Chapter 11

1455 Kata
HAI, BALIK LAGI NIH... YUK BACA, JANGAN LUPA TEKAN NYA YA... HAPPY READING.. TYPO KOREKSI... ____ Bendera kuning terpasang di sudut pagar rumah, pintu gerbang rumah dukapun tampak telah terbuka lebar, ada tenda berwarna hitam berukuran besar terpasang di halaman rumah duka. Para pelayat datang silih berganti, memakai pakaian serba hitam demi menghargai pemilik rumah yang sedang berbelasungkawa. Di ruang tamu hanya ada karpet besar yang terbentang rapih memenuhi isi ruangan, tepat ditengah-tengah ruangan itu ada kain batik terbentang lebar menutupi tubuh tidak bernyawa yang beberapa saat lalu menghembuskan napas terakhirnya untuk selama-lamanya. Iringan doa sekaligus isakan tangis lirih melingkupi rumah duka membuat siapa saja ikut bersedih dan meneteskan air mata mereka. Tak berapa lama sebuah mobil taksi berwarna biru berhenti tepat di depan gerbang rumah duka, pintu penumpang terbuka lebar keluar sepasang anak manusia laki-laki dan perempuan yang baru saja turun dari dalam sana. Sosok perempuan itu menatap nanar dan kosong pemandangan yang ada di depannya. Berdiri memantung kaku, detik berikutnya tubuh sosok itu terhuyung kesamping dan berhasil di tahan oleh lengan kekar seseorang yang berada satu mobil dengannya tadi. Kepalanya terus menggeleng dan meracau mengatakan jika semua ini tidaklah nyata dalam hatinya. Cengkraman erat di bahunya seakan menyentak sekaligus menguatkan dirinya agar tetap tabah dan menerima semua kenyataan yang ada di depan matanya sekarang adalah benar. "Ayo Rissa." Clarissa wanita itu menggeleng kuat pada posisinya yang tidak bisa beranjak dengan tubuh gemetar hebat, kakinya terasa lemas dan berat walau hanya untuk maju satu langkah saja. Arkan menghela napas pelan, lalu menarik tubuh wanita itu untuk menghadap dirinya dengan sekali hentak. Kedua mata Arkan tertegun melihat wajah wanita itu rupanya sudah banjir, basah oleh air mata. Arkan terdiam lama, memandang wajah sayu dan bulir-bulir yang ada di kedua pipi wanita itu dengan jantung bergemuruh. Clarissa sendiri, akhirnya tidak kuasa menahan air mata yang sudah ia tahan sejak menerima kabar itu dan berangkat kerumah duka. Kesedihan yang ia tahan dengan susah payah akhirnya luruh juga mengalir dengan deras dengan tatapan kosong. Hati Arkan seperti ikut di remas kuat melihat tidak ada sinar binar lagi di manik indah wanita yang masih di cintainya tersebut. "Rissa." "...." Tidak ada sahutan apalagi suara isakan, wanita itu menangis dalam diam yang ada hanyalah tatapan kosong dan air mata yang mengalir menyayat siapa saja yang melihatnya. Grep. "Rissa aku mohon jangan seperti ini." Arkan memeluk Clarissa tidak kuasa, ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan sekarang, rasanya wanita itu sedang tidak berada di dekatnya walau sebenarnya mereka sedang bersama sekarang. Semua tampak tiba-tiba, dan Arkan tahu wanita ini pasti sangat terpukul. Arkan seperti hanya berhadapan pada seonggok tubuh tanpa roh saat ini. "Rissa." Bisik lelaki itu bergetar di atas pucuk kepala wanita itu. Sejak menerima telepon dari Tiara Ibu Clarissa, wanita itu tidak mengeluarkan suara sama sekali. Hanya diam dan melamun membuat Arkan sangat tersiksa melihat kondisi wanita itu saat ini. Arkan melepas pelukannya, ia menangkup kedua pipi wanita itu dengan mata sedih dan sendu. Jemarinya menghapus bulir air mata Clarissa pelan, wanita itu tetap diam bergeming. "Kamu pasti bisa. Jangan seperti ini Rissa. Kasihan keluarga angkat kamu. Mereka pasti menunggu kamu. Oke." Mata wanita itu mengerjap beberapa kali seperti baru tersadar dari mimpi, kemudian kepalanya merunduk dalam cukup lama sebelum akhirnya anggukan kaku di berikannya. Arkan menghela napas lega, menepuk bahu wanita itu pelan seakan memberi energi baik untuknya. Keduanya kembali melangkah beriringan, Arkan membantu Clarissa berjalan dengan memegang bahu wanita itu lembut. Tatapan duka mereka terima ketika memasuki halaman rumah. Para pelayat yang memang mengenal Clarissa mengucapkan berbelasungkawa lewat gerakan bibir. Clarissa hanya terdiam tanpa membalas, langkah kaki wanita itu terasa semakin berat saat samar-samar suara tangisan dari dalam rumah terdengar. Wanita itu refleks berhenti membuat lelaki di sampingnya menatap bingung. Clarissa bisa merasakan jika bahunya di tepuk beberapa kali oleh lelaki itu. "Ayo Rissa. Mereka sudah menunggu kamu." Perasaan gamang menyeruak hati dan langkahnya. Mereka berdiri 1 meter dari pintu utama yang terbuka lebar lama. "Rissa." Panggil Arkan lagi lembut. Melihat wanita itu kembali mengayunkan langkahnya, Arkan kembali mengikuti dengan sabar membantu wanita itu. Clarissa memejamkan matanya rapat-rapat saat Arkan membawanya masuk lebih dalam ke rumah duka. "Clarissa." "Love." Panggilan itu membuat kedua matanya terbuka segera, tidak jauh dari tempatnya dua sosok berharga dalam hidupnya berdiri menyambut kedatangannya dengan raut nanar. Tak sanggup lagi menahan bobot badan karena kakinya mendadak seperti jelly akhirnya wanita itu jatuh terduduk tidak percaya. Bruk. "Rissa." "Love." Semua orang terkejut, Arkan menahan tubuh wanita itu yang duduk sedikit miring ke kanan. Kedua tangan wanita itu mengepal kuat di sisi badan, tatapannya semakin mengabur terhalang bulir air matanya yang kembali membendung pelupuknya semakin banyak, napasnya sesak tidak beraturan, pandangannya lurus pada sosok yang di tutupi kain berjarak kurang lebih 3 meter dari posisinya. "Papa." Bisik wanita itu miris. "Rissa kamu tidak apa-apa." Grep. Arkan harus terdorong kesamping saat tubuh wanita itu tiba-tiba di peluk oleh seseorang. Andre datang dengan sangat cepat dan memeluk wanita itu. "Love." Panggil lelaki itu dengan suara rendah dan serak. "Pa--Papa." "Sssttt, tidak apa-apa sayang. Tidak apa. Papa sudah tenang sekarang." Clarissa menggeleng tidak terima di dalam pelukan lelaki itu. "Papa jahat. Papa jahat hiks Kenapa Papa tinggalin Cla. Kenapa Pa. Kenapa." Pekik Clarissa nyaring seraya mendorong Andre kuat, hingga pelukan lelaki itu terlepas. Andre terkesiap di tempatnya begitupula Arkan yang melihatnya. Clarissa mencoba bangun berdiri, tapi denyutan di kepalanya yang sangat kuat membuat tubuhnya terhuyung lagi dan menghantam karpet tebal dengan posisi miring. Brak. "Love." "Rissa." "Clarissa." Seruan itu terdengar bersamaan. Orang-orang diruangan itu melotot lebar dan berbondong-bondong membantu Clarissa yang baru saja tidak sadarkan diri. Andre, Arkan dan Sari segera membawa tubuh lemah itu ke dalam kamar milik kedua orang tua angkatnya. "Love. Bangun sayang." Panggil Andre pelan sembari memberi minyak kayu putih di hidung Clarissa. Tak berapa lama, mata itu kembali terbuka kerutan di dahinya tampak jelas terlihat oleh Andre, Arkan dan oleh Sari sekalipun. Wanita itu menoleh menatap sekeliling ruangan, air matanya kembali luruh saat tahu dirinya sedang berada dimana. "Papa. Papa." Ucapnya bernada serak dan bergetar. "Sayang." Pandangan Clarissa berpindah menatap Sari yang berdiri di sisi kaki ranjang. Wajah wanita paruh baya itu terlihat sembab, Clarissa bangun dengan susah payah. Menatap ibu angkatnya miris dan nanar. "Mama." Lirihnya. Sari berjalan mendekat menatap putrinya sedih, wanita paruh baya tersebut mengambil duduk di tepi ranjang. Tangannya menghapus air mata putri angkatnya lembut. "Mama." "Semua ini becanda kan. Papa masih ada kan Ma. Cla masih bisa ketemu Papa kan Ma." Jleb. Jantung Sari kembali di remas kuat hingga rasanya berkali-kali lipat sakit dari sebelumnya, kehilangan sosok yang dicintainya untuk selama-lamanya membuat Sari sangat terpukul dan terpuruk saat ini. Mencoba tegar, hanyalah topeng baginya di depan anak-anaknya. Di dalam hatinya Sari merasa kosong, jiwanya seakan ikut pergi bersama suami tercintanya. Toni Wijaya, pria yang sudah menemani dan menerima dirinya apa adanya kini sudah pergi dengan tenang, suaminya tidak akan merasakan sakit lagi. Dan kini dirinya yang harus merasakan sakit dan merasakan kehilangan untuk selama-lamanya. "MAMA JAWAB CLA MA. PAPA--" tenggorokkan Clarisaa tercekat. "Papa sudah pergi sayang. Ikhlasin Papa ya Nak." Deg. Jeritan sakit menyusul kemudian memenuhi ruangan kamar bernuansa putih milik kedua orang tua angkatnya. Clarissa meraung hebat, Sari memeluk putrinya dengan bulir air mata yang ikut menetes di sudut matanya. "Jangan seperti ini sayang. Papa bisa sedih." "Papa jahat hiks Papa jahat Ma. Hiks hiks Cla. Cla hiks Cla belum minta maaf hiks sama Papa. Papa jahat hiks." Arkan dan Andre menatap wanita yang mereka cintai sedih. Kedua merunduk dan sama-sama mengepalkan tangan kuat di sisi badan. Aku akan menjaga kamu Rissa. Aku akan menjaga kamu Love. Proses pemakaman berjalan lancar dan hikmat, rombongan para pelayat pun sudah pulang meninggalkan area TPU, Andre mengantar Sari pulang meninggalkan Clarissa bersama Arkan yang masih ingin berada di sana. Dengan berat hati Andre terpaksa pulang, ia tidak bisa menepati janji untuk menjaga Clarissa di saat masih ada sosok lain yang harus ia hibur dan temani. Sari ibunya. Sepeninggal Sari dan Andre, keduanya sama-sama terdiam tanpa berkata apa-apa. Clarissa mengusap batu nisan Toni Wijaya dengan lembut sesekali menciumnya penuh sayang. Kegiatan itu berlangsung hampir 10 menit lamanya. "Pa." "Cla minta maaf. Maafin Cla Pa. Maafin Cla belum bisa bahagiain Papa selama ini. Cla juga belum sempat balas semua pa segala buat Cla." Ia menjeda meraup udara di sekitarnya banyak. "Terima kasih karena Papa sudah kasih Cla kasih sayang layaknya orang tua kandung Cla sendiri. Papa selalu sedia memberi bahu Papa untuk Cla bersandar selama ini. Cla sayang Papa. Cla sayang Papa. Terima kasih Pa. Selamat jalan." ____ Tbc Selamat jalan Papa Toni... kamu sosok yang berharga untuk dua anak manusia yang sudah kamu rawat dan beri kasih sayang tanpa kenal sebuah batas. Meski hidupmu singkat. Ucapan terima kasih tidak akan pernah bisa dihitung berapa banyaknya untukmu. Sekali lagi selamat jalan
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN