Chapter 10

1383 Kata
Vote lovenya kuy... Coment yg banyak y... Happy reading.. Typo koreksi... ____ Andre duduk terdiam di jok mobilnya, tatapan lurus dan pandangannya kosong. Ia tidak tahu harus bersikap seperti apa. Saat Tiara menjelaskan kondisi Raka yang menangis tiba-tiba dan tubuhnya demam tinggi semalam ada rasa sedih bergelayut memenuhi rongga dadanya. Terlebih ketika tahu Raka terus memanggil ayahnya membuat Andre merasa berdosa pada anak kecil itu. Apa aku memang harus menyerah Love. Aku mencintaimu, tapi aku juga menyayangi Raka. Di tengah pergolakkan hatinya tentang hubungannya dengan Clarissa akan berakhir seperti apa, wajah ceria bocah tampan yang belakangan memanggilnya Om-Papa membuat hati Andre semakin gundah dan di rundung rasa bersalah. Ia memejamkan matanya rapat, terlalu bingung mengambil keputusan. Drt drt... Bunyi dering ponsel menyentak lelaki itu, ia membuka matanya menghembuskan napas kasar. Merogoh ponselnya dan mengkerutkan kening ketika melihat nama siapa yang tertera. "Hallo Dok." "....." suara orang di seberang terdengar berat menjelaskan, samar-samar ia mendengar suara tangisan seseorang di ujung telepon. Dunia Andre seketika runtuh, ia seperti baru saja di tarik paksa masuk ke lubang gelap dan curam. Brak. Ponsel di tangannya terlepas, tatapan matanya memanas dan mulai berkabut, bibirnya bergetar kelu, Andre memukul dadanya keras saat ia merasa sesak dan tidak bisa bernapas, tubuhnya lemas ia menjatuhkan kepalanya di atas stir kemudi sambil meraup udara susah payah. "Pa-Papa." Bisiknya lirih meneteskan air mata. Tak berapa lama kepalanya mendongak, ia memasukkan gigi dan segera menginjak pedal gas dengan sangat kencang. Mobil melaju dengan kecepatan di atas rata-rata. Dengan wajah yang sudah basah, dan pandangan mengabur Andre memaksa tubuhnya untuk tetap membawa mobil dengan cepat. Aku mohon Pa. Jangan pergi. Jangan tinggalin Andre Pa. ____ Seorang bocah laki-laki menatap lelaki dewasa di depannya dengan wajah lugu, ia menekuk bibirnya sedikit saat tak kunjung mendapat respons dari lelaki yang tidak lain adalah ayahnya sendiri. Arkan Pramudya Angkasa memandang putranya bingung, ia meneguk ludahnya gugup saat ditatap intens oleh wajah polos putranya. Arkan menggaruk tengkuk lehernya salah tingkah. Terlebih wanita cantik di sampingnya pun tampak diam dan tidak berani menatapnya lagi. "Ayah nggak mau ya?" Tanya bocah itu cemberut. Arkan menggeleng, "Bukan seperti itu Nak." Bingung. "Telus kenapa?" "Kata Lika kalo Laka punya Ayah. Laka tinggalnya harus sama Ayah sama Bunda." "Ayah sama Bunda kok pisah." Arkan menggeram sebal dalam hati. Saat nama anak sepupunya itu di sebut oleh putranya. Ia mendengus pelan. "Ayah--." "Raka mau tinggal sama Ayah." Dua sosok yang sedang berdebat kecil itu menoleh menatap sepenuhnya kearah Clarissa. Raka mengangguk semangat, sedangkan Arkan menatap wanita itu bingung. Mengerti tatapan lelaki itu padanya Clarissa hanya mengulas senyum tipis. "Mau Bunda. Boleh kan Bunda." Pekik Raka antusias. Clarissa menatap wajah bahagia putranya lekat, ia menarik kedua sudut bibirnya hingga melengkung membentuk bulan sabit. "Boleh. Nanti kita tinggal sama Ayah ya." "YEEYYYYYY." Sorak girang Raka. Deg. Jantung Arkan berdetak cepat, ia segera memandang intens wanita yang sudah melahirkan putranya lamat-lamat. Ada rasa bahagia dan tidak percaya memenuhi rongga dadanya, ada perasaan senang hingga rasanya seperti ada ribuan kupu-kupu sedang mampir di dalam perutnya menggelitik geli. Tapi tak hanya itu saja ada sedikit perasaan takut menyeruak masuk, mau bagaimanapun Arkan adalah seorang suami dari wanita lain. Ia tidak ingin menambah beban baik untuk Clarissa ataupun Sherin nantinya. Jika keduanya bertemu dalam satu atap, Arkan takut akan terjadi perselisihan. Meski Arkan tahu wanita ini menyetujui permintaan putra mereka pasti karena merasa bersalah. "Rissa. Kenapa kamu--." "Kenapa? Apa Kakak nggak suka?" "Bukan. Bukan seperti Rissa tapi--." Balas Arkan menggeleng bingung. "Terus?" "Rissa kamu kan tahu kalau di rumah aku." "Ada Sherin." Tanpa sadar kepala Arkan mengangguk, ia meringis mendengar nama itu disebut. Clarissa mendesah, ia menatap wajah putranya yang semakin cerah dan ceria, senyum manis tampak masih bertengger di wajah bocah tampan itu membuat Clarissa sendiri menyakinkan hatinya jika semua ini benar. Tidak ada yang salah dengan keputusannya. Raka membutuhkan ayahnya, dan dia tidak mau egois dan hanya mementingkan dirinya sendiri. "Aku tidak apa-apa. Meskipun di rumah kakak ada istri sah kakak aku tidak apa-apa. Aku bisa menahannya demi Raka." Ujarnya tanpa menoleh pada Arkan. "Lalu Andre. Apa kamu tidak memikirkan perasaannya." Clarissa menatap Arkan segera. Ia mengigit bibir bawahnya dan meremas tangannya kembali bingung. Andre ya. Benar. Hampir Clarissa melupakan lelaki itu, Clarissa juga tidak mengerti mengapa akhir-akhir ini dirinya sering melupakan sosok itu. Semalam pun demikian, ketika Raka demam bisa saja Clarissa menghubungi Andre meminta lelaki itu datang. Tapi, yang ia lakukan justru mendial nomor Arkan dan membuat lelaki di sampingnya ini nekat datang kerumahnya malam-malam dalam kondisi belum pulih benar. "Aku--." "Jangan terlalu memaksakan Rissa. Raka masih bisa tinggal di rumahku kalau dia mau. Aku juga akan mengantar-jemput Raka setiap hari lagi. Jangan terlalu membenani semuanya Rissa. Bahkan kalau Raka ingin tinggal lama di rumahku, Papa, dan Nayla pasti menyambutnya dengan baik." "Di hidup kamu ada Andre. Jangan buat aku seperti laki-laki b******k lagi Rissa. Sudah cukup aku buat kamu menderita dulu. Aku yang buat kamu kehilangan semuanya, sekolah, teman, dan aku tahu kamu juga di usir dari rumah semua karena aku." "Kak--." "Aku mau kamu dan Raka bahagia. Terutama kamu. Aku ingin kamu menikmati masa muda yang sudah aku renggut Rissa. Aku tahu kamu sebenarnya membenciku. Aku tahu kamu sebenarnya marah. Tapi kamu tidak melakukannya. Kenapa? Apa kamu juga merasa kasihan denganku. Setelah tahu tentang hidupku." Clarissa terdiam lama. Ia masih mencerna ucapan lelaki itu. "Aku memang mencintaimu. Sejak dulu dan bahkan perasaan itu masih ada di hatiku sekarang. Aku tidak mau kamu terpaksa berada di satu atap denganku. Aku tidak ingin membuat kamu tidak nyaman dengan semua ini." "Kenapa kakak berpikiran seperti itu?" Alis Clarissa terangkat sebelah. "Karena--." "Aku