8. Ucapan Terima Kasih

1063 Kata
Entah kenapa perasaan Alena hari ini jauh lebih baik daripada sebelumnya. Mungkin efek bisa menghabiskan waktu bersama Gamma di luar jam sekolah, atau karena bisa bertemu Tante Farah lagi. Entahlah, mungkin dua-duanya. Intinya, ia benar-benar berterima kasih kepada wanita itu atas semua yang terjadi. Langkah Alena begitu ringan menyusuri jalanan paving menuju gedung IPA. Ia sudah berbelok ke koridor ketika dari kejauhan, netranya melihat sosok Nada di salah satu meja kantin. Langkahnya pun berbalik arah. "Hai, Nad. Sendirian lo? Gue gabung, ya?" Nada mendongak. "Gabung aja, ini kan tempat umum." Alena lantas menarik kursi di hadapan Nada. Lalu mengupas bungkus roti isi. "Mau?" tawar Alena, karena melihat mi di mangkuk Nada masih tersisa banyak. Nada hanya menggeleng. Entah apa yang terjadi, akhir-akhir ini Nada terlihat murung. Bahkan gadis itu juga tidak lagi saling tegur dengan Manda. Ketika ditanya "Kenapa?", mereka tidak pernah ada yang mau menjawab. Jadi, Alena hanya bisa memilih diam. Obrolan mereka berikutnya hanya soal cinta bertepuk sebelah tangan—lebih tepatnya, ini adalah curahan hati Alena sendiri. Hingga kehadiran seseorang tiba-tiba menghentikan obrolan mereka. Riga dengan seragam putih abu-abu berlapis jaket hitam dan seulas senyum, menyapa mereka. "Hai! Sorry, kalau gue motong obrolan kalian, tapi gue ada perlu sama lo, Nad," ujar Riga tanpa basa-basi. "Gue mau tanya, lo pulang sekolah nanti ada acara, nggak? Kalau misalnya lo nggak ada acara, bisa nggak kalau lo temenin gue nyari hadiah ulang tahun buat Tante gue?" Alena sontak menatap tajam pada Riga. Cari mati lo? Namun, Riga hanya meliriknya sekilas dan kembali menatap Nada, menunggu jawaban. "Gimana, Nad? Lo bisa, nggak?" "Hmm ... sorry ya, Ri, gue nggak bisa. Gue masih ada urusan lain soalnya," tolak Nada. Membuat raut wajah Riga yang awalnya penuh harap, berubah redup. Laki-laki itu mengangguk paham, kemudian pergi. "Lo serius nggak mau nemenin Riga nyari hadiah buat Tantenya, Nad? Kayaknya, dia berharap banget lo mau terima ajakannya tadi?" tanya Alena ketika mereka berjalan keluar kantin, menuju gedung IPA. Koridor sudah ramai. Beberapa murid tampak mengobrol di depan kelas menunggu bel masuk. "Iya, serius. Lagian ngapain juga gue pergi sama cowok lain, kalau gue sendiri udah punya pacar," jawab Nada seraya menaiki anak tangga menuju lantai dua. "Duh, iya, deh yang punya pacar," sahut Alena, yang dibalas tawa oleh Nada. Mereka berbelok ke kelas. Alena menyapa Manda, sebelum berlalu ke bangkunya sendiri. Tatapannya tanpa sengaja jatuh pada Nada yang langsung duduk tanpa menyapa teman sebangkunya. "Len... Nada sama Manda lagi berantem, ya? Soalnya, akhir-akhir ini mereka kayak diem-dieman gitu, terus jarang ngobrol juga. Padahal lo tahu sendiri kan gimana mereka biasanya?" Pertanyaan Via datang kemudian. Alena mengedikkan bahu. "Gue juga nggak tahu mereka kenapa, Vi. Tapi feeling gue, kayaknya mereka berdua emang lagi ada masalah, cuma kita nggak tahu apa masalahnya." Obrolan Alena dan Via berakhir karena Pak Anwar masuk kelas. Alena segera mengeluarkan buku dan alat tulisnya. Tidak ingin paginya yang cukup baik, rusak karena guru killer itu. Setelah dua jam pelajaran dibuat pusing dengan Matematika, Pak Anwar akhirnya mengakhiri pelajaran pagi itu dan keluar kelas. Digantikan guru Fisika yang justru tidak kalah bikin pusing murid satu kelas. Bahkan Alena sudah kehilangan fokus di jam pelajaran ketiga. Dalam hati, Alena hanya berharap agar tidak ditunjuk guru itu untuk mengerjakan soal-soal di papan tulis. Sebab, hampir tidak ada satu pun materi yang masuk ke otaknya—dan mungkin itu juga yang dirasakan hampir semua murid di kelas ini. Helaan napas lega terdengar ketika nama Nada disebut. Itu berarti, mereka terbebas dari petaka. Sayangnya, kelegaan itu hanya bertahan beberapa detik karena setelahnya justru kepanikan yang terjadi. Nada pingsan. "Bapak mau ke UKS dulu. Kalian jangan ramai. Kerjakan soal-soal ini di buku tugas masing-masing. Nanti akan saya tunjuk beberapa anak untuk mengerjakan di depan. Ingat, jangan ada yang ramai." “Baik, Pak.” Namun, bukannya melakukan apa yang diminta guru itu, Alena justru mengambil ponsel di laci meja. Jemarinya bergerak membuka kunci ponsel, mengotak-atiknua sebentar, sebelum berhenti pada salah satu kontak. Ia membuka ruang obrolan dengan orang itu, mengetikkan beberapa huruf di sana. Satu kalimat tertulis dan ditekannya ikon kirim—untuk Gamma. *** Sejak insiden Nada pingsan di kelas dan dibawa ke UKS, entah kenapa Alena jadi kepikiran bagaimana keadaan gadis itu. Karena itu, setelah bel istirahat berbunyi dan guru keluar, Alena segera membereskan buku-bukunya dan memasukkannya di laci. Ia ingin memastikan langsung bagaimana keadaan Nada. Via ikut bersamanya, tapi ketika tiba di lantai satu, gadis itu pamit ke toilet dan mengatakan akan menyusul nanti. Jadi, Alena memutuskan untuk langsung ke UKS. Langkahnya sudah akan mencapai belokan ke ruang UKS ketika terdengar seseorang memanggilnya dari arah belakang. Alena berbalik. Matanya membeliak kaget saat mendapati siapa yang baru saja memanggilnya. "I-iya, Gam? Kenapa?" tanyanya gugup. Gamma menghampiri Alena, dan berhenti tiga langkah dari gadis itu. "Thanks, Al," ucap laki-laki itu. Alena mengerutkan kening. "Thanks, udah kasih tahu gue kalau Nada pingsan di kelas tadi." Oh... Gadis itu pun tersenyum, tipis, hanya untuk memberi kesan bahwa dirinya baik-baik saja. "Oh itu, iya sama-sama, Gam. Aku kira kamu emang perlu tahu soal kejadian itu. Terus sekarang gimana keadaan Nada? Dia udah sadar, belum?" "Nada udah sadar, tapi masih gue suruh istirahat di UKS dulu. Habis istirahat, dia bisa ikut pelajaran selanjutnya. Ya udah, sorry gue duluan. Kasihan Nada sendirian, soalnya. Sekali lagi, makasih, Al." Setelahnya, tanpa menunggu balasan Alena, laki-laki itu melangkah pergi. Meninggalkan Alena yang masih terdiam di tempatnya sambil memandang punggung laki-laki itu menjauh. Sakit hati? Tentu saja. Siapa juga yang tidak merasa sakit hati kalau orang yang kita cintai malah mengkhawatirkan gadis lain di hadapannya langsung? Tidak ada. Air matanya tanpa sengaja jatuh, tapi Alena dengan cepat menghapusnya. Langkahnya yang semula akan menuju ruang Unit Kesehatan Sekolah tiba-tiba ragu. Hal itu pula yang kemudian menjadi alasan Alena berbalik ke arah ia datang. Namun, baru dua langkah, Via datang. "Lho, Len, lo mau ke mana? Enggak jadi ke UKS jenguk Nada?" tanya Via, agak bingung dengan perubahan sikap Alena. "Jadi, tadi udah kok. Nada juga udah sadar, tapi dia masih istirahat dulu sampai selesai istirahat," jawab Alena. "Ya sudah, yuk, kita ke kantin aja mumpung masih ada waktu nih. Mumpung kantinnya juga nggak terlalu ramai." "Oke.Yuk!" Via menggandeng lengan Alena dan mereka menuju kantin. Sayangnya, tanpa sepengetahuan mereka—terutama Alena, ada seseorang yang sudah sejak beberapa saat lalu memperhatikan mereka dari jauh. Seseorang yang juga merasa sakit hati karena pertemuan Alena dan Gamma. Seseorang itu adalah ... Auriga Wijaya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN