Prolog
“Kamu jadi berangkat besok?”
Pertanyaan itu berhasil menghentikan rutinitas sore seorang gadis berambut pirang yang sedang menyiram bunga. Gadis itu mematikan keran air dan meletakkan selang berwarna biru di bawah keran, lalu mendudukkan dirinya di lantai teras rumah. Di sebelahnya, ada seorang laki-laki berkaus hitam polos sedang berbaring telentang dengan pandangan terkunci pada langit berawan.
“Iya, besok pagi aku berangkat,” jawab gadis itu.
“Pagi, ya?” gumam si laki-laki seperti sedang berpikir, sebelum melanjutkan ucapannya, “Oke, kalau begitu besok pagi aku antar kamu ke bandara.”
Gadis berkaus garis-garis hitam putih itu menoleh cepat dan menggeleng. “Nggak usah, Bar! Kamu besok kan ada lomba, nanti kamu capek kalau harus ngantar aku ke bandara. Lagi pula besok udah ada orang tua kamu juga. Jadi, lebih baik kamu fokus aja sama lomba kamu,” tolaknya. Rasanya, selama di sini ia sudah banyak merepotkan laki-laki itu. Makanya, kali ini ia tidak mau merepotkannya lagi.
Namun, bukannya kesal karena keinginannya ditolak, laki-laki yang dipanggil 'Bar' itu malah tertawa. Membuat gadis di sebelahnya menatapnya bingung.
“Kok malah ketawa, sih? Ada yang lucu?” tanya gadis itu dengan sebelah alis terangkat.
“Ada. Kamu.” Laki-laki itu kemudian bangkit dari posisinya, mengembuskan napas beberapa kali untuk meredakan tawanya. “Alena, aku nggak akan kecapekan kalau cuma nganterin kamu ke bandara doang. Sudahlah, pokoknya besok aku ikut ngantar kamu dan Papa kamu. Masa orang tuaku ikut mengantar kalian, tapi anaknya enggak?”
Pasrah, Alena akhirnya menyetujui keinginan Bara. Toh, percuma saja melarang Bara pergi, laki-laki berambut cepak di hadapannya ini memang tidak bisa dilarang keinginannya. “Ya sudah, kamu boleh ikut. Tapi ada syaratnya, Bar.”
“Apa syaratnya?”
“Syaratnya, besok kamu harus menang lomba. Rebut kembali gelar juara bertahan untuk sekolah kita. Gimana? Deal?” Alena mengulurkan tangan kanannya, yang langsung dijabat oleh laki-laki itu.
“Deal!” seru Bara. Senyumnya mengembang sempurna, seolah syarat barusan adalah hal paling mudah untuk dia capai.
Sementara, Alena hanya bisa tersenyum. Entah kenapa ada kelegaan dalam hatinya saat melihat Bara bersemangat seperti ini. Binar mata yang terpancar dari laki-laki itu menandakan bahwa semuanya pasti akan baik-baik saja. Setidaknya, setelah ini ia bisa dengan yakin meninggalkan laki-laki itu dalam waktu yang lumayan lama.
Pandangan Alena beralih ke sekitar. Rumah bercat putih dengan halaman cukup luas. Sebuah pohon mangga tumbuh menjulang, beberapa pot bunga mawar tertata rapi di sebelah dinding pembatas, serta bentangan rumput hijau bak karpet menambah kesan asri—apalagi baru saja disiram.
Alena yakin pasti setelah ini ia akan sangat merindukan rumah ini. Rumah yang sudah ditempatinya bersama ayah sejak dua tahun terakhir, dan besok, ia harus meninggalkan rumah ini untuk pulang dan melanjutkan sisa masa remajanya di kota kelahirannya. Jakarta.
***
“Jakarta masih tetap sama ternyata. Masih tetap panas dan bising,” keluh gadis dengan kardigan rajut warna maroon yang sibuk mengipasi wajahnya dengan kipas kecil bergambar salah satu karakter kartun. Koper yang tadi diseretnya sudah berpindah ke bagasi mobil.
“Alena, ayo cepat masuk!”
Yang dipanggil mengangguk dan bergegas masuk ke dalam sebuah mobil. Tak lama, mobil tersebut melaju membelah jalanan ibu kota. Alena memejamkan mata, sambil jemarinya sesekali memijat pelan pelipisnya. Perjalanan yang seharusnya hanya memakan waktu kurang lebih dua jam, ternyata molor satu jam karena delay. Alhasil, sekarang kepalanya pusing, apalagi ia memang tidak terlalu suka perjalanan jauh, terutama perjalanan lintas pulau seperti ini.
Namun, meski sudah berkali-kali membenahi posisi duduknya, Alena tetap tidakk bisa memejamkan mata. Kesal, ia pun memilih menatap ke luar kaca mobil. Deretan gedung-gedung tinggi pencakar langit, klakson kendaraan bermotor saling sahut, riuh suara para pedagang, dan ramai para pejalan kaki seolah menyambutnya kembali.
Ada rasa rindu yang terus menggebu sejak kemarin. Rindu hiruk-pikuk kota, rindu jajanan khasnya, juga rindu pada seseorang. Seseorang yang selalu ia harapkan baik-baik saja dalam penyesalannya selama ini. Mungkin inilah saatnya. Saatnya ia memperbaiki semua hal yang seharusnya ia perbaiki sejak lama. Dan bersamaan dengan itu, sebuah nama tiba-tiba terlintas di benaknya.
“I miss you, Gam,” batinnya.