tidak membenci kakak. Aku tidak marah sama sekali dengan kakak. Aku tahu semua masa lalu itu menyakitkan dan masih membayang. Tapi aku tidak mau larut dengan semuanya. Untukku Raka di atas segala-galanya. Dia menginginkan kakak. Apa sebagai ibunya aku harus kejam. Tidak mengabulkan keinginan kecil putranya sendiri. Hanya tinggal bersama apa salahnya. Apa kakak takut aku akan menganggu kakak dan Sherin. Aku tidak akan mengganggu hubungan kalian." "Tidak ada apa-apa antara kami berdua Rissa." Selak Arkan bernada sebal. "Benarkah?" Mata wanita itu memicing. "Iya." "Apa kakak tidak pernah sedikitpun ada perasaan dengannya. Kalian sudah menikah. Apa rasa sedikit itu tidak pernah ada." Arkan tergelak. "Pernah. Tapi semua sirna karena jika hanya aku saja yang berusaha membuat pernikahan kami terlihat normal sedangkan dia tidak. Semua juga tidak akan berhasil Rissa." "Apa kakak tidak mau mencoba kembali." "Apa?" Sahutnya tidak mengerti. "Mencoba memulai semuanya dari awal dengan Sherin. Dia sedang hamil kak dan anaknya kelak butuh figur seorang ayah. Apa kakak tidak ingin menjadi ayah anak itu." "Rissa kamu-- apa kamu sedang cemburu sekarang?" Blush. Clarissa membuang pandangannya cepat, "Ck, si-siapa yang cemburu. Aku nggak tuh." Arkan tersenyum geli, ia tertawa kecil membuat Clarissa menoleh menatap lelaki itu kesal. "Kenapa kakak ketawa." "Kamu lucu. Aku suka." Blush. Tawa renyah Arkan kembali terdengar. Keduanya tidak sadar jika sejak tadi putra mereka menatap keduanya bingung dengan raut polos menggemaskannya. _____ Lorong rumah sakit yang ramai, tidak dirasakan Andre ketika dirinya berlari kencang di sepanjang koridor. Ia bahkan tanpa sengaja menabrak beberapa orang dan petugas staf medis dengan deru napas tidak beraturan. Pintu kamar rawat ayahnya tidak tertutup rapat, banyak petugas dan suara raungan menyayat hati memyambut kedatangannya. Tubuh Andre terpaku kaku, menatap beberapa perawat yang sedang melepaskan beberapa alat bantu media di tubuh pasien yang tampak diam tidak bergerak. Tidak ada lagi suara dari alat denyut jantung di ruangan ini, dengan langkah pelan Andre mendekat menatap lurus sosok di sana dengan mata yang merab memanas, kabut tebal menyelimuti kedua bola matanya. Ia berdiri di sisi kanan pasien, dengan ragu lelaki itu mengangkat tangannya dan mencoba menyentuh pipi sosok itu dengan genderang hebat di dadanya. Deg. Andre tersentak kaget, jantungnya seperti berhenti berdetak, air matanya akhirnya luruh menyusut membasahi kedua pipi lelaki itu dengan deras. Kedua bola matanya melebar, bibirnya terbuka dengan lidahnya kelu untuk mengeluarkan suaranya yang tertahan. "Papa." Lirihnya. Tangannya terjatuh di atas sisi wajah pasien pucat pasi di atas brankar. Andre mengerjapkan matanya karena penglihatannya mengabur terhalang bulir air mata. Tubuh Andre seketika lemas, ia jatuh terduduk menopang tubuhnya dengan kedua lututnya. "Pa." Ucapnya serak. Andre mencengkram besi di pinggir kasur erat sampai buku-buku jarinya memutih. Rahangnya mengeras dengan mata terpejam rapat. Semua pasti mimpi. Ya. Semua pasti mimpi. _____ Tbc>>> Poor Andre ..  puk puk y sayang
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN