Chapter 13

1443 Kata
Happy reading.. Tap lovenya jangan lupa ya... Typo koreksi... ____ Hari ini tepat 3 hari setelah kepergian Toni Wijaya. Kabut duka masih menyelimuti keluarga besar Wijaya terutama Sari Maharani istri mendiang almarhum. Jika melihat kondisi beliau dari luar memang tampak baik-baik saja di mata orang-orang sekitarnya. Tapi, dalam hatinya beliau tidak bisa merasakan apa-apa lagi selain kekosongan saja. Setiap malam pun Sari selalu menangis dalam diam sambil memeluk photo suami tercinta, hingga wanita paruh baya itu terlelap dan berharap bisa bermimpi indah tentang suaminya. Di pagi buta hari ini Sari sudah mengacaukan seisi dapur rumahnya. Beliau terlihat mengeluarkan peralatan-peralatan memasak, lalu menyusunnya kembali dan seterusnya seperti itu berkali-kali. Suara gaduh yang tercipta dari dapur membangunkan Mbok Wati dan juga Andre secara bersamaan. Keduanya sampai di sana dan melihat apa yang sedang terjadi dengan wajah terkesiap kaget. Mbok Wati menutup mulutnya saat melihat nyonya majikannya melakukan hal yang sama seperti sebelum-sebelumnya. Derap kaki cepat terdengar, raut khawatir tampak jelas di wajah Andre. Lelaki itu berjalan tergesa mendekati Sari dan menarik lengan wanita paruh baya tersebut hingga pergerakan Sari terhenti. Grep. "Mama." Sari terperanjat kaget, ia mengerjapkan matanya beberapa kali karena terkejut sebelum akhirnya wanita paruh baya itu mengulas senyum lebar. "Andre kamu sudah bangun." "....". Bukannya menjawab lelaki tampan itu justru menatap rak lemari dapur yang terbuka lebar dan benda-benda yang yang tergelak di lantai. Hati Andre kembali teriris karena Sari melakukan hal ini lagi sejak kepergian Toni ayahnya. "Sayang." "Mama sedang apa? Kenapa Mama ada di sini?". Sari tersenyum kikuk, ia kembali meletakkan peralatan-peralatan dapurnya ke dalam rak lemari. "Mama cuma mau ganti suasana baru saja Nak. Kalau Mbok Wati yang ngerjain sendiri kan kasihan. Toh Mama juga nggak ada kerjaan sayang. Makanya Mama disini sekarang." "Tapi Mama sudah ngelakuin ini lebih dari satu kali Ma." Sergah Andre bernada tinggi. Deg. Sari menoleh kaget, anak laki-lakinya itu tampak menghembuskan napasnya berat. Ia mencoba menekan dan mengatur gejolak emosinya agar tidak menyakiti perasaan Sari ibunya. "Ma, Andre mohon jangan seperti ini. Papa pasti sedih lihat Mama jika terus seperti ini." Ucapnya lembut. Sari tertegun, beliau merunduk dalam. Baik Andre ataupun Mbok Wati akhirnya terbelalak saat mendengar suara isakan kecil disana. Sari menangis. "Mama rindu Papa Nak. Hiks Mama rindu Papamu." Grep. Jantung Andre rasanya kembali nyaris berhenti, selimut duka seperti masih enggan pergi dari hidup mereka. Ia memeluk Sari erat tangannya menepuk punggung ibunya lembut, mencoba menenangkan. "Ya. Andre tahu Ma." "Kenapa Papa tega ninggalin Mama. Kenapa?" Raung Sari tidak bisa lagi membendung kesedihannya. "Apa salah Mama Ndre. Sampai Papa seperti ini. Hiks Mama--." "Ma ini sudah takdir. Kita nggak bisa merubahnya. Andre janji akan selalu menjaga Mama. Andre janji Ma." "Mama ingin bertemu Papa Nak. Mama hiks Mama kangen Papa." Andre mengurai pelukannya, menatap Sari lembut lalu mengangguk mengeti. "Ya nanti kita ke tempat Papa ya Ma. Andre janji." "Papa pasti kedinginnan di sana. Papa pasti sendirian di sana Ndre. Seharusnya Mama nggak pulang waktu itu. Seharusnya Mama menemani Papa disana ya kan Ndre." Napas Andre tercekat, mendengar ucapan Sari barusan. Ia menarik napas pendek sebelum tangannya terulur menghapus jejeak air mata ibunya. "Tidak Ma. Papa tidak sendirian. Mama harus yakin Papa sudah tenang sekarang. Papa tidak akan merasakan sakit lagi Ma. Semua sudah takdir yang terbaik untuk kita semua." Bohong. Jika ia tidak sedih setiap membahas mendiang ayah angkatnya. Tapi, mereka pun tidak boleh terpuruk lama-lama karena semua harus bisa dilalui dan kembali menjalani aktivitasnya seperti  biasa. Ada pekerjaan yang menunggu, ada tanggung jawab yang harus Andre pikul dan banyak karyawan yang menumpang hidup dengannya. Karena itu Andre tidak boleh terlalu lama berlarut dalam duka. ____ Di lain tempat di dalam kamar berukuran sedang seorang wanita tampak sedang mengemasi pakaian-pakaian ke dalam tas koper berukuran kecil. Di atas kasur seorang anak laki-laki tampak sedang duduk bersila memperhatikan kegiatannya. Wanita memasang wajah tersenyum meski binar matanya berkata sebaliknya. "Bunda." Wanita itu menghentikan aktivitasnya sejenak lalu menoleh kearah Raka Sanjaya yang sedang menatap kearahnya. "Ya Nak." "Bunda ikut juga kan. Laka nggak mau sendilian disana." Clarissa wanita itu terdiam sebentat ia berjalan mendekat dan duduk di tepi kasur tangannya mengusap surai putranya sayang. "Raka Bunda nggak bisa tinggal di sana. Tapi kalau Raka mau Bunda datang. Bunda pasti datang kesana. Untuk sementara Raka tinggal berdua sama Ayah ya. Bunda kan harus kerja sayang." Raka tampak berpikir. "Tapi Bunda janji mau tinggal baleng sama Ayah. Bunda bohong." Clarissa tergelak, ia meringis bingung cara menjelaskan kepada putranya. "Sayang Ayah sama Bunda belum menikah jadi tidak boleh tinggal satu rumah." "Kenapa Bunda nggak menikah sama Ayah. Laka pengen tinggal sama Bunda juga. Bukan cuma beldua sama Ayah." Ujar Raka polos. Deg. Clarissa terdiam kaku, ia menatap putranya dengan raut terkejut. "Raka semua nggak semudah itu Nak. Sekarang Raka jangan mikirin hal aneh-aneh dulu ya. Bunda janji Bunda pasti datang ke rumah Ayah. Sekarang Ayah sama Bunda belum boleh tinggal bareng. Jadi Raka nggak apa-apa ya." Dengan wajah cemberut bocah laki-laki  itu mengangguk lemah. Sang ibu tersenyum maklum, ia membelai pipi putranya lembut dan mendaratkan kecupan pelan di sana. "Ayo dong masa Raka cemberut nanti Bunda sedih loh." Anak yang saat ini sudah mau memasuki usia 5 tahun itu akhirnya menarik sudut bibirnya membuat Clarissa terkekeh pelan. Tok tok tok. Keduanya menoleh mendapati Arkan sudah berdiri di ambang pintu kamar dengan tatapan hangat. Raka berdiri dan lompat dari atas kasur dengan wajah senang. "Ayah." "Hati-hati nanti jatuh sayang." Clarissa ikut berdiri ia menggeleng melihat putranya dan mengangguk pelan saat bersitatap dengan sosok itu seakan menyambut kedatangan lelaki itu di rumahnya. "Semuanya sudah siap Rissa." "Astaga belum kak." Wanita cantik itu meringis malu, ia segera beranjak tempatnya berdiri dan kembali menuju koper tadi untuk memasukkan pakaian putranya. "Kakak sudah sarapan?" "Sudah." Arkan menatap Clarissa dalam, lelaki itu bisa lihat kesedihan di mata wanita itu masih ada. Alasan Arkan mengajak Raka untuk ikut dengannya karena ia ingin Clarissa memiliki waktu untuk menenangkan pikirannya. Sebenarnya Arkan berencana mengajak keduanya untuk pergi berlibur bersama. Tapi, mengingat apa yang baru saja terjadi 3 hari lalu ia tidak mungkin membawa Clarissa yang masih dalam keadaan berduka. Setidaknya Arkan bisa tenang disini Clarissa tidak sendirian masih ada ibu Tiara di rumah ini yang bisa menjaga kondisi wanita itu. "Ayah Laka bawa Gogo ya." Suara putranya menyentak Arkan ia merunduk menepuk pucuk kepala anak itu pelan tersenyum hangat. "Boleh." _____ Andre memijat pangkal hidungnya pelan, ia merasa penat setelah mengurusi semua laporan cafe baik yang di Jakarta maupun Singapure. Willy benar-benar b******k memberinya laporan yang banyak agar ia tidak lama-lama bersedih sendirian. Andre teringat isi email yang sahabatnya kirim beberapa hari lalu. Biar lo nggak suntuk dan mewek gue kasih lo kerjaan aja ya yang banyak. Ingat jangan protes semua karena rasa cinta gue ke lo Sob. Huek. Andre rasanya mau muntah membaca pesan singkat itu. Tapi raut geli tidak bisa ia tahan setidaknya Willy masih peduli dengan cara lelaki itu sendiri. Tok tok tok. "Mas Andre di bawah ada tamu." Andre bangkit dari kursi kerjanya, membuka pintu dan menatap Mbok Wati bingung. "Tamu? Siapa Mbok." "Anu Mas. Itu Mas yang kemarin datang sama Mbak Cla." "Arkan." Jawab Andre heran. Wanita paruh baya itu mengangguk mengiyakan, masih dengan kerutan di dahinya Andre keluar dari ruang kerjanya. Dan tertegun melihat Arkan datang bersama Raka anak kekasihnya. "Raka." Panggilnya. "Om-Papa." Sahut Raka semangat. Bocah itu berlari dan memeluk pinggang Andre erat. "Raka sudah sembuh. Maaf ya. Om-Papa belum sempat jenguk Raka di rumah sakit waktu itu." "Om-Papa tahu Laka sakit?" Andre berdehem seraya mengangguk ia mengusap rambut Laka yang baru di potong kemarin itu pelan. "Laka ada apa kesini. Bukannya Bunda kerja hari ini." Anak kecil itu mengangguk cepat, "Laka mau bawa Gogo ke lumah Ayah Om-Papa." "Apa?" Wajah Andre tampak terkejut mendengarnya. Ia memandang Arkan yang kini sudah berdiri di dekat ruang tamu. "Iya. Laka mau tinggal sama Ayah." Papar anak itu semangat. Rahang Andre mengeras, matanya menatap lelaki di depannya tajam. Tangan Andre melepas pelukan Raka di pinggangnya dan berjalan kearah Arkan cepat. Bugh. "APA MAKSUDNYA INI HAH." "AYAHHHHHH." Deg. Tubuh Andre seketika menegang kaku, emosinya tadi langsung hilang dalam sekejap dan terpaku menatap Raka yang baru saja berlari menghampiri lelaki di depannya dengan mata berlinang air mata. "Ra-Raka." Bocah itu menoleh ketika ada yang memanggilnya lalu menatap Andre marah, "Om-Papa jahat. Om-Papa jahat. Kenapa Om-Papa pukul Ayah." Pekiknya. Jleb. Arkan ikut tertegun mendengar suara putranya, ia mendongak menatap Andre yang berdiri kaku di tempatnya. Perasaan bersalah mengerogoti hatinya, karena membuat putranya marah pada lelaki itu. "Sayang nggak boleh ngomong seperti itu." Bukannya menjawab Raka justru memeluk leher Arkan erat. Ia menggeleng-geleng kepalanya kuat. "Laka benci Om-Papa. Laka nggak mau ketemu Om-Papa." Deg. ____ Tbc >>> Ya allah Raka malah marah ke Andre sekarang. Bagaimana ini?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN