7. Bahagia dan Harapan

1149 Kata
Riga sudah akan melangkah keluar kelas ketika Alena menghentikannya di depan papan tulis. Kelas sudah sepi Hanya tersisa mereka saja yang baru menyelesaikan tugas piket. "Ada yang mau gue omongin sama lo," ujar Alena. Mengetahui respons datar si laki-laki, akhirnya Alena pun melanjutkan ke inti pembicaraan. "Lo suka sama Nada, kan?" "Nada?" Riga menaikkan alis. "Emang kenapa kalau gue suka sama Nada?" "Kalau memang lo suka Nada, gue saranin lo kubur dalam-dalam perasaan lo. Karena Nada udah punya pacar. Dia pacaran sama Gamma, sepupu lo sendiri, Ri." Laki-laki itu terkekeh. "Lo baru beberapa hari sekolah di sini, tapi udah dapat gosip dari mana-mana, ya. Udahlah, jangan percaya gosip, Al. Enggak ada yang benar itu." "Gue serius, Riga. Gamma sendiri yang bilang ke gue kalau dia pacaran sama Nada." Gadis itu kemudian menceritakan semuanya pada Riga. Tentang pertemuan tak sengajanya dengan Gamma dan Nada di toko buku hingga apa yang dilihatnya di depan minimarket kemarin. "Ya, kalau mereka emang pacaran, gue nggak apa-apa. Enggak masalah, gue bisa mundur asal orang yang gue suka bahagia dengan pilihannya. Gue nggak mau ngelakuin kesalahan yang sama untuk kedua kalinya." “Berhenti nyalahin diri lo sendiri, Ri!” bentak Alena. "Kenyataannya emang gitu kan, gue yang salah? Gara-gara gue pengin terus bareng sama lo, padahal gue tahu saat itu lo pacaran sama Gamma. Gue jahat, Al. Gue nyakitin sepupu gue sendiri." Laki-laki itu menatap tajam ke arah Alena. “Stop! Udah berapa kali gue bilang kalau itu bukan kesalahan lo doang? Itu kesalahan kita, Riga. Kita berdua sama-sama nyakitin Gamma." “Tapi kalau aja waktu itu gue nggak egois, mungkin hubungan lo sama Gamma masih berlanjut sampai sekarang, Al.” “Itu masa lalu, Riga. Tapi sekalipun hubungan gue dan Gamma udah berakhir, perasaan gue ke dia masih tetap ada. Dan jujur, gue cemburu lihat kedekatan Gamma dan Nada, Ri," aku Alena. Kepalanya sedikit tertunduk. Riga menghela napas. “Kalau gitu, biarin Gamma sama Nada. Gamma berhak bahagia bahagia dengan pilihannya, dan anggap aja sikap Gamma ke kita sekarang adalah balasan atas apa yang udah kita perbuat dulu." “Nggak bisa, Ri. Gue justru berharap mereka putus dan Gamma balik lagi ke gue,” ucap Alena, tapi ucapan Riga selanjutnya berhasil mematahkan semangatnya. “Jangan pernah berharap sesuatu yang nggak berguna.” *** Hari sudah sore, tapi tampaknya matahari belum ingin redup. Karena itu, Alena memutuskan untuk tidak langsung pulang ke rumah. Ada suatu tempat yang ingin ia kunjungi. Sekarang, di sinilah Alena, di depan sebuah butik pakaian dengan perasaan gugup. Di tangannya, ada kantung plastik bening berisi sekotak kue yang tadi dibelinya di toko roti seberang. Ia melangkah masuk. Butik ini tidak terlalu besar, tapi tata ruangnya yang bagus membuat tempat ini terlihat lebih luas. "Selamat sore, Mbak. Ada yang bisa saya bantu?" Seorang perempuan berpostur tubuh tinggi, menyapa Alena. "Sore, Mbak. Saya ingin bertemu Bu Farah, pemilik butik ini. Apakah beliau ada?" tanya Alena. Ya, ia memang sengaja datang ke sini untuk menemui Bu Farah, yang merupakan ibunya Gamma sekaligus pemilik butik ini. "Maaf, ada perlu apa Mbak mencari Bu Farah? Apakah sebelumnya sudah bikin janji dengan beliau?" "Saya belum bikin janji, Mbak. Tapi saya kerabatnya Bu Farah. Jadi, apakah saya bisa bertemu beliau?" “Baik, mari saya antar. Lewat sini, Mbak." Perempuan tadi berjalan lebih dulu dan diikuti oleh Alena. Namun, langkah mereka tiba-tiba terhenti saat melihat beberapa orang tampak berkerumun di depan pintu ruangan yang akan ia tuju. Mereka menyelinap di antara kerumunan. Mata Alena sontak membeliak saat mendapati seseorang yang ia cari terbaring di lantai dengan wajah pucat. Alena segera meminta salah satu pegawai butik untuk menelepon ambulans, sementara ia menelepon Gamma. Beruntung, panggilan telepon itu diangkat setelah nada sambung kedua. “Halo, ini siapa?” “Gamma, ini aku Alena. Mama kamu pingsan di butik dan sekarang mau dibawa ke rumah sakit. Kamu langsung ke rumah sakit, ya? Nanti aku kasih tahu Mama kamu dibawa ke rumah sakit mana.” Sungguh, Alena tidak pernah sepanik ini sekarang. Mungkin karena ia melihat langsung Farah yang pingsan di depan ruangannya, atau mungkin karena hal lain. Orang pingsan, rumah sakit, kepanikan, dan ... rasanya de javu. Seolah Alena sudah pernah mengalami yang seperti ini dulu. "Gimana keadaan Mama?" Pertanyaan Gamma membuat Alena menoleh. Laki-laki itu tampak berantakan. Seragamnya kusut. Raut wajahnya tampak khawatir. Alena yakin Gamma pasti mengebut ke sini setelah mendapat kabar darinya. Gadis itu mengalihkan pandang ke ruang UGD yang tertutup. "Masih diperiksa dokter. Kamu tenang dulu, ya. Tante Farah pasti baik-baik aja." Tapi Gamma mana mungkin bisa tenang. Laki-laki itu menanyakan bagaimana ibunya bisa pingsan dan Alena menceritakan apa yang terjadi. Tentang kedatangannya yang ingin memberikan kejutan untuk Farah, tapi ketika tiba di sana, ia justru menemukan wanita itu sudah pingsan. Alena lalu beranjak dari kursi ruang tunggu. Langkah menuju kantin rumah sakit. Ia tak yakin Gamma sudah makan, jadi ia memutuskan membeli makanan dan minuman untuk laki-laki itu. Saat kembali, ia tidak lagi menemukan Gamma di depan ruang UGD, juga di dalam. Gamma: Mama udah sadar, dan sekarang dipindah ke ruang rawat. Ruang Bougenville II. Alena menghela napas lega, kemudian memacu langkah ke ruangan yang sudah diberitahukan oleh Gamma. Tiba di sana, pintu ruangan terbuka sedikit dan dari celah tersebut, tampak punggung seorang laki-laki yang duduk di samping bed pasien. "Maaf, Pa. Gamma gagal jagain Mama." Hati Alena perih mendengar kalimat sendu itu. Rasanya, seperti kejadian dua tahun lalu terulang kembali. Berusaha menguatkan diri, Alena pun mengetuk pintu dan masuk. "Aku habis beli nasi goreng. Kamu makan dulu ya, pasti belum makan, kan?" Tanpa menunggu respons Gamma, Alena segera mengulurkan sebungkus nasi goreng ke arahnya. Gamma menerimanya dan mereka makan bersama dalam diam. Setelah makan, Alena pamit pulang. Namun, satu hal yang tidak pernah Alena duga akan terjadi. Keesokan harinya, Gamma tiba-tiba mengiriminya pesan bahwa Farah ingin bertemu dengannya sepulang sekolah dan Gamma akan menjemputnya. Alena jelas senang bukan main. Lagi pula, siapa juga yang tidak senang dijemput mantan tersayang, dan akan bertemu dengan orang tuanya pula? Karena rasa senangnya pula, Alena bergegas keluar kelas begitu bel pulang berbunyi. Ia juga tidak mempermasalahkan soal Gamma yang menunggunya di warung dekat sekolah, alih-alih di depan gerbang. Karena mungkin, Gamma ingin menjaga perasaan Nada. Gamma mengantar Alena pulang dulu ke rumah untuk berganti baju. Baru kemudian mereka berangkat ke rumah sakit. Alena sungguh tidak menyangka setelah sekian lama ia pergi dari Jakarta, ternyata Farah masih mengingatnya dengan baik. Wanita cantik itu juga masih meminta Alena untuk memanggilnya “Mama” seperti dulu. Dan nyatanya, dari semua hal itu, Alena sangat merindukan pelukan hangat dari Farah—pelukan yang tidak akan lagi ia dapatkan dari sosok ibu. Sore itu, Alena seperti diajak mengulang ke masa lalu. Bagaimana dulu ia sering mengobrol berbagai topik dengan wanita cantik itu. Bagaimana mereka yang kemudian berujung membicarakan aib Gamma. Sekarang, semua ini kembali terjadi. Kebahagiaan Alena kini berlipat ganda dan ia berharap kebahagiaan seperti ini tidak akan pernah hilang dari dalam hidupnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN