Chapter 18

1370 Kata
happy reading.. Jangan lupa taps love nya ya.. ____ Api unggun yang hampir padam di taman belakang menemani Arkan yang tengah mengenadah memandang bintang di langit. Secangkir kopi panas hampir habis di cecap secara perlahan menghangatkan tenggorokkannya di tengah kesendirian di taman belakang villa. Jam sudah menunjukkan pukul 23.00 malam seluruh anggota keluarganya sudah tertidur lelap. Seusai makan malam, mereka semua memang menghabiskan waktu di tempatnya sekarang. Tapi kini hanya tinggal dirinya seorang diri. Arkan ingin mengabiskan waktu lebih lama, meski sebenarnya ia juga sangat lelah. Villa ini salah satu tempat favourite Arkan, ia selalu senang setiap dirinya dan keluarganya berkunjung ke villa. Terlalu banyak kenangan manis dan hangat tentang keluarga mereka di tempat ini. Flashback on. Ketika Arkan berusia 17 tahun, 1 bulan sebelum keberangkatannya ke Harvard University. Saat ini keluarga Pramudya tengah berlibur ke villa untuk merayakan  perpisahan bagi putra sulung Josh Alvaro Pramudya tersebut. Josh, Anita sang istri, Arkan dan Nayla kedua putra-putrinya duduk lesehan di atas karpet tebal yang sengaja mereka bentang di lantai rerumputan. Di kursi gazebo Josh dan Anita ibu tiri Arkan yang masih sehat duduk berdampingan. Api unggun sudah di bakar, ada bakaran jagung menemani mereka, angin malam tidak menyurutkan kehangatan menghabiskan waktu bersama dengan bercengkerama di luar villa. Bintang bertabur indah menghiasi langit, Arkan bernyanyi sambil memetik gitar di ikuti Nayla yang dengan rela menyumbangkan suara fals nya membuat pemuda itu sesekali tertawa. "Arkan." Petikkan senar jemarinya terhenti, pemuda dengan sweater berwarna hitam itu menoleh memandang kearah Anita yang sednag bertanya. "Iya Ma." "Persiapan kamu sudah selesai semua? Apa masih ada yang belum kamu beli Nak." Arkan tampak berpikir sejenak lalu menggeleng kepala pelan. "Tidak Ma. Semuanya sudah beres." Balasnya. "Kamu harus selalu ingat Arkan. Tidak boleh mabuk-mabukkan apalagi sampai membuat nilai kuliah kamu anjlok. Papa akan langsung tarik kamu pulang detik itu juga." Josh berkata tegas, Arkan tergelak sesaat lalu mengangguk mengerti. "Baik Pa." "Mas. Jangan galak-galak sama anaknya ah. Jangan kamu pikirin omongan Papa barusan ya Nak." "Ck, kalau aku tidak tegas nanti ini anak main-main di sana Anita sayang." "Mas. Mas itu harus bisa kasih anak kita kepercayaan. Kalau Mas saja nggak percaya sama anak sendiri. Gimana Arkan bisa berpikir buat menjaga kepercayaan dari Mas kedepannya." Jleb. Josh termenung, kepalanya menoleh menatap Arkan dengan sorot mata tajam dan tegas miliknya. Aura tegas Josh benar-benar membuat Arkan tidak berani beragument dengan ayahnya. Ia selalu menghormati apa yang ayahnya katakan. "Baik Papa kasih kamu kepercayaan. Jangan sia-siain kepercayaan Papa. Kamu mengerti Arkan." Anita tersenyum menatap suaminya lalu beralih kearah putra tirinya yang tengah mengangguk. "Mama pasti kangen sama kamu Nak. Harus sering-sering telepon keluarga. Terutama Mama. Awas aja ya. Mama potong uang jajan kamu kalau sehari aja nggak hubungi Mama." Seru Anita bernada serius. Arkan tergelak. Ia meletakkan gitarnya di atas karpet tebal lalu berjalan mendekati sang ibu yang sedang duduk di atas gazebo bersama ayahnya Josh. Arkan memeluk lengan ibunya bergelayut manja, "Arkan mana mungkin bisa nggak dengar suara Mama sehari aja." "Hei kamu manja banget sih Arkan. Jauh-jauh dari istri Papa." Sentak Josh bernada kesal. Arkan menggeleng dan semakin memeluk lengan ibu kesayangannya erat. "Lepas nggak." "Nggak mau Pa." "Ini anak minta di sentil kayanya." "Ma lihat tuh Papa ngancem-ngancem aja." Adu Arkan di balas kekehan Anita. "Wah bagus ya kamu mau provokasi Mama sama Papa. Dasar anak nakal." Arkan cepat-cepat menjauhkan tubuunya saat tangan Josh sudah siap ingin menyentil dahi pemuda itu. Pemuda itu tersenyum geli lalu beranjak kabur saat tangan ayahnya sudah di tahan Anita ibunya. "Sudah Mas. Malu ih sama anak sendiri aja perebutan." "Dia itu mau monopoli kamu sayang." "Ya wajar dong diakan anak aku. Anak kita Mas. Emang kamu mau dia manja-manja sama orang lain. Lebih baik sama aku kan. Mamanya." Josh berenggut sebal, menarik bahu istrinya lalu mengecup pelipis Anita sayang. "Aku merasa kaya sedang di selingkuhin sama anak sendiri sayang." Gumamnya masih bisa di dengar oleh sang istri. Anita tergelak mendengarnya, wanita hampir paruh baya itu mendongak lalu mengecup pipi suaminya lembut. "Aku itu cinta sama Mas. Porsi cinta aku ke Mas dan anak-anak itu berbeda. Kalian punya tempat masing-masing di hati aku Mas." Wajah Josh merona antara malu dan juga bahagia. Pasangan suami istri itu saling bertukar pandang, lalu mengulas senyum lebar penuh kehangatan. "Aku juga cinta kamu." Bisiknya lembut. Arkan menatap kedua orang tuanya dengan tatapan senang dan haru. Meski Anita bukan ibu kandungnya. Tapi Arkan dan Nayla yang sudah di rawat sejak kecil pastilah menganggap wanita itu seperti ibu kandung mereka sendiri. Kasih sayang yang Anita beri padanya dan sang adik sangat tulus. Flashback off. Mama kapan bangun. Arkan kangen Mama. Batinnya. Di lain tempat sosok tubuh di atas tempat tidur dalam ruang serba putih dengan bau obat-obat rumah sakit tampaknya masih terbaring lemah. Entah sampai kapan ia akan terus menutup mata dan merapatkan bibirnya. Meninggalkan keluarganya dengan waktu yang cukup lama. Menimbulkan rasa rindu, yang tidak bisa lagi terhitung. Tanpa ada yang tahu jika jemari kurusnya bergerak pelan, berjuang agar bisa kembali ke dunia yang juga ia rindukan. Bunyi mesin dari elektrokardiogram menjadi satu-satunya alat yang terdengar di kamar tersebut. Jemari semakin bergerak dan sedikit terangkat, tidak lama berselang kedua bola mata rapat itu terbuka sedikit demi sedikit hingga terbuka sempurna. Kepalanya menoleh dengan gerakan kaku, menatap langit gelap dari celah tirai yang terbuka dengan mata memandang sayu. Ia memejamkan matanya sejenak lalu membukanya lagi dengan senyum tipis di wajah pucatnya. Pintu kamar rawat inap terbuka, sang suster membelalakkan matanya dan terdengar derap kaki cepat menggema, di susul suara memanggil seseorang dari interkom kamar. "DOK PASIEN ANITA SUDAH SADAR DOK." ___ "Haus." Gumamnya. Karena merasa tenggorokkan kering Clarissa turun dari atas tempat tidur, ia beranjak keluar kamar membawa gelas kosong yang ada di kamarnya. Berjalan menuju dapur, setelah mengisi air kembali ia berbalik arah. Namun, langkahnya terhenti ketika melihat pintu kaca penghubung ke taman belakang villa terbuka. Ia menoleh kesegala arah mencari jam dinding, dahinya mengerenyit ketika melihat angka yang tertera pada jam dinding 23.45 hampir ham 12 malam dan siapa yang masih belum tidur malam ini. Dengan langkah pelan wanita itu berjalan kearah pintu pembatas setelah meletakkan lebih dulu gelas yang ia bawa tadi di atas meja pantry. Clarissa terdiam di ambang pintu melihat Arkan lelaki itu sedang duduk di kursi gazebo yang tadi dirinya dan Raka duduki. "Kak Arkan." Panggilnya membuat sosoj dengan sweater abu-abu itu menoleh kearahnya. Ada raut terkejut pada sosok tampan itu ketika melihatnya. Dengan ragu, Clarissa melangkah mendekat. "Rissa." "Ada apa kenapa kamu keluar kamar?" "Ah. Aku cuma mau minum kak." Arkan ber-oh ria mengangguk. Ia menggeser duduknya seakan mengijinkan Clarissa untuk duduk menemaninya. Mengerti. Wanita cantik berpiyama panjang itu duduk memberi sedikit jarak antara mereka. "Kenapa kakak belum tidur?" "Aku belum ngantuk." "Apa Raka tidurnya nyenyak di kamar?" Lanjutnya bertany. Clariss mengangguk, "Iya kak. Mungkin karena kelelahan juga." Arkan terkekeh pelan membenarkan, "Sepertinya. Anak itu terlalu aktif hari ini. Aku hanya takut dia sakit lagi." "Kakak jangan khawatir. Sekarang aku lebih memperhatikan kesehatan Raka." "Terimakasih Rissa." Ucap Arkan tulus tiba-tiba. "Terimakasih buat apa kak?" Tanyanya tidak paham. Arkan memutar tubuhnya menghadap Clarissa, tatapan keduanya bertemu. "Terimakasih karena sudah melahirkan Raka." Wanita itu hanya mengangguk dengan tatapan yang masih terpaku pada sosok laki-laki di depannya. Hening menyelimuti. Keduanya saling bersitatap intensmenyelami makna di balik manik masing-masing. Wajah Arkan mendekat dan semakin mendekat, membuat Clarissa menahan napasnya seketika. Deru napas hangat menerpa wajah cantiknya. Dengan bunyi detak jantung yang menggila dan bola mata yang melebar sempurna. Bibir keduanya bertemu diatas permukaan satu sama lain. Entah siapa yang mulai, bibir itu mulai bergerak. Menyecap satu sama lain dengan mata yang sudah tertutup rapat, Arkan menarik tengkuk leher wanita di depannya erat. Sebelah tangannya memegang pinggang Clarissa dan menariknya mendekat kearah tubuhnya. Suasana menjadi panas. "Eunghh." Lenguhan kecil terdengar. Lumatan pun terlepas, mata sayu keduanya saling bersibobrok. Tak lama suara rendah dan serak terdengar membuat jantung keduanya semakin menggila nyaris meledak hebat. "Maaf Rissa. Aku tidak tahan." Deg. Mata wanita itu kembali membola lebar saat Arkan menarik kepalanya dan mencium dengan lumatan kasar dan tergesa-gesa. Clarissa memukul d**a Arkan kencang membuat lelaki itu menurunkan gerakan ciuman ke leher jenjang Clarissa dan mengecupnya lembut. "Ahhh." Desahnya keras. "Rissa." Deg. "Kamu kenapa?" Bibir Clarissa terkatup rapat menatap Arkan yang sedang memandangnya dengan raut bingung dan heran. Blush. Wajahnya merah padam. Clarissa segera berdiri. Dan berlari keluar dari taman belakang cepat. Mengabaikan panggilan Arkan padanya. Brak. Pintu kamar tertutup, tubuhnya meluruh kelantai ia menenggelamkan wajah ya di atara kedua lututnya. Astaga apa yang terjadi barusan. Kenapa aku membayangkan hal m***m tadi. Astaga. Sadar Cla. Sadar. ____ TBC>>> Hahaha halusinasi doang cuyyyy Astaga...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN