyangka gadis yang ia anggap agresif ternyata masih bersikap kekanak-kanankan. Mobil yang mereka tumpangi berhenti tepat di depan rumah minimalis bercat biru berpadu dengan warna silver. Terdengar hembusan nafas lega dari bibir Aira karena ternyata orang tuanya tidak berada di rumahnya.
"Kamu tidak menawariku untuk mampir? Aku haus," ucap Deanova dengan tersenyum. Tampak Aira ragu dengan menatap Deanova lekat sedangkan Deanova berusaha menahan tawa melihat ekspresi Aira yang tampak lucu di matanya.
"Sudahlah, lain kali aja aku mampir," ujar Deanova lalu mengacak rambut Aira sekilas.
"Dev, maaf ya karena aku sering mengganggumu dan terima kasih untuk semuanya," balas Aira dengan menatap Deanova lekat sebelum ia ke luar mobil sembari membawa koper kecilnya masuk ke dalam gerbang rumahnya.
Deanova membunyikan klakson mobilnya bersamaan dengan kaca mobilnya yang mulai menutup sebelum meninggalkan pelataran rumah Aira.
*****
Karena waktu hampir maghrib Deanova memutuskan untuk menginap di kafenya dan besok pagi barulah ia akan kembali pulang ke villanya. Sapaan ramah para pegawainya menyambut kedatangan Deanova, tampak mereka terkejut saat tiba-tiba bosnya datang tanpa pemberitahuan terlebih dahulu seperti biasanya apalagi baru 2 hari lalu ia pulang.
Dengan cepat salah satu pegawai perempuan bernama Evita membereskan kamar Deanova sebelum Deanova memutuskan beristirahat.
Setelah salat maghrib Deanova membaringkan tubuhnya sejenak sambil menatap langit-langit kamarnya, bayangan wajah cantik Aira seakan terpampang di sana. Sudah lama ia tidak memiliki hubungan dekat dengan seorang wanita, ada rasa tak teridentifikasi mengusik hatinya setelah kebersamaannya bersama Aira. Namun ia segera menghalau perasaan asing itu saat mengingat Nidya, perempuan yang hingga kini masih betah tinggal di dalam hatinya. Tiba-tiba rasa rindu seolah menghujam dadanya kala mengingat senyum menggemaskan Rizky, balita yang sudah ia anggap seperti anaknya sendiri.
"Ayolah Deanova, Nidya sudah berbahagia bersama keluarga kecilnya," tegur Deanova pada diri sendiri.
Di lain tempat Aira sedang bersama keluarganya di rumah Aisya, kakaknya. Seperti biasa Aira akan bermanja-manja pada Hendra papanya sedangkan Marissa terlihat asyik bercanda dengan cucunya, Azka balita tampan dengan bola mata hazel berusia 1,5 tahun itu terdengar tertawa keras, tawa si balita pun selalu berhasil mengundang gelak tawa para orang dewasa yang berada di sana.
"Aisya, adikmu ini sudah punya pacar belum?," Tanya Hendra yang seketika membuat Aira melotot ke arah Aisya, ia khawatir Aisya akan bercerita tentang Deanova.
Aisya tersenyum memahami kode mata dari Aira, "Entahlah Pa yang setahuku di kampus yang naksir Aira banyak tapi sepertinya ada satu cowok yang ia suka," jawab Aisya dengan wajah innocent_nya sengaja ingin menggoda adiknya.
"Nggak Pa, Mbak Aisya bohong, udah jangan percaya," sela Aira sambil melempar bantal pada Aisya namun meleset karena dengan sigap Ardan menangkap bantal tersebut.
"Jangan lempar-lempar sembarangan," tegur Ardan sambil melotot memperingatkan Aira.
"Ih dasar bucin,"decih Aira kesal. Ada perasaan iri yang menjalar dihatinya saat melihat perhatian dan cinta Ardan untuk Aisya, ia juga menginginkan memiliki suami seperti Ardan yang selalu memperlakukan wanita dengan lembut dan penuh cinta.
"Ya klo kamu nggak punya pacar papa berencana menjodohkan kamu dengan anak rekan papa, dia udah lama naksir kamu," terang Marissa dengan serius.
"Ogah Pa, masak hari gini masih aja ada acara perjodohan, aku mau berkarir dulu Pa, lagian usiaku juga masih 20 tahun, entarlah klo udah usia 25 tahun Aira menikah," terang Aira dengan merajuk dalam pelukan Hendra.
"Kalian bisa ta'aruf dulu, lagian dia juga masih melanjutkan studi S2_nya di Jerman, tahun depan ia sudah lulus," balas Herman sambil mencubit pipi putrinya.
"Itu loh Dek si Reynald, putranya Pak Aditama," lanjut Marissa.
Aira menggelengkan kepalanya, ia bersikeras menolak rencana perjodohannya dengan Reynald. Ia memamg mengenal Reynald sudah lama, mereka sudah beberapa kali bertemu saat acara perusahaan. Aira akui Reynald berparas tampan tetapi ia tidak pernah menganggapnya lebih dari sekedar teman biasa.
"Wajahmmu kenapa merah gitu Dek?" Tanya Marissa dengan tiba-tiba saat melihat wajah Aira merona.
"Tuh kan pipiku recehan banget, mesti nggak bisa di kontrol saat membayangkan wajah tampan Deanova," rutuk Aira dalam hati.
Tak menanggapi ucapan Marissa Aira justru beranjak dari tempat duduknya dan melepas pelukan Hendra lalu mencubit pipi chubby Azka yang sedang bermain dengan mobil-mobilannya. Marissa dan Hendra saling berpandangan, mereka melihat gelagat aneh putri bungsunya, mereka yakin putrinya sedang jatuh cinta.
__________________&&&_________________
Judul Buku : DnA
Author : Farasha