Chapter 8

1583 Kata
Aira memasukkan buku dan bolpoin ke dalam tas setelah dosennya mengakhiri kelas. Ia berniat menemui dua sahabatnya di perpustaan, tempat menyebalkan bagi Aira namun menjadi tempat favorit bagi kedua sahabatnya. Baru saja ia melewati koridor kelasnya, langkah kakinya terhalang oleh kehadiran Brian yang berdiri tepat di hadapannya, mahasiswa paling famous di fakultasnya, selain tampan ia juga terkenal playboy kelas kakap. "Ra, malam ini ada acara nggak? Kita nonton yuk," ajak Brian tanpa basa-basi dengan seringai tak terbaca. "Maaf, aku sedang sibuk," balas Aira singkat dengan tatapan dinginnya lalu mengambil langkah di sebelah Brian namun baru beberapa langkah sebuah tangan besar mencekal lengannya dengan kasar, mendorong tubuhnya hingga menabrak tembok lalu kedua tangan besar itu memenjarakannya. Aira tak bisa berkutik, ia tatap pria di hadapannya dengan sorot permusuhan. "Apa yang kamu lakukan? Tuh banyak mahasiswi berjejer antri siap menjadi teman kencanmu, kenapa harus mengganggu aku terus," bentak Aira sembari membalas tatapan tajam Brian. Sedangkan para mahasiswa yang berlalu lalang tak berani ikut campur, mereka tidak ingin bermasalah dengan kakak tingkat mereka yang memang sudah menjadi rahasia umum suka semena-mena pada adik tingkatnya. "Aku maunya kamu, tidak ada seorang perempuan yang bisa menolakku dan akan kubuat kamu bertekuk lutut padaku," ancam Brian dengan sorot kilatan amarah dalam netranya. "Silahkan, itu tidak akan pernah terjadi," balas Aira tak kalah mengancam sambil menyingkirkan tangan Brian dari sisi tubuhnya dengan kasar. Atmosfer ketegangan itu segera terputus karena kedatangan Delon. "Ra, ada yang nyariin, dia di depan gedung fakultas tuh," panggil Delon ketua kelas Aira sambil berlari menghampiri. "Ada apa ini?," Tanya Delon dengan tatapan tak suka pada Brian. "Nggak ada papa Lon, santai aja," balas Aira sembari menarik lengan Delon meninggalkan Brian dengan amarahnya, ia tidak ingin ada keributan lagi, apalagi Delon dan Brian sudah lama saling bermusuhan. "Loe jangan dekat-dekat sama si playboy b******k itu Ra," ucap Delon memperingatkan, ia tidak ingin ada korban keisengan pria penyuka ONS itu lagi setelah sahabat karibnya Dila hampir menjadi korban perkosaannya. Delon hanya menghembuskan nafas kasar, tidak mungkin ia membongkar aib orang lain di depan Aira. "Gue juga muak kali, risih gue deket-deket sama dia," terang Aira santai. "Pesen gue pokoknya loe jauhi tuh playboy, sesama perantau dari Jakarta gue peduli sama loe Ra." "Oya loe kenal tuh cowok dari mana?" Lanjut Delon lalu menunjuk pria bertato yang bersandar di pohon palem sambil memainkan ponselnya. Beberapa detik Aira mematung dengan mulut terbuka menatap Deanova yang tertunduk memainkan ponselnya dengan rambut menutupi sebagian wajah tampannya, terlihat airphone melekat dikedua telinganya. Aira masih tak bergeming saat Delon menepuk bahunya lalu pergi meninggalkannya dengan tergelak. Sisa gelak tawa Delon seketika menyadarkan kebekuan Aira, berlahan Aira mendekati Deanova sambil berusaha mereda debaran jantungnya yang bekerja ekstra setiap kali bertemu pria beriris cokelat tembaga itu. "Hai," sapa Aira dengan tersenyum kaku, ia berdiri tepat di hadapan Deanova dengan kedua tangannya memainkan tali selempang tasnya. "Aku ingin mentraktirmu makan siang sebagai peresmian pertemanan kita," balas Deanova setelah melepaskan airphone dari kedua telinganya dengan ekspresi khasnya, datar. "Kenapa nggak telepon dulu sih Dev, mana ini di kampus lagi," balas Aira kesal sembari mengedarkan pandangan di sekelilingnya. "Aku sudah menelponmu berulang kali, tak ada jawaban, jadi aku langsung ke kampusmu, lagian tidak susah mencari keberadaanmu," terang Deanova dengan tersenyum geli melihat raut kepanikan Aira. "Ayo pergi sebelum saudaraku mengetahui kita berdua di sini, bisa-bisa orang tuaku akan mempercepat perjodohanku dengan Reynald," gerutu Aira sembari menarik jaket Deanova, mendengar kata perjodohan membuat Deanova terpaku lalu menatap Aira tajam. "Sudahlah tidak perlu dibahas," ucap Aira saat melihat raut tanda tanya diwajah Deanova lalu menarik paksa lengan Deanova pergi menuju parkiran kampus. Aira sudah tak memedulikan tatapan aneh para mahasiswa ke arah Deanova yang jelas berbeda dengan mereka. Berbeda dengan para mahasiswi yang justru memerhatikan Deanova dengan tatapan memuja. Setelah perdebatan panjang akhirnya Deanova_lah yang menang, mereka akan pergi menggunakan motor matic milik Deanova hasil pinjaman dari pegawainya. "Ke mana?," Tanya Deanova sembari melirik wajah cemberut Aira dari kaca spion motornya. "Eppic Caffee," balas Aira singkat. Deanova menarik kedua tangan Aira lalu melingkarkan keperutnya. "Pegangan ntar jatuh," ucap Deanova sebelum menambahkan laju kecepatan motornya, seketika kedua tangan Aira memeluk Deanova dengan erat karena ketakutan. "Ini nih aku nggak sukanya naik motor, penampilanku kan jadi berantakan," gerutu Aira setelah melepas helmnya lalu merapikan rambut dan mengecek pakaiannya. "Tetep cantik kok," ucap Deanova sembari membantu merapikan rambut Aira, seketika rona merah menyapu wajah putihnya. "Tuh kan recehan bangat gue mah," gerutu hati Aira sembari berjalan duluan meninggalkan Deanova yang masih berdiri di samping motor matic_nya. Senyum tipis menghiasi wajah Deanova sambil mengikuti langkah Aira yang menuju arah belakang kafe, sempat timbul pertanyaan dibenaknya namun Deanova segera tersihir oleh pemandangan indah nan asri kafe tersebut, interior kafe di desain semenarik mungkin menyerupai alam bebas ditambah lagi suara riak air yang mengalir dari sungai buatan lalu terdapat beberapa pasang ekor burung merpati hidup bebas dengan sangkar yang terdapat di puncak pohon-pohon yang mengitari kafe tersebut. Kini mereka duduk disalah satu gazebo dan memesan makanan beserta minuman andalan kafe tersebut. Kecanggungan itu mulai mencair seiring obrolan hangat mereka tentang banyak hal, saling bertukar cerita tentang pengalaman masing-masing hingga masalah perjodohan Aira dengan Reynald, entah mengapa ada perasaan tak terima saat Deanova mendengar hal itu. Namun obrolan itu segera terhenti saat Aira menanyakan tentang kehidupan pribadi Deanoava yang sengaja ingin ia kubur dalam-dalam 2 tahun lalu. Deanova tidak ingin membuka luka lama, luka yang membuatnya harus pergi menjauh dari keluarga yang ia cintai. Menyadari perubahan air muka Deanova, Aira segera mengalihkan pembicaraan lain yang menyangkut pekerjaan Deanova. Aira sadar seharusnya ia tidak menanyakan hal sensitif itu pada Deanova yang jelas-jelas sudah menutup akses masuk ke dalam masa lalunya. "Sebaiknya kuantar kamu kembali ke kampus untuk mengambil mobilmu," ucap Deanova sembari berdiri dari tempat duduknya. "Ok," balas Aira singkat lalu mengekori Deanova yang berjalan ke arah kasir. Perjalanan dari kafe ke kampus terasa sangat lama karena baik Deanova maupun Aira lebih memilih diam. Deanova tenggelam dalam pikirannya tentang masa lalu, bayangan saat bersama Nidya dan Rizky seolah berputar ulang, ia merindukan mereka berdua dan juga keluarganya, Devina adik kesayangannya dan kedua orang tuanya. Apakah sudah saatnya ia kembali? Sudahkah siap ia mengikhlaskan kebahagiaan Nidya dan Bagas? Dan mampukah ia bertahan jika pertemuan tak terencana nanti akan kembali menyakiti hatinya?. Deanova tak yakin sanggup menjawab pertanyaaan yang seperti membombardir benaknya. Di balik punggungnya, Aira bisa merasakan kegundahan hati Deanova lalu dengan sengaja Aira mengeratkan pelukannya, menghidup aroma yang selalu berhasil menghipnotisnya setiap kali mereka bertemu, ia nikmati kedekatan mereka sesaat karena Aira yakin ia tidak akan mungkin mampu menahlukkan hati Deanova yang masih berpusat pada cinta masa lalunya. "Nidya," ucap Deanova lirih sembari menggenggam jemari Aira erat. Deg.. "Apa Dev?," ucap Aira sembari menajamkan pendengaran saat Deanova mengulang nama yang sama. Seketika Aira menarik paksa tangannya dari genggaman tangan dan perut Deanova. Aira sadar ia tak berhak marah karena ia bukanlah siapa-siapa, mereka hanya berteman namun Aira akui ada sesuatu yang menusuk dalam hatinya, perih karena menyadari dirinya mungkin akan menjadi orang ketiga kembali bila sampai jatuh cinta pada Deanova. "Nggak papa Ra," balas Deanova terkejut saat menyadari bahwa wanita yang bersamanya bukanlah Nidya. Sesampainya di parkiran kampus Aira langsung mengembalikan helm pada Deanova lalu tanpa berucap ia pergi meninggalkan Deanova yang masih kebingungan dengan sikap Aira yang tiba-tiba berubah menjadi pendiam. "Ra," panggil Deanova namun seperti sengaja tak mendengar, Aira segera masuk ke dalam mobilnya. Menutup pintu mobilnya dengan keras tanpa sedikit pun menoleh ke arah Deanova. Sembari mengemudikan mobil dengan kecepatan sedang buliran bening membasahi pipi Aira tanpa aba-aba, bahkan Aira sendiri tak tahu untuk siapa buliran bening itu. "Loe nangis untuk siapa Ra? Loe cinta sama cowok kulkas dua pintu itu? Jelas tidak kan? Kenal juga barusan." Aira bermonolog di kamarnya sembari tidur terlentang. "Gila gue klo mikirin hal ge-je kayak gini." Aira beranjak dari ranjangnya lalu masuk ke dalam kamar mandi, ia isi air dalam bathtub lalu menuangkan sabun cair dengan aroma lemon kesukaannya. ***** Deanova bersiap-siap kembali ke tempat tinggal ternyamannya, villa di pesisir pantai Watu Kodok. Di sanalah seharusnya ia berada, sendiri tanpa ada pengganggu. Sudah cukup ia bermain-main dengan gadis ingusan itu ia tidak ingin bermain terlalu jauh lagi. Belum selesai ia berberes ponselnya berdering keras memenuhi kamar sempit itu, dengan terpaksa ia raih ponsel yang tergeletak di atas ranjang. "Devina," gumam Deanova saat melihat nama yang tertera dalam panggilan telepon ya. "Kak Deanova," sapa Devina dengan suara terisak. "Ada apa Dek? Bilang Kakak ada apa?" Balas Deanova panik. "Kakak harus segera pulang Mommy di rawat di rumah sakit Kak, penyakit jantungnya kambuh, Mommy ingin bertemu Kakak," terang Devina masih terisak. Deg, "Iya Dek, Kakak akan segera pulang," balas Deanova lalu segera menutup sambungan teleponnya dan segera memanggil pegawainya untuk mencarikan tiket penerbangan tercepat hari itu juga. Deanova menghembuskan nafas keras sambil menatap tiket pesawatnya. Lima belas menit lagi pesawatnya akan lepas landas dan 3 jam lagi ia akan kembali. Antara bahagia dan ragu beradu kuat dalam hatinya seolah berperang merebutkan sesuatu yang absurd. Berpisah dengan keluarga dalam waktu yang cukup lama bukanlah hal yang mudah apalagi ia sangat dekat dengan ibunya. Jika bukan karena ibunya sakit Deanova pasti akan menolak seperti yang biasa ia lakukan. Perasaan bersalah tiba-tiba menghantam keras dadanya saat memikirkan hal terburuk yang akan terjadi pada ibunya. Tentu jika hal itu sampai terjadi penyesalan akan menghantui seumur hidupnya. "Mommy maafkan aku," gumam Deanova dalam hati lalu membulatkan tekatnya untuk menuruti semua kemauan ibunya nanti meskipun akan menyakiti hatinya kembali.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN